Cerpen Yonetha Rao (Jawa Pos, 30 September 2023)
DI Desa Naijuf, tak ada tempat lebih nyaman bagi para mama untuk bergosip daripada teras pondok bersalin desa atau polindes. Selain karena sejuk oleh rindangnya pepohonan dan lantai ubin polindes yang dingin, Ibu Bidan Esi Manoso juga kerap menyuguhkan kepada mereka sirih pinang.
Sebetulnya mereka punya kebiasaan bergosip di mana saja setiap kali bertemu. Namun polindes itulah tampaknya tempat yang membuat mereka paling betah duduk membicarakan keburukan orang lain.
“Lu tau ko sonde, Elis pu suami tu kredit motor su nunggak lima bulan, sedikit le diler su datang tarik!” kata Tanta Anastasia dengan ludah bermuncratan.
“Ko? Pantas sa lihat orang diler tuh datang terus ke dong pu rumah,” sambung Tanta Nata yang pantat besarnya bisa lekat di lantai teras polindes seperti diolesi lem kalau sudah bergosip.
“Sa dengar dari Ibu Bidan, BPJS-nya juga tunggak lebih tiga bulan,” Mama Heni menimpali sambil memamah sirih pinang.
Bergosip sambil makan sirih pinang, apalagi di musim nafoknai [1] begini memang satu kenikmatan tersendiri. Tak cukup cuma menggosipi kehidupan ekonomi tetangga. Mereka pun sering membicarakan nona-nona yang menurut mereka berpakaian kurang sopan atau yang kelakuannya mereka nilai melanggar etiket.
“Eh, satu minggu lalu Herlina ada lewat sa pung depan rumah bagonceng dengan dia pung pacar. Dia pung pantat tanungging di jok motor oo,” kata Tanta Ani dengan mimik serius. “Saya dengar ia sudah mengajak pacarnya itu, sebutnya sih sudah suami, tinggal di rumah orang tuanya. Anak itu memang tak punya malu, tidak terikat adat dan belum sakramen di gereja sudah berani bawa laki-laki tinggal di rumah. Kalau di Jawa atau Sumatera, mungkin mereka sudah digerebek warga! Kasihan orang tuanya yang mulai uzur. Mana laki-laki itu tidak ada kerja.”
“Wah iya benar, saya juga dengar itu,” sambung Tanta Agnes. “Tapi kabarnya laki-laki itu tukang ojek di kota.”
“Dulu ia memang ngojek, tapi dengan motor pinjaman,” tukas Tanta Nata dengan bibir yang seolah memanjang satu senti. “Hm, ujung-ujungnya tuh Herlina pasti cuma makan kuah kosong!”
“Yang disayangkan kenapa orang tuanya, apalagi paman-pamannya, sampai membiarkannya bawa laki-laki ke rumah? Dalam tata adat kita, yang mengatur kita kan atoin amaf [2]. Paman-pamannya Herlina itu kan terpelajar dan terhormat, juga terkenal keras. Masak tidak bisa mengatur anak itu?” ujar Tanta Shinta yang masih berkerabat dengan bapanya Herlina dengan wajah terlihat menahan geram.
“Orang tua dan paman-pamannya memang sengaja membiarkan. Anak itu bebal dan songong. Satu hari Tuhan pasti tegur dia,” kata Tanta Dora yang walaupun tak pernah membuka mulut terlebih dahulu, namun sering ikut menyumbang pendapat yang sebetulnya adalah gosip dibalut dengan moral dan nasihat keagamaan.
Teras polindes yang porselennya telah pecah-pecah, temboknya yang banyak retak dan plafon rusak, juga alat-alat medis di dalamnya yang tak terpakai selama puluhan tahun itu menjadi saksi atas segala jenis gosip tentang keburukan masyarakat Desa Naijuf yang dikupas tuntas oleh para mama tersebut.
Sekitar 20 tahun yang lalu, polindes itu dibangun dengan dana desa senilai Rp 500 juta. Namun baru tiga tahun setelah diresmikan, porselen di terasnya mulai retak. Menyusul temboknya yang perlahan merekah. Kemungkinan lantaran adonan semen yang dipakai oleh para tukang bangunan itu kebanyakan pasir. Begitu juga dengan bak penampungan air yang kosong melompong tak pernah terisi air. Ya, bagaimana mau mengantar air setiap hari ke polindes jika jarak sungai tempat sumber air begitu jauh. Dengan dana pembangunannya yang begitu fantastis, polindes itu seharusnya dibekali dengan sebuah sumur bor.
Kurangnya sarana dan prasarana itulah yang menjadi salah satu faktor kenapa Ibu Bidan Esi Manoso enggan tinggal bersama keluarganya di polindes Desa Naijuf. Ia lebih memilih tinggal di rumahnya di kota kabupaten, meski jarak tempuh dari rumahnya itu ke polindes sekitar dua jam lebih.
***
Ibu Bidan Esi Manoso sebetulnya orang baik. Saya berharap begitulah sampai nanti beliau akan dikenang. Ia selalu ramah kepada siapa saja, juga bertangan dingin saat menolong ibu-ibu melahirkan. Dengan sarana dan prasarana di polindes yang amat terbatas, ia dapat menolong para ibu hamil melewati masa kritis. Belum lagi terkadang ia mesti dihadapkan dengan kondisi ibu hamil yang memiliki gangguan kesehatan seperti HB rendah atau kekurangan gizi. Bayi-bayi dengan berat tak sesuai standar, bahkan yang hampir sekarat ketika lahir, semuanya selamat berkat tangan dingin Ibu Bidan Esi Manoso.
“Jangan takut saat melahirkan, ini sudah kodrat kita. Hidup dan mati di tangan Tuhan. Asal kita berusaha dan berdoa serta berharap Tuhan hadir di sini, di tengah segala keterbatasan polindes ini untuk menyelamatkan ibu dan bayi yang baru lahir. Siapa tahu kelak salah satu dari anak-anak itu terpilih menjadi kepala desa dan bisa memperbaiki nasib desa ini,” begitulah kata-kata yang sering terucap dari mulutnya di tengah erangan para ibu yang hendak melahirkan.
Hanya, ia terlalu mudah diprovokasi untuk ikut serta bergosip. Tentunya dari dialah, ya dari siapa lagi, semua orang kemudian jadi tahu mama-mama mana yang malas mandi. Atau puting si ibu ini bau tembakau, bahkan anunya istri si itu yang macam semak belukar. Rahasia pasien yang seharusnya tak boleh diungkapkan itulah yang suatu hari pernah membuat polindes diserbu oleh keluarga bapa-ibu ani saya.
“Jadi bidan kok mulut macam baskom!” kata bapa ani saya dengan wajah merah padam selepas kejadian mereka melabrak Ibu Bidan Esi. Tanta Theresia, adik kandung ibu ani saya, bahkan sampai menjambak rambut Ibu Bidan Esi saking gemasnya pada gosip yang telah mempermalukan keluarganya itu. Untung saja ketika itu Pak Sholeh atau yang lebih akrab disapa Bapa Bhabinkamtibmas kebetulan lewat dan bergegas melerai.
Apa rahasia ibu ani saya yang dibeberkan oleh Ibu Bidan Esi Manoso kepada mama-mama yang setiap siang nongkrong di teras polindes? Tentu saja itu tidak patut saya ungkapkan.
Namun selepas kejadian tersebut, keluarga ibu ani saya tidak pernah lagi mau berurusan dengan polindes desa kami. Untuk segala hal yang berhubungan dengan kesehatan maupun pemeriksaan rutin bayi, mereka lebih memilih pergi ke rumah sakit daerah di kota walaupun harus menempuh jarak belasan kilometer.
Ya, di Desa Naijuf, melewati hari tanpa gosip barangkali seperti makan nasi tanpa kerupuk bagi orang Jawa. Hambar. Karena itu, tidak heran jika semakin hari kaum mama yang berkumpul di teras polindes itu pun semakin banyak. Seolah-olah telah turun atas para mama itu ayat yang berbunyi: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul di polindes, di situ gosip ada di tengah-tengah mereka.”
Pelesetan dari Matius 18:20 ini pernah diucapkan oleh Romo Siprianus dalam sebuah kunjungan pastoral dengan maksud menyindir. Namun ujung-ujungnya dirinya malah ikut menjadi korban keganasan mulut para mama umat parokinya itu.
Salah satu gosip yang paling santer adalah bahwa semasa masih diakon, Romo Siprianus pernah terlibat hubungan asmara dengan seorang mahasiswi. Bahkan dikabarkan bahwa mahasiswi itu kemudian hamil. Benar atau tidak hal ini, tak seorang pun dari umat Paroki Santa Anastasia yang berani memastikan atau menyelidikinya.
***
Tentu tidak semua ibu di kampung saya suka bergosip, apalagi ikut duduk nongkrong selama berjam-jam di teras polindes. Ibu Maria Magdalena, guru sejarah di SMP terdekat yang rumahnya bersebelahan dengan polindes, contohnya. Ia adalah salah satu mama di kampung kami yang paling muak dengan perkumpulan di teras polindes itu.
“Harusnya kalian membekali dan melatih mama-mama itu dengan keterampilan membuat kue, menenun, atau membuka usaha kecil menengah! Bukannya manjakan masyarakat dengan bantuan uang tunai. Itu sebabnya mereka jadi malas dan kerjanya hanya bicarakan keburukan orang lain!” demikian komentar pedasnya kepada Oom Piet, paman saya yang menjadi salah satu pelaksana program keluarga harapan (PKH) di kampung kami.
Sepintas PKH memang tampak sedikit mengangkat perekonomian sebagian warga Desa Naijuf dengan bantuan rutinnya. Tetapi kadang program itu seperti narkoba yang membuat masyarakat jadi kecanduan dan terlena. Alhasil mereka bergantung pada bantuan instannya yang tak seberapa. Akibat bantuan PKH inilah, bapa-bapa di kampung kami yang sebelumnya rajin menambang pasir di kali pun kini jadi sering malas-malasan di rumah.
Tetapi kalau kalian berpikir bahwa bergunjing hanya sesuatu yang negatif, tidak demikian dengan pandangan warga Desa Naijuf. Sebab berkat gosiplah, Bapa Andreas tahu bahwa Lusia anak gadisnya yang masih SMA itu sering dibawa ke mana-mana oleh seorang lelaki beristri.
Kabar tak sedap itu tak sengaja Bapa Andreas ketahui dari salah satu tetangganya yang mendengar gosip para mama di teras polindes. Dan Bapa Andreas bertindak cepat. Ia menguntit sang putri yang satu hari pamit mengerjakan PR ke rumah teman. Hampir saja lelaki beristri itu babak belur dihajar jika saja orang-orang tidak menyelamatkannya dari amukan Bapa Andreas yang kalap.
“Itu cuma kebetulan saja! Yang namanya gosip itu lebih banyak bumbu ketimbang benarnya. Sehingga sering menjurus kepada fitnah,” ujar suami saya sambil lalu saat mendengar cerita saya tentang apa yang terjadi pada Lusia.
Pendapat suami saya tampaknya memang tidak salah. Sebab gara-gara gosip tak lama kemudian terjadi satu peristiwa berdarah yang diingat warga Desa Naijuf sampai kapan pun.
Ceritanya pada tengah hari, saya baru saja pulang dari rumah Maria Eko, sahabat saya, membantu membuat kue. Ketika saya hendak melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak disertai gonggongan keras para anjing.
Saya bergegas keluar rumah. Di depan rumah, saya melihat banyak orang berlari menuju ke arah polindes. Saya pun ikut berlari bersama mereka.
Begitu tiba di halaman polindes, saya melihat hampir semua tetangga saya berdiri di sana dengan wajah yang tampak syok dan ketakutan. Para orang tua mencoba menutup mata anak-anak dengan jari tangan mereka. Sebagian mama-mama menangis dan menjerit-jerit.
“Tuhaaan tolooong…!!” teriak Tanta Rina tampak memegangi kepalanya sendiri di tengah kerumunan.
Saya mencoba melangkah lebih dekat ke halaman polindes. Saya terperanjat ketika melihat sosok Tanta Nata telah terkapar bersimbah darah di sana. Saya nyaris muntah saat melihat luka menganga lebar di batang lehernya.
Tanta Nata telah dibacok oleh Oom Thomas! Demikian kata orang-orang. Konon kejadian mengerikan ini bermula saat Oom Thomas yang baru pulang dari kebun dan melintas di depan polindes mendengar Tanta Nata sedang buang bahasa [3] tentang dirinya. Tanta Nata menyebut Oom Thomas sebagai tukang suanggi [4], penjudi, dan pencuri.
Memang Oom Thomas punya tabiat buruk seperti suka mabuk, berjudi, dan sering memukuli istrinya. Namun ia sama sekali tak pernah melakukan suanggi. Karena itu ia pun menghampiri Tanta Nata di teras polindes dan menegur perempuan tersebut. Tetapi Tanta Nata dengan mata melotot malah menjawab ketus: “Benar kok, lu memang tukang suanggi!”
Saat kerumunan di polindes semakin lama semakin membesar, mata saya tiba-tiba menangkap sosok Herlina. Ia terlihat sedang mengarahkan kamera ponselnya kepada Tanta Nata yang bersimbah darah dan kerumunan di sekitarnya. Perasaan saya langsung tak enak. Jangan-jangan ia menyiarkan tragedi ini di media sosial.
Dan betul saja. Begitu saya membuka gawai dan memeriksa Facebook Herlina, di sana telah terunggah sebuah video dengan takarir Akibat Bergosip di Polindes. ***
.
.
Jogjakarta, Juni 2023
.
Keterangan:
[1] Nafoknai: Musim panas yang sangat kering
[2] Atoin amaf: Saudara laki-laki dari pihak ibu yang bertanggung jawab untuk membimbing hidup keponakannya
[3] Buang bahasa: Menyindir
[4] Suanggi: Santet
.
.
Yonetha Rao. Lahir di Oebeo, Noemuti, Timor Tengah Utara, NTT. Menyelesaikan studi pendidikan bahasa Inggris di Universitas Timor, Kefamenanu. Pernah mengajar di Universitas Nusa Nipa, Maumere, Flores. Buku-bukunya Tangisan Sang Perawan (2011) dan Surat Cinta dari Yesus (2020).
.
Akibat Bergosip di Polindes. Akibat Bergosip di Polindes. Akibat Bergosip di Polindes. Akibat Bergosip di Polindes.
Leave a Reply