Cerpen Ade Mulyono (Kompas, 15 Oktober 2023)
SUDAH seminggu Mak Yanti berjuang melawan penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya. Ia tahu ajal sudah di tenggorokannya. Dengan sisa napasnya yang tinggal satu tarikan lagi, ia mengumpulkan semua anggota keluarganya. Di hadapan anak, menantu, cucu, dan cicitnya, wanita tua yang kini genap berusia seratus tahun itu berwasiat.
“Telah aku wariskan segala yang aku punya untuk kalian semua,” ujar Mak Yanti terbata-bata, “tidak ada yang akan kubawa ke liang lahat selain kain kafan tidak kurang dari satu setengah meter. Semua jerih payah semasa muda dulu, yang aku perjuangkan dengan menukar rasa lelahku hingga tulangku remuk redam, telah aku wariskan kepada kalian seadil-adilnya. Adakah di antara kalian yang masih sering menemui hari dengan perut lapar?”
“Tidak ada, Mak,” jawab semua anggota keluarganya berjamaah.
“Adakah satu saja di antara kalian yang takut menghadapi hidup karena tidak mempunyai uang?”
“Satu pun di antara kami tidak ada yang kekurangan barang sepeser pun, Mak,” balas salah seorang anaknya mewakili yang lainnya.
“Malahan kami bingung bagaimana menghabiskan uang yang Mak wariskan,” ujar anak yang lainnya.
“Jika begitu telah aku tunaikan tanggung jawabku. Dan, sekarang giliran kalian yang harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang anak, cucu, dan cicit.”
Mereka yang hadir saling pandang satu sama lain. Kepala mereka dipenuhi tanda tanya. Anak ketiga Mak Yanti, Hasan, memberanikan diri mengajukan tanya.
“Apa yang harus kami lakukan, Mak?”
“Sebentar lagi aku akan dipanggil menghadap Tuhan. Aku minta kalian semua melepas kepergianku sebagaimana aku dahulu melepas kepergian anggota keluarga yang lain.”
“Apa itu, Mak?”
“Sebelum malaikat Izrail mencekik leherku, aku minta kalian semua meratapi kepergian dengan merayakan kesedihan. Tangis sedu sedan. Hanya dengan itu ia akan pergi dengan tenang.”
Betapa paniknya semua anggota keluarga yang mendengar permintaan wanita tua paling ditakuti sekaligus dihormati itu. Hasan yang merupakan anak ketiga sekaligus anak tertua (setelah kedua kakaknya meninggal) kini kelimpungan mendengar permintaan terakhir ibunya yang sudah sama tuanya dengan dirinya. Ia bingung setengah mati apakah dirinya bisa memenuhi permintaan ibunya yang sudah melahirkannya ke dunia dengan segala kenikmatan yang telah diberikannya. Sebab, saat kedua kakaknya meninggal, tidak setetes pun air keluar dari matanya saat melepas kepergiannya. Bahkan, saat Mak Yanti sedang sekarat di atas ranjang tidurnya yang berlapis emas, sedetik pun hatinya tidak merasakan kesedihan.
Sebagai anak yang dituakan, kini beban itu diletakkan di atas pundak Hasan. Betapa berat menangisi orang yang akan, sedang, dan sudah meninggal. Begitulah kegelisahan Hasan mendengar permintaan ibunya yang menurutnya kelewat ganjil. Sebab, sudah puluhan tahun kebiasaan itu tidak lagi dirayakan. Mereka percaya hal seperti itu merupakan sebuah kejanggalan bagi peradaban modern.
Begitulah adanya. Sekarang usia kehidupan sudah 2.758 tahun. Laku kehidupan sudah berubah sedemikian rupa, maka ikut berubah pula budayanya, adat istiadat, dan ritual keagamaan lainnya. Kematian bukan lagi hal yang sakral untuk diratapi dengan tangis sedu sedan—apalagi selama: 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya.
Tidak ada ritual seperti itu. Semuanya diganti dengan kesibukan yang lebih produktif: bekerja. Menghasilkan omzet. Profit. Keuntungan. Sederhananya demi dan untuk uang. Tidak ada yang lebih sedih sedu sedan selain mengarungi hari tanpa menyimpan uang di bank, brankas, saku, dan dompetnya.
Dan, sudah berpuluh-puluh tahun pula setiap ada anggota keluarga yang meninggal, jika ia keluarga borjuis kelas kakap, tangis sedu sedan akan diserahkan kepada juru tangis legendaris: Mak Dameng. Setidaknya itu yang berlaku di kampung Kali Banteng ini. Siapa saja yang mendengar tangis Mak Dameng di suatu rumah, sudah dipastikan itu rumah orang kaya raya.
Benar saja, malam itu Mak Dameng menangis dengan pilunya sampai sesenggukan. Sudah berkantong-kantong tisu habis untuk mengusap air matanya. Satu per satu para pelayat memenuhi kediaman Mak Yanti yang megah bagai istana. Kebanyakan yang datang melayat adalah para kolega, rekan bisnis, dan teman nongkrong anak, cucu, dan cicitnya. Setelah berdoa sesingkat-singkatnya, mereka menemui anak dan cucunya. Salah satunya Hasan yang sedang sibuk mengurusi pekerjaannya.
Di ruang tamu Hasan menjamu koleganya. Tidak ada kata lain yang keluar dari bibirnya selain kosakata dari kamus bisnis-ekonomi-uang. Sedangkan anggota keluarga yang masih muda, yang dibicarakan dengan rekan-rekannya yang melayat hanyalah kesenangan perut dan selangkangan. Di ruang belakang jenazah Mak Yanti terlentang dengan tenang dan hanya ditemani Mak Dameng yang sedang menangis tersedu-sedu sambil menghitung uang 35 juta per 15 menit dikali 3 jam imbalannya bekerja sebagai juru tangis. Itu belum termasuk uang makan, transportasi, dan biaya tetek bengek lainnya.
***
Setelah menghabiskan air matanya dalam tiga bulan ini, yang terakhir sebagai juru tangis keluarga jenderal, Mak Dameng mendadak menghilang seperti ditelan bumi. Banyak yang menanyakan keberadaan wanita tua itu. Dari mulut pembantunya barulah diketahui jika sudah beberapa Minggu ini Mak Dameng tidak keluar dari kamarnya. Bahkan, sudah tiga hari ini ia hanya bisa berbaring di ranjang tidurnya setelah dihajar DBD. Saban hari ia hanya ditemani tujuh pembantunya. Ia begitu sedih tidak ada satu pun anak dan cucunya yang datang menjenguknya. Padahal, ia sudah memberi tahu anak-anaknya lewat e-mail yang dikirimnya beberapa hari yang lalu.
Sambil memejamkan matanya yang masuk ke dalam ia menyumpahi sepuluh anaknya dan dua puluh lima cucunya. “Bajingan kalian semua,” gumamnya dalam hati, “Kalian semua akan mati dengan cara yang ganjil.”
Belum lama ia menyumpahi anak dan cucunya, dari luar pintu kamarnya terdengar pembantunya memanggil. “Mak, ada tamu di luar.”
Segera saja Mak Dameng bangkit dari ranjang tidurnya seolah-olah Tuhan telah memberinya tenaga tambahan sebelum ajal mencekiknya. “Tunggu sebentar,” teriaknya girang.
Dengan penuh semangat wanita tua berusia 78 tahun kurang seminggu lagi itu membuka pintu kamarnya. Wajahnya semringah. Cahaya keluar dari tatapan matanya yang berbinar. “Apakah anak-anakku sudah datang? Imam, Jaruki, Abdul, atau Zainab?” tanyanya.
Pembantunya menggeleng.
“Barangkali 25 cucuku?”
Lagi-lagi pembantunya menggeleng.
“Menantuku mungkin?” kata Mak Dameng sambil menghitung jemarinya mengingat ada beberapa anak lelakinya yang mempunyai istri lebih dari tujuh.
Dengan geram, pembantunya berujar, “Aku hafal semua wajah anak, cucu, dan puluhan menantu Mak Dameng. Dan yang datang siang ini, barangkali sekarang sedang menunggu di ruang tamu, baru kali ini aku melihatnya.”
“Apa besanku?”
“Kalau boleh berandai-andai, sepertinya orang kaya yang minta Mak Dameng hadir di acara pemakaman untuk menangis. Dari penampilannya sepertinya pejabat teras republik. Menteri, barangkali.”
***
Malam ketujuh Mak Dameng masih bersembunyi di balik selimut sutranya. Perasaannya masih sama: nelangsa. Ia sedih, marah, dan kecewa kepada anak dan puluhan cucunya yang belum mengunjunginya. Ah, membalas e-mail-nya pun tidak. Sudah ratusan kali ia menelepon nomor anak-anaknya, tetapi jawaban yang diterimanya selalu sama: Nanti akan saya sampaikan, Bu. Begitulah asisten pribadi anak-anaknya menjawabnya dengan ketus.
Jika sudah begitu, Mak Dameng teringat perjuangannya membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Kerja kerasnya sebagai juru tangis telah mengantarkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang adi luhung: perguruan tinggi. Bukan sarjana S-1, melainkan PhD. Bukan kampus swasta di dalam negeri, melainkan kampus bergengsi di luar negeri. Minimal Australia.
Kini semua anaknya telah berkeluarga. Hidup bahagia bersama istri dan anaknya. Dan paling dekat tinggal di Bali. Namanya, Muklis—anak bungsunya. Itu pun sedang berbulan madu dengan istri keempatnya. Saat memikirkan anak dan cucunya yang tidak peduli dengan dirinya, tiba-tiba air keluar dari mata Mak Dameng. Diliputi perasaan pedih yang begitu dalam, ditaburi rasa sakit hati yang terperikan, wanita tua itu meluapkan air matanya. Tangisnya meledak sejadi-jadinya.
Sebuah tangis dalam arti yang sebenarnya. Tangis yang tidak dibuat-buat. Ya, begitulah Mak Dameng malam itu menangisi dirinya sendiri dengan perasaan sedu sedan. Seketika semua warga yang mendengar lolongan tangis yang paling haru, sedu sedan itu, berbondong-bondong mendekati sumber suara tangis yang belum pernah didengarnya.
“Betapa sedihnya tangisan itu,” kata salah seorang warga setengah berlari mendekati sumber suara.
“Indah sekaligus haru,” ujar salah seorang pengusaha sambil melirik istrinya yang sedang berbaring dengan infus di lengan tangannya.
Kurang dari satu jam semua orang sudah berkumpul di depan rumah Mak Dameng. Petugas keamanan kampung dibuat sibuk berjaga-jaga agar suasana tetap kondusif.
“Siapa yang baru saja meninggal,” tanya Pak Lurah.
“Entah. Masih desas-desus,” jawab petugas keamanan.
Di kamarnya ketujuh pembantu Mak Dameng sedang menangis tersedu-sedu setelah begitu khidmat mendengar tangis majikannya itu sejam yang lalu. Kini Mak Dameng diam tak berkutik di atas ranjang tidurnya seperti pohon tumbang yang menggeletak tak ke kiri ataupun ke kanan.
“Mak Dameng, aku rela kerja puluhan tahun tidak dibayar asal diganti dengan tangismu jika suamiku yang sedang sakit meninggal. Tolong jangan mati sekarang,” kata salah seorang pembantunya sambil menangis tersedu-sedu diikuti tangis pembantunya lainnya.
Kematian Mak Dameng dengan cepat tersebar ke telinga warga. Malam itu juga semua warga dari berbagai kelas sosial baik miskin maupun kaya memenuhi kediaman Mak Dameng.
Barulah saat tengah malam tiba semua warga sudah berkumpul di halaman depan rumah Mak Dameng dengan tangis sedu sedan. Di antara banyaknya warga tampak Hasan orang terkaya di kampung itu sedang menangis tersedu-sedu di bawah pohon ketapang sambil menahan jantungnya yang hendak meletus keluar dari dadanya.
“Kenapa mati terburu-buru Mak Dameng. Siapa yang akan menangisiku jika esok aku mati?” teriak Hasan sambil menangis hebat sebelum esok ditemukan sudah menjadi mayat dan tidak ada keluarga yang menangisi kematiannya. ***
.
.
Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Tulisannya dimuat di sejumlah media. Seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Merdeka, Harian Sultra, dan Majalah Harmoni. Novel terbarunya Jingga terbit tahun 2023.
Triyadi Guntur Wiratmo lahir di Kudus, 1974. Sarjana Desain Komunikasi Visual, Institut Teknologi Bandung. Begitu lulus langsung menjadi dosen di ITB sampai sekarang. Aktif berpameran sejak tahun 1996. Penghargaan yang dia dapat antara lain Penghargaan Filateli dari PT Pos Indonesia sebagai desainer Prangko Gerhana Matahari (2016) dan Recommended Illustrator ke Bratislava International Illustration Biennale, Slovakia (2002).
.
Juru Tangis dalam Tiga Babak. Juru Tangis dalam Tiga Babak. Juru Tangis dalam Tiga Babak. Juru Tangis dalam Tiga Babak.
Leave a Reply