Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 23 Desember 1970)
YANG telah mengganggu pikiran saya sejak lima puluh tahun telah tertuang dalam dirinya. Jadi, gandrung saya yang pernah saya takuti itu rupanya beralasan. Kesempurnaan semacam itu bukan tidak mungkin terjadi. Lebih lagi, bukan tidak mungkin menghampiri saya yang bernasib sial ini. Saya bersyukur, memanjatkan puji-pujian kepada ketelitian dan kebesaran yang bertakhta di atas alam ini.
Kini hari Minggu, hari pertemuan kami. Saya telah menyiapkan segalanya. Buku-buku cerita, cokelat, dan pakaian yang bersih. Saya ingin selalu rapi dan siap di hadapannya. Saya takut kalau sampai hari yang mahal ini terlewat dengan mengecewakan. Tidak banyak kesempatan lagi. Harus bisa mempergunakan waktu seirit-iritnya. Kadang saya malu juga karena rasanya terlalu pelit, seolah saya tidak ingin rugi sedetik pun. Tapi, bukankah itu hak saya, saya tak memikirkannya dengan cara yang negatif.
Saya memakai juga bau-bauan, tetapi saya tidak begitu menyolok. Saya memilih eu de cologne yang baunya segar dan tidak memperlihatkan emosi-emosi. Tak mungkin ada yang mencurigai saya karena wewangian itu bermanfaat sekali untuk kesehatan. Haruslah saya tampak sebagai biasa saja, tak berlebih-lebihan walaupun sesungguhnya dalam keadaan rapi sama sekali. Karena baju pantolan dan sepatu yang saya pakai serta topi dan perasaan yang saya kenakan semuanya yang spesial untuk hari-hari istimewa.
Tetangga saya seorang perempuan tua yang terlalu banyak mengurus orang rupanya, tak bisa saya kelabui. Tak mengerti saya kenapa matanya melirik-lirik dengan mimik yang mencemoohkan. Ia berbicara kepada saudaranya entah tentang apa, tapi sangat demontratif. Mencurigakan sekali. Saya merasa tersindir. Saya hampir pasti memang begitulah tujuannya. Ia memang selalu iri hati terhadap kebahagiaan-kebahagiaan orang. Saya agak khawatir kalau ia dapat menduga apa yang sedang saya alami. Kadang-kadang ia sangat peka. Habis, maklumlah dalam umur lanjut begitu, sebagai seorang perempuan yang belum kawin dapat dikatakan ia sudah terlambat.
– Pagi-pagi sudah gagah, mau ke mana sih? – tanyanya.
Saya sengaja tak menjawab dengan kata. Saya hanya senyum-senyum saja yang sukar ditafsirkan. Ini menjadikannya marah, kan lucu sekali.
– Tak tahu diri! – katanya sambil melengos pergi.
Saya menjadi panas. Kalau tak ditahan-tahan ingin saya rasanya mengumpat. Kan tak ada urusan apa-apa dia dengan saya. Namun saya tahan-tahan diri. Saya harus memelihara kesegaran perasaan saya untuk menghadap pertemuan nanti.
Sebaliknya, saudari saya lain halnya. Dia tampak gembira melihat persiapan saya. Betapa pun saya menyembunyikannya, naluri wanitanya rupanya tak bisa dibohongi, malah ia memaksa saya memakai parfum di bagian-bagian badan yang perlu. Saya jadi tersipu. Tetapi ia tampak bersungguh-sungguh.
– Kapan-kapan bawalah ia kemari – katanya – kenalkan saya kepadanya. Darah saya rasa tersirap. Saya malu sekali! – Siapa? – tanya saya dengan tolol.
– Ah! – gumamnya sambil memperbaiki leher baju saya – saya tahu saatnya akan tiba juga.
– Saat apa! Tukas saya acuh tak acuh, sedikit marah. Ia melepaskan kerah baju saya.
– Saya yakin kau akan berhasil – katanya sambil mengulurkan sebuah sapu tangan.
– Ah sudahlah! Jangan menduga yang bukan-bukan! – bentak saya. Ia duduk di kursi, menundukkan kepalanya.
– Saya sangat terharu – katanya. Dan, kemudian ia mengusap matanya. Hal ini benar-benar tak saya sukai. Dengan kelakuannya itu seolah saya menangkap harga saya yang tidak saya setujui. Sedangkan kini saya perlu sekali menjaga kesegaran perasaan.
– Tidak baik menduga begitu – kata saya – Apaan sih soalnya. Tidak ada apa-apa. Apa salahnya saya agak rapi, kan sekali-sekali orang mesti rapi, meskipun tak ada apa-apa. Jangan pikirkan yang bukan-bukan.
Lalu saya tinggalkan dia dengan prasangka-prasangkanya. Ia memang seorang sentimentil sekali. Saya tidak suka kepada tetek-bengek perasaan kekeluargaan. Yah begitulah kita orang-orang Indonesia, orang-orang Timur pada umumnya. Sukar sekali untuk mengalami persoalan dengan otak.
Untunglah saya seorang yang tidak mudah terpengaruh oleh keadaan. Batang-batang pohon nusa indah yang saya lihat di pagar-pagar rumah orang menenangkan perasaan saya. Dengan hati yang positif saya melangkah menuju ke taman itu. Kenapa saya mesti terlalu peduli kepada halangan-halangan. Saya hanya berkepentingan untuk membuat pertemuan ini menyenangkan.
Saya memperlambat langkah yang kadang terburu oleh nafsu. Kok tiba-tiba hati saya mulai berdebar-debar lagi. Setiap melewati perempatan terakhir itu mesti saya mengalami sensasi emosi yang membingungkan. Seolah saya tak percaya kepada diri sendiri. Seolah saya menjadi kecut dan penakut. Hilang harapan dan hati mendebur tak keruan.
Begini, saya agak ragu-ragu bagaimana mestinya mengarahkan pertemuan ini. Dengan apakah saya akan bisa mulai, coklat, buku, senyum atau berpura-pura tak acuh. Dan tidakkah itu terlalu murah, berlebih-lebihan dan terlalu mencurigakan. Rasanya kikuk juga. Seolah semua orang sedang mencurigai, jadi saya harus hati-hati.
Sementara itu dapat diberi catatan bahwa mungkin sekali percintaan ini adalah percintaan sepihak. Saya tak sengaja berani memastikan bagaimana hatinya. Hanya dalam beberapa fakta kecil, misalnya pandangan, sentuhan, dan pembicaraan-pembicaraan yang tak ragu-ragu dapat disimpulkan keintiman dan simpati. Harus diperhitungkan pula bahwa setiap saat keadaan bisa memburuk.
Iseng-iseng saya mencoba menebak kira-kira baju apa yang akan dipakainya. Baju putih minggu yang lalu itu terang kalau saya tak suka. Sifatnya terlalu kekeluargaan dan justru ini membuat jarak. Kalau yang merah, potongannya yang saya tak suka. Baju itu membuat yang memakainya mempunyai kepribadiaan yang tak menyenangkan. Kalau ia memakai baju kuningnya, ini mudah-mudahan saja, ia benar-benar akan tampak segar, menggairahkan dan matang. Apalagi kalau yang ungu yang dipakainya menjelang hari raya dulu.
Akhirnya saya sampai di taman tanpa mengeluarkan setetes keringat pun. Ini permulaan yang baik. Artinya, fisik saya benar-benar dalam stamina yang baik
– Mari silakan Oom – kata tukang rokok di pintu taman menegur.
– Apa kabar? – tegur seorang sahabat pula yang tak begitu rapat.
Saya berjalan dengan harap-harap cemas ke sudut timur di mana biasanya kami berjumpa. Saya lihat dari jauh ia belum datang. Ini melegakan berarti saya masih ada kesempatan mengatur napas.
Tanpa menghiraukan orang lain, saya duduk di bangku semen di bawah pohon flamboyan. Saya ingin berbuat bahwa saya sedang asyik sekali dengan pikiran sendiri. Saya berbuat seolah sedikit pun saya tak mengharapkan siapa-siapa. Walaupun saya hampir tak dapat menahan diri untuk menoleh kalau ada yang muncul di pintu depan. Ini pekerjaan yang memalukan sebenarnya. Saya malu pada diri sendiri, tetapi memang begitulah, apa boleh buat.
Saya telah mengambil keputusan untuk tidak mempersiapkan apa-apa. Biarlah semua terjadi seperti improvisasi saja. Saya malah agak khawatir kalau-kalau ia berhalangan datang. Saya kuatkan urat syaraf saya untuk menunggu.
Untuk melewatkan waktu, saya kenangkan pertemuan kami seminggu yang lalu. Ia duduk rapat di sebelah saya. Tangan kami bersentuhan. Rambutnya yang wangi ditiup angin menggerogoti tubuh saya. Ketawanya dan kegembiraannya membuat saya mabuk. Tubuhnya padat seperti pohon pisang. Bibirnya tebal dan sangat eksotik. Dan matanya berkedip-kedip sebagai mata kucing.
Waktu itu saya menceritakan kepadanya tentang kepribadian timur. Bagaimana seharusnya kita berbuat dalam bergaul dengan sesama manusia. Lalu saya ceritakan pula kepadanya sebuah cerita dongeng dari Anderson yang penuh dengan filsafat hidup itu. Ia memandangi saya dengan kagum. Saya tahu ia telah menobatkan saya dalam hatinya menjadi seorang pahlawan. Inilah kebahagiaan saya yang terbesar.
Jalan saya terganggu karena seorang laki-laki muda menghampiri.
– Maaf – tegurnya dengan ramah.
Saya mengangguk ramah pula. Ia memandang saya dengan lahap, lalu berkata hati-hati.
– Apakah Anda temannya Terry?
Saya menjadi tersirap. Tiba-tiba saya menjadi curiga.
– Kenapa?
Laki-laki yang jauh lebih muda dari saya itu tak segera menjawab. Ia adalah seorang yang gagah, simpatik.
– Saya membawa pesan – katanya kemudian.
– Pesan apa? – tanyaku tak sabar.
– Begini, Terry rupanya sudah berjanji datang hari ini seperti biasanya. Tapi, kemarin ia masuk angin, jadi hari ini berhalangan. Ia minta dikabarkan tidak bisa datang.
– O, ya?
– Dia memang perasa sekali. Dia takut kalau sampai menyakiti orang lain.
– O, begitu?
Laki-laki itu memandang saya lagi.
– Jadi, Anda bukan temannya?
– Bukan – kataku dengan lancar. Lalu aku merasa pengecut sekali. Untunglah laki-laki itu tak menyelidik lebih lanjut. Ia duduk di samping saya dan menawarkan rokok. Saya menolak. Perasaan saya sungguh tak enak.
– Saya tak banyak punya waktu menunggu – katanya sambil menyalakan rokok – saya harus membawa resep ke apotek.
Waktu ia diam saja menduga-duga dalam hati.
– Tempat ini tak begitu bagus – katanya kemudian – Heran.
– Memang – kataku.
– Kurang terpelihara kelihatannya.
– Ya. Belum pernah kemari?
– Belum.
Laki-laki itu memandang saya lagi, lalu mengulurkan tangan.
– Kita belum berkenalan – katanya.
Saya menjabat tangannya dan menyebutkan nama tak terang.
– Anton – ia sendiri menyebut namanya tegas.
Saya termangu-mangu setelah itu. Ia sendiri karena iseng kelihatannya terus berbicara.
– Saya kira dia takkan datang – katanya.
– Siapa?
– Temannya Terry.
– Oh!
– Saya perlu menyampaikan pesan. Nanti malam Terry merayakan ulang tahun. Ia ingin temannya datang untuk menceritakan kisah, kisah apa itu, oh burung bulbul. Ada-ada saja.
Darah saya terkesiap lebih keras.
– Saudara siapa? – tanyaku bernafsu.
– Saya papanya Terry.
Dugaan saya ternyata benar. Tapi, justru karena itu saya menjadi kalang kabut. Entah apa yang diceritakan olehnya lagi tidak saya dengarkan. Saya merasa saya harus cepat-cepat pulang. Tengkuk saya rasanya panas. Saya merasa kerdil sekali.
– Maaf – kata saya sambil berdiri – Saya ada perlu.
Tanpa menunggu jawaban, saya berdiri lalu pergi.
– Silakan – katanya tanpa curiga.
Saya seperti dikejar oleh beban yang berat di atas punggung sebelum melewati pintu taman. Setelah itu tengkuk saya bertambah panas. Muka saya rasanya disoraki oleh semua orang dari segala pihak.
Betapa malu saya pada diri sendiri. Ingin saya menghukum diri seberat-beratnya pada waktu itu. Saya telah berbuat sesuatu yang tak bisa terbayangkan terkutuknya. Saya telah mengotori dunia ini lebih cepat dari seharusnya.
Memegang bungkusan buku dan cokelat yang terkutuk itu, saya langsung menuju ke rumah. Matahari siang dan perasaan bersalah memanggang saya. Tubuh saya basah kuyup oleh peluh yang tidak sehat.
Ini sungguh kebodohan dan tidak tahu diri yang memalukan.
Ketika sampai di dekat rumah, perempuan tua yang rewel itu mengganggu saya pulang. Ia melirik saya dengan cemoohan dan melontarkan sindiran.
– Hmmm, tak tahu diri. Tua bangka masih berlagak!
Saya tak bisa menguasai kesadaran lagi.
– Diam, bangsat! – kata saya dengan berang – Diam kamu, perawan tua!
Tak saya pedulikan betapa berangnya ia mendengar bentakan itu. Saya berbalik terus melangkah ke rumah.
Saudari saya datang, menyongsong dengan muka manis.
– Bagaimana? – tanyanya sambil tersenyum – Ketemu?
Saya menyembunyikan perasaan.
– Cakep nggak dia hari ini?
– Diammm! – tiba-tiba saya berteriak dengan marah.
Ia terkejut sekali tampaknya, tapi apa peduli saya. Saya masuk kamar dan mengunci pintu.
Cokelat dan buku itu saya lemparkan ke dinding. Lalu saya duduk di depan kaca. Saya pandangi diri saya dengan perasaan geram.
– Kamu, kamu! Siapakah kamu? – saya dengar pertanyaan itu berentet seperti bunyi …. Saya pukul kaca itu hancur.
Saya mendapat jawaban dari dahi saya yang lebar karena rambut gugur dari kemerut garis-garis usia di wajah. Saya tahu, bahkan tahu sekali siapa saya. Saya insaf dan sadar siapakah saya. Saya mengerti dan tahu apa yang saya lakukan. Saya cukup waras untuk menilai berapa harga saya. Tetapi, ya, bagaimana saya mesti mengingkari yang sebenarnya. Berdiam-diam saja duduk di depan kaca setiap hari untuk melawan keinginan edan itu, tetapi tak bisa. Katakanlah apa saja. Dosa, kegilaan, kebejatan.
Saya dengar perempuan tua itu memaki saya dari halaman dengan kutukan yang sangat kotor. Saya dengar saudari saya menangis di balik pintu kamar saya, tangis kasihan. Saya dengar hati saya mengucapkan kata-kata besar. Tetapi, semuanya tak dapat mengubah apa yang telah terjadi. Bahwa saya mencintai Terry dengan segenap nafsu saya sebagai laki-laki. Anak gadis yang nanti malam merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh dan kepingin mendengar dongeng burung bulbul Andersen. Ya, Tuhan! ***
.
.
Putu Wijaya (1944), bagaikan representasi kesenian Indonesia kontemporer itu sendiri, karena produktivitas maupun kreativitasnya. Bergerak dalam bidang sastra, teater, film, dan pernah menjadi wartawan, Putu Wijaya bahkan bisa langsung mengarang cerita baru secara lisan di atas panggung. Putu Wijaya adalah sebuah fenomena.
.
Percintaan Kakek Agus. Percintaan Kakek Agus. Percintaan Kakek Agus. Percintaan Kakek Agus. Percintaan Kakek Agus. Percintaan Kakek Agus.
Ranti Muliati
Santun Pagi. Maaf, tidak ada tautan WA atau medsos lainnya, ya?
ruangsastra
Ada, di bawah. setelah biodata penulis. Share this: Twitter, Facebook, Telegram, WhatsApp.