Cerpen Nafi’ah Al-Ma’rab (Kompas, 01 Oktober 2023)
PAGI berhujan di dusun itu amat baik untuk keduanya. Ini membuat aliran air lebih deras menuju ke hilir. Setiap rakit bambu bisa melaju lebih kuat, cepat, tanpa harus mendorong atau menariknya. Pekerjaan membuat kendaraan yang setiap hari harus mereka tinggalkan di hilir itu bisa lebih mudah. Setidaknya karena terbayang perjalanan dari Bengayoan menuju ke Rantau Langsat akan lebih lancar tanpa kendala.
Dua anak itu bertahun-tahun begitu hidupnya, di sebuah dusun tersuruk kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Dusun Bengayoan namanya. Apabila petang hari tiba, keduanya memilih bambu-bambu kering di tepi sungai. Dipotong-potong, disusun-susun sehingga mampu dan cukup menyanggah tubuh keduanya. Bukan sekali dua kali, melainkan setiap hari. Lalu pagi-paginya keduanya menggunakan rakit itu untuk berangkat ke sekolah di Desa Rantau Langsat. Sekitar satu jam perjalanan mengapung di atas air. Keduanya akan sampai di daratan. Jika sudah sampai di hilir, salah seorang dari anak itu akan memanggil perempuan-perempuan pengunyah sirih yang biasanya sudah menanti-nanti di tepi sungai.
“Mokasih, Jang!” perempuan itu mengucapkan terima kasih kepada si anak sebab ia mendapatkan rakit bambu secara gratis. Setiap hari begitu, perempuan-perempuan di tepi sungai itu menunggu Uil dan Alman yang akan memberi mereka rakit bambu. Kedua bocah itu memberikan rakit cuma-cuma. Apakah karena mereka dermawan? Sebenarnya tidak juga. Rakit itu tak bisa lagi dibawa pulang ke Bengayoan. Arus menuju hulu tak mampu membawa rakit itu melaju.
“Jadi, sampai kapan kita membuat rakit setiap hari begini, Bang?” Uil, si adik suatu hari protes pada Alman.
“Sampai kita dapat uang dan kita bisa beli motor,” Alman punya cita-cita memiliki motor. Jika ada motor, keduanya bisa pergi ke sekolah melalui jalur darat. Lebih dari dua jam perjalanan darat dengan berjalan kaki. Itu mereka lakukan untuk setiap kali pulang dari Rantau Langsat ke Bengayoan. Ya, karena tak ada rakit yang bisa membawanya ke hulu, terpaksa pulang berjalan kaki menyusuri jalanan sempit berlubang dan mendaki. Begitu setiap hari.
***
Pagi tanpa matahari semakin redup. Hujan pagi itu menderas, tetapi tidak juga mereda. Uil sesenggukan, duduk di atas tangga kayu rumahnya. Ia menangis, tetapi pelan saja sebab di belakangnya berdiri sang ayah yang menatap tajam. Bukan ayahnya yang menyebabkan ia menangis, maka disembunyikannya air matanya di balik kaus putih yang mengabu.
“Kenapa kau tak sekolah?”
“Bang Alman pergi dengan Minha, Yah.”
“Ke mana?”
“Aku tidak tahu. Dia bilang mau cari uang.”
Wajah lelaki yang bertanya itu semakin mengeras. Ia turun dari tangga rumahnya mengambil sebuah karung kecil. Di dalam karung itu berisi jernang yang setengah kering. Ia menadah langit yang masih putih sedikit gelap. Jika hujan tak reda, jernang itu tak bisa dijemur. Maka menjualnya ke kecamatan akan semakin lama. Ia diam, dan Uil pun tahu tugasnya hari itu menjaga jernang ayahnya jika hujan telah mereda.
Malam hari di rumah panggung papan itu biasanya penuh kehangatan, tetapi tak begitu malam itu. Mungkin sebab siang tadi Alman yang tak pulang seharian. Ia tak bilang apa pun pada Uil atau ayahnya. Cuaca gelap di luar. Deru angin lebih kencang dari biasanya. Pohon-pohon tinggi besar di seberang sungai akan menimbulkan gemuruh. Daun-daunnya bergesekan dihembus angin. Suara-suara menderu di tengah kegelapan di dusun kecil itu. Hanya itu yang terdengar. Alman diam bersandar di dinding rumahnya. Tak ada satu kata pun yang ia ucapkan.
“Ke mana kau tadi Alman?” ayah, lelaki yang paling dihormati di rumah itu membuka pembicaraan.
“Ke Rantau Langsat, Yah.”
“Tapi kau tak sekolah?”
“Aku ke kebun Minha.”
“Kebun apa? Kebun sawit? Sejak kapan Minha punya sawit?”
“Dia bilang punya pamannya.”
“Jangan main-main dengan pohon larangan itu, Alman.”
“Justru aku mau minta izin ke ayah.”
“Izin apa?”
“Aku mau bertanam sawit di seberang sungai. Pohon-pohon di seberang itu biarlah kutebang bersama Minha. Sawit sedang mahal, Yah. Semua petani sawit di Riau ini sedang bahagia hidupnya.”
“Apa kau sadar dengan ucapanmu itu? Ini kawasan inti taman nasional, polisi bisa menangkap kalian. Lagi pula ayah tak rela kalau pohon-pohon yang ditanam nenek moyang kita itu kalian ganti dengan sawit.”
“Yah, sudah beratus tahun tanaman itu tumbuh di situ, tapi nasib kita begini-begini saja. Setakat beli motor pun kita tak bisa. Orang di luar sana sudah kaya raya. Kita cuma mencari jernang setiap hari. Tak ada gunanya semua itu, Yah.”
Ini pertama kalinya anak usia SMP itu bicara begitu tajam pada ayahnya. Diam-diam hati ayahnya mengakui kehidupan mereka di dusun itu sekian lama begitu. Ia bekerja mencari jernang, menakik pohon getah yang tak seberapa, menjual petai atau mencari ikan. Sekadar membeli motor pun tak bisa, ya Alman benar.
“Ayah tahu, aku tadi memang tak sekolah, tapi aku dapat uang. Uang ini aku dapatkan dalam sehari, sedangkan ayah biasanya mendapatkan uang segini selama beberapa pekan,” Alman mengeluarkan beberapa lembar uang kertas merah. Ia menciumnya, terlihat sangat bangga.
“Tapi yang kalian lakukan itu salah, Alman. Kita tinggal di sini untuk menjaga hutan ini. Mungkin kita susah, tetapi kalau kita jaga hutan ini dengan baik, orang-orang di luar sana akan merasakan manfaatnya.” Alman tertawa mendengar ucapan ayahnya itu.
“Yah, aku hanya ingin punya motor, supaya tak susah setiap hari membuat rakit untuk ke seberang. Besok aku dan Minha akan mulai menebang pohon-pohon ayah itu. Jangan halangi aku, Yah. Nanti kalau aku sudah beli motor, ayah pun senang juga. Menjual jernang ke kecamatan bisa naik motor. Hidup kita bisa lebih baik, Yah.”
Malam itu demikian percakapan sebagai penutup. Alman terus mengkhayal mengumpulkan uang-uang merah sebanyak-banyaknya. Sedangkan ayahnya dalam kesedihan. Ia tak tahu bagaimana berkata lagi. Sebab ia tahu, ia pun tak bisa menafkahi keluarganya dengan cukup. Jernang makin langka, harga karet tak menentu, dan ikan-ikan di sungai semakin sedikit.
Pagi berhujan semakin renyai. Awan-awan putih menari-nari di langit Bengayoan. Deretan rumah-rumah panggung itu masih tertutup pintu-pintu dan jendelanya. Hanya anak-anak yang berlari-lari menikmati hujan di tepi sungai. Badan sungai selebar empat meter dengan bebatuan kerikil yang masih jernih. Airnya mencerminkan apa saja yang ada di dalamnya. Hanya yang semakin jarang terlihat di dalamnya ikan-ikan. Entah ke mana ikan-ikan itu pergi. Hujan tak lagi membawanya berenang-berenang ke tepi. Sama saja antara hujan dan musim panas, hewan itu sulit ditemukan.
Pagi itu menjadi kegembiraan bagi Alman. Di tengah hujan itu pula ia bergegas menuju rumah Minha yang terlihat masih sunyi. Jendela dan pintu rumah itu masih rapat. Ia memanggil, tetapi tetap sepi. Alman berjalan ke belakang rumah. Pintu belakang rumah panggung itu sedikit terbuka. Ia memanggil pelan dari sana. Tak lama, beberapa menit setelah ia menyebut-nyebut nama Minha, seorang perempuan berkain sarung, berbaju kaus sambil mengunyah sirih membuka pintu lebih lebar. Ia menatap Alman dalam diam.
“Aku cari Minha, Mak. Minha ada?”
“Untuk apa kau cari dia?” perempuan itu menjawab ketus.
“Aku ada janji dengan Minha hari ini, Mak. Kami mau ke kebun di seberang sungai.”
“Pulanglah, Minha tak ada.”
“Tapi saya sudah janji semalam dengan Minha, Mak.”
“Dia di Polsek Batang Gansal sekarang. Semalam dia kurang jeli, sawit punya Pak Acim yang dia ambil ketahuan.”
Dada Alman terasa nyeri mendengar ucapan perempuan itu. Ia tak berkata-kata lagi. Dalam hujan ia berlari pulang. Ia akan bilang pada Uil, mulai besok ia akan membuat rakit lagi untuk sekolah ke Rantau Langsat. ***
.
.
Nafi’ah al-Ma’rab adalah cerpenis dan novelis. Tinggal di Pekanbaru. Novelnya berjudul Luka Perempuan Asap memenangi anugerah karya Novel Terbaik Pertama pada Perayaan Bulan Bahasa Balai Bahasa Provinsi Riau tahun 2020.
I Wayan Surana, lahir di Bangli, Bali, tahun 1982. Menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa Negeri 1 Denpasar. Prestasinya, pemenang karya lukis terbaik Park West Amerika Serikat. Selain pelukis, Wayan juga seorang pegiat performance art.
.
Pohon Larangan di Bengayoan. Pohon Larangan di Bengayoan. Pohon Larangan di Bengayoan. Pohon Larangan di Bengayoan.
Anonymous
Ceritanya sangat bagus