Baron Yudo Negoro, Cerpen, Koran Tempo

Marda Sinclair

Marda Sinclair - Cerpen Baron Yudo Negoro

Marda Sinclair ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

5
(3)

Cerpen Baron Yudo Negoro (Koran Tempo, 15 Oktober 2023)

SEPUCUK surat terbaring di bawah kaki pintu. Marda memungutnya pada petang hari, setelah lelah mondar-mandir menyusuri lorong rumah sakit, merawat luka puluhan prajurit akibat serangan udara Jerman. Ia lalu membacanya sambil terbaring di kasur, masih mengenakan nurse cap dan seragam putih kumal, dan ingatannya mengembara ke masa kali pertama melihat Thomas.

Mereka bertemu di bangsal rumah sakit, ruangan muram berbau amis karena bercak darah yang berceceran di lantai dan ranjang pasien. Di tengah erangan kesakitan prajurit-prajurit malang, Marda berjalan tergesa-gesa untuk mencapai ranjang paling pojok. Thomas terbaring di sana, mengenakan seragam lusuh dan terkoyak di sana-sini. Wajahnya dibalut perban karena luka bakar, kakinya lumpuh, tersembunyi dalam selimut, dan bau nanah menguar dari badannya, bercampur bau alkohol dan obat-obatan yang menggantung di udara.

“Saya yang akan merawat Anda, Tuan. Katakanlah jika Anda memerlukan sesuatu,” kata Marda, ketika mengganti perban dan meraba kulit rusak lelaki itu, mencari tanda-tanda infeksi. Rambut dan dahinya basah karena keringat, lehernya tegang, dan jantungnya berdegup cepat.

“Lihat, Nona, lihatlah. Kenapa nasib membiarkan saya hidup, Nona?” Thomas merintih dengan mulut berliur dan gemetaran. Air mata membasahi kerut-kerut pelupuk matanya.

“Anda akan baik-baik saja, Tuan.”

Itu kebohongan. Sebab setelahnya Marda melangkah cepat hingga membentur bahu seorang dokter, melewati keramaian untuk mencapai kamar mandi. Ia lalu muntah sejadi-jadinya. Batang-batang kakinya lesu seketika, hingga tak kuat menahan beban badannya dan membuatnya terduduk di lantai dingin, menangis tanpa suara. Ia lalu memukul-mukul dinding dan meratapi hari-hari mencekam yang dilaluinya di rumah sakit selama beberapa bulan. Dalam benak, ia bertanya apa salah prajurit-prajurit itu, kenapa Kau membiarkan hal mengerikan menimpa mereka, Tuhan. Ratapannya surut ketika seseorang mengetuk pintu kamar mandi.

Marda Sinclair berusia 21 tahun, memiliki rambut hitam keriting dan mata cokelat serupa mata burung hantu. Ia satu-satunya perawat yang punya kamar sendiri, dengan fasilitas ranjang empuk, meja-kursi, dan kamar mandi. Perawat-perawat lain tidur beramai-ramai di bangsal perawat, sebuah ruangan pengap yang luas dan dipenuhi deretan kasur bertingkat.

Bukan hanya anak terakhir, Marda juga anak perempuan satu-satunya Edward Sinclair dan Victoria Sinclair, pasangan bangsawan dari Skipton, Yorkshire. Mereka tinggal di Somerset Hall, bangunan megah yang memiliki tiga lantai dan dibangun dari batu-batu kokoh dan beratap mansard yang dilapisi batu sabak.

Tak lama setelah Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain mengumumkan perang, September 1939, pelayan-pelayan Somerset Hall menerima surat yang menyatakan bahwa semua lelaki berusia 18-41 tahun wajib bergabung dengan kemiliteran untuk melawan Jerman. Maka, footmen, valet, dan chauffeur pun meninggalkan Somerset Hall, sehingga keluarga Sinclair yang sepanjang hidup dilayani oleh tangan-tangan orang lain kerepotan mengurus diri mereka sendiri.

Baca juga  Saya di Mata Sebagian Orang

Suatu sore, pertemuan rutin berlangsung di Somerset Hall, dihadiri oleh bangsawan-bangsawan, pejabat militer, dan dokter-dokter ternama. Mereka menikmati anggur di halaman berumput, dalam wangi bunga-bunga yang tumbuh di pangkal pagar dan dibawa oleh semilir angin sore. Mereka bercakap-cakap tentang politik, perang, dan keputusan pejabat negara yang dinilai ngawur.

Pertemuan itu dikejutkan oleh Marda Sinclair. Ia tiba-tiba menghampiri Dr Arthur Fitzroy, menyampaikan niatnya untuk mengikuti pelatihan dan menjadi relawan di rumah sakit kota yang dikepalai oleh Dr Arthur sendiri. Perdebatan alot pun tak terhindarkan antara Marda melawan Edward dan Victoria. Dan mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika Marda berkata, “Aku akan pergi, dengan atau tanpa restu kalian.”

***

SEJAK pertemuan pertama itu, Marda sering mendatangi Thomas pada sore hari. Mereka lalu pergi ke taman rumah sakit dan bercakap-cakap dalam naungan rindang pohon, dalam sepuhan lembut matahari sore. Sementara Marda duduk di bangku taman dan mengupas buah mangga, Thomas duduk di kursi roda, bercerita tentang seorang bunga desa, tentang musim semi, dan tentang kisah-kisah indah pada masa panen di East Meon, tempat tinggalnya dulu.

Di hari lain, Marda Sinclair memberi Thomas buku-buku dan majalah, menemaninya bermain catur dengan harapan lelaki itu terjauh dari pikiran buruk mengenai masa depan akibat kondisi badannya. Sehari setelah membaca surat dari Thomas, Marda menjemput Thomas di sebuah ruangan, tempat di mana prajurit-prajurit murung duduk melingkar dan saling berbagi pengalaman mengerikan semasa pertempuran.

Mereka lalu menuju taman dan Thomas menjawab basa-basi Marda dengan singkat dan sekenanya.

“Kenapa Anda pendiam?” Marda memecah keheningan.

“Sepertinya saya telah membuat Anda tidak nyaman.”

“Apakah ini tentang surat Anda?”

“Saya merasa lancang, padahal Anda sangat baik kepada saya.”

“Anda keliru. Saya malah merasa tersanjung. Anda jujur sekali di surat itu.”

“Jadi, Anda tidak marah karena kejujuran saya?”

“Tentu tidak. Ini memalukan, tetapi memang surat Anda membuat saya merasa berguna. Tuan tahu, perempuan seperti saya jarang melakukan apa pun yang berguna.”

“Saya tidak mengharapkan apa pun dari Anda, Nona.” Saat mengatakan itu, Thomas menengadah ke langit.

Di dahan pohon, seekor burung berjingkat-jingkat dan bercuap-cuap. Tiupan angin membawa aroma segar rerumputan dan air kolam.

“Saya tahu,” kata Marda.

“Dari bangku taman, ia memandang dengan gamang beberapa perawat yang menyusuri lorong. Di gerbang rumah sakit, kerumunan prajurit terluka turun dari truk muram, disambut perawat-perawat dan dokter-dokter, sehingga keriuhan mereka mencuri perhatian semua orang. Dada Marda terasa sesak melihat itu semua.

Baca juga  Dujail

“Perang membuat harapan semua orang pupus, Tuan,” sambung Marda, dengan suara lirih seperti putus asa.

Dalam surat itu, Thomas menuliskan kalimat-kalimat indah serupa puisi, bercerita tentang betapa ia bersyukur karena merasa tidak sebatang kara dengan adanya Marda. Lelaki itu dulunya tinggal dengan saudara lelakinya. Tak lama setelah bertugas di London, saudara lelakinya gugur tertimpa runtuhan Katedral St Paul yang digempur oleh pesawat Jerman.

Pertemuan mereka ternyata membuahkan gunjingan. Di sudut-sudut rumah sakit, perawat-perawat berkasak-kusuk, mengatakan bahwa Marda akan dilamar oleh Thomas seusai perang. Dan seandainya benar terjadi, lamaran itu tentu akan diabaikan oleh keluarga Sinclair karena tak mungkin seorang prajurit, apalagi prajurit cacat, tinggal di Somerset Hall bersanding dengan putri bangsawan. Sementara itu, Thomas menuai tawa dari prajurit-prajurit lain karena pertanyaan, apakah Nona Marda sudi mencium mulut rusaknya.

Marda mengabaikannya. Namun, suatu siang, ketika akan mengganti perban Thomas, ia dibuat terheran-heran oleh perawat lain bermuka masam yang telah berada di dekat Thomas, mengganti perban dengan cara serampangan sehingga lelaki itu merintih-rintih seperti menahan perih tak tertanggungkan.

“Ini tugas saya, Nona!”

Tanpa menatap Marda, perawat itu mengatakan, “Anda silakan merawat yang lain.”

“Tapi, selama ini saya yang merawatnya!”

“Saya diminta Dr Arthur untuk menggantikan Anda.”

“Di mana dia sekarang?”

“Maaf, Nona, biarkan saya melakukan tugas saya.”

Marda mendengus, sementara Thomas merintih sambil menatapnya dengan mata berair dan mencengkeram kuat alas kasur seperti menahan kesakitan. Marda lalu meninggalkan bangsal itu dan mencari Dr Arthur. Hari itu, hari berikutnya, dan berikutnya lagi, ia tidak dapat menemukan Dr Arthur, baik di ruang kerja, di ruangan lain, maupun di bangsal-bangsal pasien. Lalu, seorang perawat mengetuk pintu kamarnya siang hari, mengatakan bahwa Dr Arthur menunggunya di ruang kerja.

Begitu tiba di ruang kerja Dr Arthur, Marda dikejutkan oleh Victoria Sinclair. Perempuan itu tengah mencermati lukisan kereta kuda di halaman istana, yang menggantung di atas perapian.

“Ibu?”

Victoria menoleh, tersenyum kecil, lalu kembali mencermati lukisan di hadapannya. Meski usianya 44 tahun, Victoria tampak anggun dengan badan rampingnya. Matanya tajam. Bibir tipisnya tak pernah bicara dengan gegap gempita, tetapi dengan kata-kata ringkas dan penekanan.

Mereka bercakap-cakap sebentar. Sambil meraba warna cat minyak lukisan itu, Victoria berkata, “Terus terang, Marda, aku tidak setuju dengan ayahmu, mengizinkanmu menjadi perawat di rumah sakit. Ini tugas yang tidak seharusnya kamu lakukan.”

“Aku benar-benar ingin melakukan ini. Aku tidak bisa tinggal diam, sementara orang-orang di luar Somerset Hall menderita!”

Dengan gerak lambat, Victoria menoleh. “Tetapi, sayang, kamu putri kami. Kamu seharusnya tidak terlibat dalam hal seperti ini.”

Baca juga  Kebohongan Itu Manis, Vardhazh

“Ibu kemari tidak untuk membicarakan ini, bukan.”

Victoria lalu duduk di balik meja, di bangku milik Dr Arthur. Dalam sepuhan sinar lampu gantung, rambutnya yang disanggul rapi mengilap, kerut samar di dahinya kentara.

“Arthur menyampaikan hubunganmu dengan prajurit itu.”

Seperti diserang pukulan telak, Marda terdiam sebentar sambil menatap ibunya. Ia merasa kecil di hadapan ibunya, perempuan berwibawa yang dikenal mahir berkuda.

“Thomas, Ibu. Namanya Thomas.”

“Apa yang terjadi, Marda?”

“Aku hanya ingin merawatnya. Itu tugasku dan dia mempercayaiku!”

“Baiklah, jika kamu mengatakan itu. Tapi ini semua membuat keluarga kita terlibat dalam situasi rumit.”

“Aku mengerti keprihatinanmu, Ibu. Tetapi itu tidak benar!”

“Dia akan dipindahkan. Aku tidak ingin masalah ini merusak nama baik keluarga Sinclair.”

“Apa? Dia telah menderita begitu banyak. Ini tidak adil baginya!”

“Keputusan ini bulat.”

Dengan kemarahan yang memanggang dadanya, Marda keluar dari ruangan dan merasa perlu membanting pintu. Ia lalu menyusuri lorong sambil terengah-engah. Begitu tiba di bangsal, ia menemukan prajurit lain terkapar di ranjang Thomas, diurus oleh seorang perawat.

“Katakan di mana dia?” Marda menarik lengan perawat itu. Alat suntik lolos dari tangan perawat itu dan terlempar ke lantai.

“Apa yang Anda lakukan?”

“Katakan!”

“Nona Marda!” Dr Arthur mengenakan seragam kemiliteran, berdiri di ambang pintu dalam cahaya terik siang itu.

“Katakan, Dokter, di mana dia?”

“Buka mata Anda, Nona, lihatlah mereka.”

Dengan napas tersengal-sengal, Marda mengedarkan pandangannya sambil menyeka dahi. Prajurit-prajurit lain terkapar di ranjang, tampak compang-camping, berbalut perban dengan rembesan merah darah. Mereka menatapnya dengan sorot mata menyedihkan, dengan sorot mata penuh harap. Sayup-sayup, terdengar suara dari radio di sudut ruang, mengabarkan bahwa Istana Buckingham diledakkan oleh Jerman.

“Lakukan tugas Anda, Nona. Bukankah itu yang Anda minta?”

Degup jantung Marda perlahan-lahan memelan, begitu pun napasnya. Dengan langkah lambat, ia menghampiri seorang prajurit yang terkapar dan tak berdaya di ranjang. ***

.

.

Catatan:

Nurse cap: topi perawat

Mansard: ragam atap rumah dengan empat sisi yang kemiringannya terbatas di puncak dan curam di dasar

Footmen: pelayan lelaki

Valet: pelayan pribadi pria

Chauffeur: sopir pribadi

.

.

Baron Yudo Negoro adalah seorang buruh di Semarang, Jawa Tengah. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang lomba “Menulis Dongeng Batik Nusantara” yang diselenggarakan oleh Museum Batik Indonesia dan Kemendikbud pada Oktober 2021.

.
Marda Sinclair.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!