Cerpen, Cindy Wijaya, Kompas

Bunga-bunga Beracun di Rok Lipit Retno

Bunga-bunga Beracun di Rok Lipit Retno - Cerpen Cindy Wijaya

Bunga-bunga Beracun di Rok Lipit Retno ilustrasi Joko Sulistiono dan Sri Lestari Pujihastuti/Kompas

4.1
(8)

Cerpen Cindy Wijaya (Kompas, 08 Oktober 2023)

“AMIN!” Merpati memulai Lentera Djiwa di pojokan gedung kaca dengan doa. Dan kau datang tepat saat kata amin terucap dari mulutnya, sengaja terlambat demi menghindarkan diri ikut serta dalam renungan pagi wajib per divisi sebelum memulai kerja.

Di Divisi Marketing Research kalian cuma berlima. Melati Sutjipta (kepala divisi) yang tentu saja berhak datang di atas jam sembilan atau jam berapa saja sekehendak hatinya. Jelas-jelas kita tak akan menemukan dia hadir di Lentera Djiwa. Merpati (manajer junior) yang berjiwa patuh pada Melati Sutjipta, dialah yang kerap memimpin renungan setiap jam delapan pagi tersebut. Bu Suro (supervisi lapangan) jarang dan tidak wajib datang ke kantor, terbebas dari keharusan mengikuti renungan pagi yang disenangi ibu-ibu divisi sebelah karena dapat melampiaskan tangisan mereka. Baru-baru ini ada Retno, anak baru yang menjabat Eksekutif Riset (mengaku sangat berpengalaman). Dia ini setipe dengan Merpati, penurut. Dan kau, staf paling menderita.

Kau selalu tak sudi ikut Lentera Djiwa yang hanya buang-buang waktu dan tak praktis. Menurutmu, buat apa semangat dibikin tinggi di pagi hari, tapi kerja saja belum tentu beres! Kau benci kepura-puraan semacam itu. Kau mendengarkan dengan sinis di balik kompartemenmu, Merpati dan Retno—yang berdandan seperti wanita terhormat—melakukan renungan pagi.

Memasuki bagian pembacaan nilai-nilai moral perusahaan, jiwa sinismu tak lagi terbendung. Maka kau melepas sepatu, tampil menari Maengket di hadapan kedua atasanmu. Empat pemusik (pemukul tambur, tetengkoren, bonang) khayal berdiri dengan sangat siap. Kapel (kau) masuk tak kalah mantap, tak sedikit pun merisaukan pandangan orang-orang. Liak-liuk tunggal, kau gerakkan jari-jarimu demi mengundang Dewi Padi turun ke Bumi. Lalu kau ajak delapan pasang penari (khayal) dengan wajah gembira serta tumit-tumit terangkat memasuki ruangan.

Para penari laki-laki mengenakan baniang, berdiri setengah lingkaran. Yang perempuan berbalut kebaya Minahasa pun sama di depannya. Mereka saling mengaitkan kelingking. Setengah lingkaran perempuan berputar arah jarum jam, yang laki-laki sebaliknya. Mengelilingimu di tengah-tengah lalu kembali ke posisi awal.

Sigi wangko nai pelenge wia se tua wo katuari e (segala hormat bagi para tetua dan saudara sekalian),” katamu menirukan lirik tari Maengket. “Iyayo nai moma pelenge sigi wangko kenu wiamo (dengan penuh hormat inilah persembahan kami semua).”

Retno dan Merpati menatapmu heran sekaligus penuh penghakiman. Bisa-bisanya kau mengotori kesucian Lentera Djiwa! Kau membela diri dengan bilang bahwa kalian baru gajian, harus segera menghaturkan ucapan syukur atas “panen” yang berlimpah. Sebab lumbung beras di rumah kembali terisi.

Wajah Retno yang murah senyum berubah kesal. Ditariknya kertas bertuliskan nilai-nilai moral perusahaan dari tangan Merpati dan membaca keras-keras. Sejak kedatangannya di tim kau sudah berkali-kali mencoba akrab dengannya sebelum akhirnya menyerah. Menurutmu dia kurang asyik, terlalu mengabdikan diri pada moral.

Baca juga  SILSILAH DI MATA MERAH PENYAIR ANWAR

Kupikir itu sangat tidak manusiawi dan penuh penghakiman. Hanya karena berbadan kurus seseorang disangka menggunakan narkoba? Ayolah!

Dia mengetahui lowongan di kantormu dari pamannya yang bekerja di kantor Badan Narkotika. Kau ingat hari pertama dia masuk kantor, sebagai usaha untuk menciptakan obrolan ringan bermartabat kau menanggapinya, “Di masa aku sekolah, ketika ada orang dari Badan Narkotika datang berkunjung untuk pemeriksaan urine dadakan, mereka—ditemani Kepala Sekolah atau guru yang merasa dirinya penting—langsung datang ke kelas-kelas dan memilih acak siswa bertubuh kurus untuk dibawa ke ruangan lain.”

Kau melanjutkan, “Kupikir itu sangat tidak manusiawi dan penuh penghakiman. Hanya karena berbadan kurus seseorang disangka menggunakan narkoba? Ayolah! Aku kenal Sani, aku kenal Sandes yang berbadan seksi dan montok… mereka kadang pergi ke klub dan menenggak ekstasi. Dan yang membuatku marah adalah lelaki-lelaki teman sekelasku yang dibawa itu bahkan tak mampu marah sama sekali. Aku sampai bingung, sebetulnya kepada siapa aku marah? Teman-teman submisif atau para kaum tua yang semena-mena? Kalau jadi mereka, aku akan menuntut pemulihan nama baik di atas selembar kertas apabila terbukti bukan pemakai narkoba!”

Kau merasa tidak ada yang salah dengan omonganmu, lagi pula badan Retno hampir sekurus dirimu, seharusnya ada empati yang sejalan. Namun dia hanya tersenyum simpul. Hambar seperti kopi hotel di waktu sarapan.

Tak mau kalah lantang, kau menyanyikan lirik selanjutnya. “Opo wana’ natas e… tembonome (ya Allah yang maha tinggi, pandanglah hati kami).” Tangan mengarah ke atas. Kini sambil berlutut, tangan naik turun, “Tembonome kai e… i mengaley (pandanglah hati kami yang memohon). Kai i mengaleye… kamang wangko (kami yang memohon berkat-Mu).”

Retno datang dengan profil seorang jebolan Statistik ITB dan pengalaman kerja konsisten di dunia Marketing Research, pindahan agensi riset terkenal yang kabarnya masih menunggu kembalinya ke kantor mereka (enam bulan ke depan dia betul-betul melakukan itu, kembali bekerja di kantor lama). Dia tiga tahun lebih muda darimu tapi satu level jabatan di atasmu. Satu-satunya motif sikap sopannya menurutmu adalah dia anak baru, selebihnya kau sudah melihat bakat superioritas terlatih.

Dia juga selalu berusaha mengajak kau dan Merpati menyantap makan siang bersama di meja bundar yang tersedia tapi tidak pernah digunakan oleh penghuni kantor karena letaknya yang terpencil, di antara gudang arsip dan dinding kaca terluar (dekat tempat mereka biasa berdiri mengadakan Lentera Djiwa). Tapi Merpati tak pernah mau. Kau pun selalu mencari alasan untuk menolak ajakannya. Dia berusaha terlalu keras untuk cepat-cepat “diterima” dalam tim. Kau duga dia penganut filosofi masyarakat bersatu adalah masyarakat produktif. Tim bersatu adalah tim produktif. Dalam hal ini kau merasa menang. Merpati tak pernah cocok denganmu tapi setidaknya, di hari-hari awal kerjanya dia selalu mau ikut makan di luar denganmu dan anak-anak Marketing Beverage—ajakan yang didasari rasa kasihanmu.

Baca juga  Mawar, Hujan, dan Kereta

Kadang-kadang kau berpikir Merpati yang pengecut itu bisa lebih berani ketimbang dirimu. Dia menolak dengan sangat gampang ajakan “makan siang meja bundar”-nya Retno, sementara kau harus sibuk memikirkan alasan yang akan terdengar meyakinkan. Merpati juga pernah dengan gamblang menolak perintah Melati Sutjipta untuk nonton film bioskop tentang dua sahabat laki-laki yang berbisnis kedai kopi—dengan produk kopi perusahaanmu sebagai sponsor utama—karena dia antifilm drama. Prinsipmu serupa Merpati, tapi akhirnya merasa tak punya alasan cukup pantas bagi seorang “rakyat jelata” di tim untuk menolak perintah atasan.

Menurutmu Retno cukup baik, sekaligus licik. Mirip ketika kau akan menerangkan Merpati Djunaidi dalam satu kalimat: nalarnya lambat tapi dia licik.

Unendo inania e… nariae, endo wangko ta moma pelenge (hari ini hari yang bahagia, hari besar untuk kita semua).” Tangan mengayun di sisi badan, jari-jari menari di muka. Kau begitu menikmati tarianmu sedang kedua atasanmu bertambah geram lantaran tak bisa langsung lari ke ruangan Melati Sutjipta (belum datang) buat mengadukan kelakuanmu.

“Mengapa? Aku hanya sedang bersyukur dengan sepenuh hati,” katamu membela diri.

Menurutmu Retno cukup baik, sekaligus licik. Mirip ketika kau akan menerangkan Merpati Djunaidi dalam satu kalimat: nalarnya lambat tapi dia licik. Retno selalu membawa bekal makan siang. Satu saat kau tidak makan siang bersama anak-anak Beverage dan memintanya menemanimu ke kantin. Dia berjalan terseok-seok sambil sesekali memeriksa tumit yang lecet (mungkin sepatu berhak datarnya baru) dan mengangkat rok lipitnya yang berbahan halus (motif tanaman beracun).

Sana lalan uman kasi laya kandait ni wailan (meski hanya sebidang tanah yang kami tanam tapi hasilnya memuaskan), upuen katepu-tepuan (mari segera petik).” Menunduk, tangan menari di depan kaki, seolah sedang mengumpulkan hasil panen.

Dia sering menyelaraskan atasan dengan bawahan yang dipakainya dengan motif yang persis sama, perilaku berbusana yang membuatmu mau muntah. Menurutmu, selera fesyen yang baik adalah tahu bagaimana memadu padan, bukan berupaya menyamakan motif tanaman beracun dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kalau aku berencana memakai kemeja dari bahan karung goni, berarti aku harus berkeliling toko untuk menemukan rok dari bahan karung goni juga baru boleh memakainya? Pikirmu sinis. Jika kau punya kesempatan menarik karet pinggang roknya, mungkin kau tak akan kaget melihat pakaian dalamnya bermotif bunga-bunga hemlock serupa rompi dan rok lipitnya. Kau punya kesenangan menyiksa gadis-gadis manja seperti dia. Tapi dia tetap bersedia menemanimu ke kantin.

Baca juga  Punthuk Setumbu

Dan dalam banyak kesempatan juga mengadukanmu kepada Merpati—yang dia panggil “Mas”—secepat menebak judul lagu populer yang terpaksa kau dengar setiap hari. Dia juga tidak menutupi rasa kesalnya ketika kau menolak bicara dengannya. Kau pikir orang seperti dia akan termenung sedih jika diabaikan, hingga tidak nafsu makan. Tapi salah, dia malah menyebut namamu dengan nada marah dan tanda seru, membuatmu semakin yakin bahwa anak ini tidak betul-betul baik. Atau, betul-betul tidak baik. Padahal seharusnya dia menangis! Itu akan memberimu perasaan senang. Kau kecewa dengan responsnya yang jauh di luar harapan terkejammu.

Berhadapan dengan Retno, kau telah berusaha menjadi macan Afrika. Namun ternyata dia singa Narnia yang tak diterima dimacani—kalaupun ada ungkapan seperti ini. Kau tak lagi dapat melanjutkan tarianmu sebab mereka berdua segera tersenyum menyaksikan kedatangan Melati Sutjipta dari balik kaca.

“Ya, baiklah, kita kembali bekerja! Kau! Laporannya beres hari ini ya, jangan lupa taruh nama saya, sedikit di bawah nama Bu Melati!” perintah Merpati yang tidak jadi menyelesaikan Lentera Djiwa. Retno, seperti sebelumnya, mengekor di belakangnya dengan gaya perempuan terhormat.

Kau tatap tangan Retno yang menumpu di atas rok lipit. Bunga-bunga beracun itu tidak layu di atas lipitannya. Melati Sutjipta sangat menyukai si Retno ini. Dia suka dengan siapa saja yang berdandan manis dan penurut, jelas-jelas kau bukan seperti itu. Retno menatap balik, tersenyum amat manis meski renungan paginya tak selesai gara-gara kau.

Kau sungguh masih ingin menari, tapi bunga-bunga beracun di rok lipit Retno telah membuat para penari dan pemusik khayal bubar tak karuan.

Kau tatap tangan Retno yang menumpu di atas rok lipit. Bunga-bunga beracun itu tidak layu di atas lipitannya. ***

.

.

Cindy Wijaya lahir di Manado, 25 Agustus 1985. Menetap di Tangerang. Buku kumpulan puisinya Syukini yang Pulang (2018). Mendirikan komunitas Sahabat Cikokol di Tangerang (2014). Tulisan-tulisannya pernah dimuat di majalah sastra dan koran nasional.

Joko Sulistiono dan Sri Lestari Pujihastuti adalah pasangan perupa yang tinggal di Yogyakarta. Joko lulusan S-1 ISI Yogyakarta dan Sri lulusan Informatika.

.
Bunga-bunga Beracun di Rok Lipit Retno. Bunga-bunga Beracun di Rok Lipit Retno. Bunga-bunga Beracun di Rok Lipit Retno.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Anonymous

    ga jelas ni cerpen, ceritanya sulit banget dipahami, muter muter gatau isinya apaan

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d