Cerpen Tanti Kuben Koko (Pikiran Rakyat, 16 September 2023)
SUDAH cukup lama aku tinggal di rumah susun ini. Sejak pernikahanku yang kandas dengan lelaki tidak bertanggung jawab itu lima tahun lalu, aku masih tinggal di sini bersama dua anakku. Anak-anakku sekolah tidak jauh dari rumah susun ini, jadi aku cukup tenang meninggalkan mereka jika harus pulang telat dari tempat kerja atau sekadar bertemu klien di luar kantor. Anak-anak yang mandiri adalah salah satu anugerah yang sangat aku syukuri.
Semuanya baik-baik saja. Kami hidup dengan wajar dan semua kebutuhan terpenuhi, terutama kebutuhan anak-anak. Anak-anak tidak pernah mengeluh atau rewel dengan sosok ayah yang tidak berada di depan mata mereka lagi. Aku bekerja di tempat yang lumayan memberikan gaji dengan nominal tinggi untuk ukuran pegawai senior sepertiku.
Kendalaku hanya satu: tetangga depan tempatku tinggal tiap pagi selalu berdiri persis di pintu tangga menuju ke bawah. Tak pernah mengganggu, tidak pernah membuat hal-hal aneh lainnya. Pria itu hanya terlihat menunggu sesuatu dengan tatapan aneh dan berdiri di sana sejak pagi dan entah sampai pukul berapa.
Aku yang tiap pagi berangkat kerja bersama anak-anak yang berangkat sekolah, lama-lama merasakan ada sesuatu yang janggal. Tetangga lain terlihat biasa saja, bahkan pria itu tidak jadi bahan omongan. Padahal biasanya gunjingan antar tetangga sering aku dengar jika aku pulang di atas pukul 9 malam dan anak-anak sudah tertidur pulas.
Untungnya semua malah membuat aku makin kuat dan kebal menghadapi hidup, melayani gunjingan mereka hanya membuang waktuku. Pada akhirnya toh semua hilang dengan sendirinya.
Pagi ini seperti biasa aku dan anak-anak bersiap berangkat. Tiba-tiba anakku yang kecil yang sudah membuka pintu untuk keluar berteriak kencang.
“Ibuu!”
Kakaknya menyusul berteriak, “Ibuu! Ke sini cepaaat, Buuu!”
Aku yang sedang memasukkan bekal anak-anak ke dalam tas mereka dengan cepat menghampiri dan segera menutup mulutku dengan tanganku saking kagetnya.
Ada sekotak besar bunga mawar putih yang sangat indah persis di depan pintu. Aku melarang anak-anak mengambil bunga itu karena khawatir ada sesuatu di dalamnya. Aku melihat ada kertas cokelat muda dan tulisan singkat di atasnya: SELAMAT PAGI, RATIH.
Jelas-jelas bunga itu untukku. Tapi dari siapa?
Pagi itu masih menyisakan pertanyaan besar. Meskipun pada akhirnya aku memutuskan menyimpan kotak bunga itu di dalam rumah dan kami tinggalkan dengan terburu-buru karena sudah terlambat dari jam biasanya kami pergi. Selebihnya, aku khawatir bunga itu jadi bahan gunjingan tetangga di sana.
Esok paginya bunga mawar dengan warna merah sudah ada di depan pintu setiap kami buka. Begitulah, bunga mawar putih dan merah menjadi warna-warna yang menghiasi pagi kami selama seminggu ini tanpa kami tahu pengirimnya. Tiap hari pula, tempat sampah di rumah dipenuhi bunga misterius itu. Tiap malam, anak-anak saling menebak jenis bunga yang akan datang esok pagi. Aku hanya menghela napas tanpa berusaha ingin tahu karena energiku sudah habis seharian.
Bangun tidur kali ini yang aku pikirkan adalah segera membuka pintu rumah. Tapi anehnya ketika aku membuka pintu, tak ada satu tangkai bunga pun yang ada di depan pintu rumah. Selang dua jam kemudian ketika kami akan berangkat dan membuka pintu, kotak berisi bunga mawar itu sudah ada di lantai depan pintu rumah kami. Lalu anakku yang kecil berteriak kegirangan karena dia berhasil menebak warna mawar yang datang pagi itu.
Aku memutuskan untuk mencari tahu pengirim bunga itu. Lama kelamaan aku memang jadi penasaran dan ingin menangkap tangan pengirim bunga mawar tiap pagi itu. Aku mulai dengan mengintip pagi ini, satu jam sebelum kami berangkat.
Tak ada tanda-tanda orang muncul di depan pintu. Kemudian setengah jam kemudian, aku kembali mengintip lewat lubang kunci pintu. Belum ada juga kotak bunga itu. Setengah jam kemudian anakku kembali berteriak dan kotak bunga itu sudah ada di depan rumah, kotak bunga mawar putih.
“Memang tetangga kamu enggak ada yang lihat siapa yang datang dan menyimpan bunga itu di depan rumahmu, Tih?”
Siska, teman kerjaku bertanya itu ketika aku bercerita.
“Sama sekali enggak ada. Dan aku juga malas tanya-tanya mereka.”
“Coba kamu pasang CCTV di depan pintu rumahmu. Kalo mau nanti aku minta tolong temanku yang pasangin, dia kerja di tempat pemasangan CCTV.”
Wah, ide bagus. Kenapa aku enggak mikir ke arah sana, ya? Aku akhirnya setuju idenya dan mulailah dipasang CCTV malam itu setelah anak-anak sudah tertidur.
Sepanjang malam, aku sulit tidur. Aku ingin segera pagi dan memergoki pengirim bunga itu melalui pantauan CCTV. Aku sengaja membiarkan anak-anak tidak tahu soal CCTV ini. Biarlah besok saja mereka tahu pengirim bunga misterius yang lama-lama membuatku jengkel karena meninggalkan banyak sampah bunga di rumah ini.
“Gimana? Jadi siapa pengirim bunga itu?”
Siska langsung menyambutku begitu aku sampai kantor.
Dengan lunglai aku menggeleng.
“Tak ada seorang pun. Dan tak ada bunga pagi ini.”
“Hah? Apa dia sadar kamu sudah pasang CCTV itu?”
“Entahlah. Bisa jadi. Mungkin dia memata-matai waktu pasang CCTV.”
“Iya juga, ya. Nanti malam kamu coba lepas CCTV buat mancing dia besok pagi.”
Pusing kepalaku jadinya. Siapa pengirim bunga mawar bedebah itu?
***
SEMINGGU berlalu, tak ada lagi bunga mawar di depan pintu rumah kami. Subuh ini kami dihebohkan dengan teriakan-teriakan dan gedoran tetangga di pintu rumah kami.
“Meninggal kenapa?”
“Serangan jantung?”
“Badannya sudah membusuk!”
“Baunya menyebar ke mana-mana, kok tetangga depannya adem ayem saja, ya?”
Aku membuka pintu dan sudah ada banyak orang di luar.
“Siapa yang meninggal, Bu?” Aku bertanya dengan heran karena pintu rumah pria yang biasa berdiri di dekat tangga itu terbuka lebar. Mereka berkumpul di sana sambil menutup hidung.
“Masih bertanya juga? Di mana nurani dan hatimu, Mbak Ratih? Bahkan hidungmu juga sudah tidak berfungsi?”
Astaga. Aku betul-betul dibuat heran dengan tingkah mereka. Aku menyerobot masuk dan melihat tubuh pria itu terbujur kaku, tapi aku sama sekali tidak mencium bau busuk seperti yang mereka bilang. Aku hanya mencium wangi yang tak asing.
“Ibu, orang ini kenapa, Bu?” Tiba-tiba suara anakku terdengar ketakutan.
“Enggak tahu, Nak. Ayo kita keluar, kita lapor satpam di bawah.”
Aku gemetar. Aku baru melihat hal seperti ini dalam hidupku.
***
“PRIA itu bernama Burhan. Dia bisu dan tuli sejak lahir, dulu tinggal di sini bersama istrinya. Tapi istrinya sudah meninggal lima tahun yang lalu. Mereka di sini sudah sepuluh tahun, dan Burhan sendirian sejak saat itu. Dia jarang bergaul, tapi enggak pernah bikin masalah. Tetangga di sini sudah maklum dengan kebiasaannya berdiri di dekat tangga. Itu ungkapan dia mengucapkan selamat pagi pada tiap orang yang akan pergi beraktivitas. Anda mungkin sangat sibuk jadi belum sempat berinteraksi sekali pun dengan Burhan?”
Bu Nisa, tetanggaku yang tinggal di ujung lorong menjelaskan panjang lebar ketika hari ini aku menyempatkan diri cuti bekerja dan berkunjung ke tempatnya.
“Iya, Bu Nisa. Saya baru tahu tentang Mas Burhan sekarang dari Ibu. Saya merasa bersalah karena tidak pernah sempat bertegur sapa dengan tetangga di sini, termasuk almarhum.”
Istri Burhan pernah cerita kalau dia sangat mencintai bunga mawar. Burhan selalu mengirim bunga mawar tiap pagi karena dia sangat mencintai istrinya. Mereka memang pasangan yang romantis, Mbak Ratih. Orang-orang di sini sangat kehilangan istri Burhan dan kasihan melihat Burhan sendirian selama ini. Makanya mungkin orang-orang terlihat marah ketika mereka melihat Anda terlihat tak peduli di waktu beliau meninggal dan tak ada seorang pun yang tahu.”
Bu Nisa melanjutkan bicaranya setelah menarik napas panjang.
“Waktu dirawat dulu, istrinya pernah berpesan pada Burhan, jika suatu saat menemukan perempuan cantik bernama Ratih, kirimlah bunga mawar seperti dia selalu mengirim bunga itu pada istrinya. Kemarin ini saya membantu membereskan tempatnya dan menemukan kertas ini. Apakah yang dimaksud nama di sini adalah Anda?”
Aku tercengang melihat kertas yang tak asing itu.
“Kenapa, Mbak Ratih?”
Aku terdiam. Aku merasa bersalah. Tapi aku merasa tak melihat apa pun yang mencurigakan selain… bunga mawar yang berhenti dikirim sejak seminggu sebelum kematiannya. ***
.
.
Tanti Kuben Koko adalah nama Facebooknya. Seorang penulis kambuhan sesuai musim yang juga seorang analis di perusahaan media sosial monitoring ini sesungguhnya adalah seorang editor buku yang kena kutukan: tak bisa lepas dari sebutan editor meskipun sudah sekian kali melepaskan diri. Dia juga seorang penerjemah di Bili Bili Komik. Saat ini tinggal di Bandung dan sesekali keliling kota lain untuk ber-senang-senang.
.
Lelaki di Rumah Susun Itu. Lelaki di Rumah Susun Itu. Lelaki di Rumah Susun Itu.
Leave a Reply