Cerpen R Eko Wahono (Koran Tempo, 22 Oktober 2023)
HAN SIN bukan pesulap. Melenyapkan tubuh seseorang berpindah ke lain tempat dalam waktu sekejap. Ia hanya seorang pengusaha properti tajir yang tinggal di Cakranegara. Seorang lelaki paruh baya yang mudah terpantik amarahnya jika kecewa. Atau terusik saat ia sedang merancang narasi besar.
Tak ada kabar atau kepastian Han Sin kembali pulang. Pintu pagar rumahnya yang setinggi dua meter itu selalu digembok rapat. Ia sangat murka atas tragedi yang menimpa putra kesayangannya itu. Dugaan saya, ia membawa pulang jenazah Tek Sun yang tewas terbakar itu ke Cungko.
Oh iya, Han Sin kerap menyebut Cungko untuk sebutan Cina. Ada dua tempat yang pernah ia sebut dalam ceritanya. Kaohsiung atau Tainan.
“Bukankah kau suka festival lampion? Sungai-sungai dengan pinggul indah bermandikan cahaya. Serta gadis berparas cantik di pengujung arus malam,” bujuk Han Sin di ruang tamu kantor Advokat Mores, tempat saya bekerja dulu.
Saya kembali mematut di depan tuts mesin tik. Menatap selembar kertas terjepit gandaran dari karet. Saya tidak menolak ataupun menerima tawarannya. Sejujurnya, saya lebih memilih berjalan sore hari. Menyusuri desa yang kian hari kehilangan petak sawahnya. Saya khawatir Han Sin kecewa atas penolakan halus itu.
“Sore ini, coba kau datang ke Han Sin. Cari tahu, apakah ia sudah pulang atau belum,” pinta Mores.
Padahal, sebenarnya saat itu saya sedang berkemas untuk segera pulang. Konon, kasus sengketa tanah yang melibatkan Han Sin sudah lama ada. Jauh sebelum saya bekerja di kantornya. Jika tidak kasus Toen Hong Kong Tsie, pasti sengketa tanah di Gili Trawangan. Di mana puncak dari tragedi itu, orang-orang pesisir mengamuk saat lahannya diambil paksa. Mereka membakar bangunan penginapan milik Han Sin, tak terkecuali tubuh Tek Sun.
Saya sempat berpikir, Han Sin, si lelaki bertubuh jangkung dan berkacamata tebal itu, seseorang yang maniak beternak perkara. Tapi untuk apa? Kesenangan? Bukankah justru sebaliknya. Ini bukan kota besar. Kita mudah bertemu kembali dengan seseorang yang baru saja kita kenal. Entah di jalan raya, pasar, pertokoan, atau rumah sakit.
Han Sin juga memiliki kebiasaan aneh. Ia selalu mengentakkan tiga kali kaki kirinya setiap hendak masuk ke kantor Mores. Katanya, untuk mengusir roh-roh jahat yang hendak mencelakai hidupnya. Itu mungkin sebabnya wajah Han Sin selalu tersenyum cerah bahagia. Kulitnya terlihat putih bersahaja. Saya benar-benar iri kepadanya. Sedikit pun tak tampak kerut cemas pada kelopak matanya.
Sore itu, saya tetap tidak mendapat kabar apa-apa tentang keberadaan Han Sin. Rumahnya tetap saja selalu kosong. Tak tampak satu orang pun di balik pintu pagarnya yang digembok rapat. Entahlah, mungkin ia memiliki lubang hitam untuk menuju suatu tempat dalam sekejap. Menciptakan taman surga untuk bermain bersama Tek Sun, anaknya.
Sebaliknya, di rumah sekaligus kantor Mores, kehangatan itu justru berasal dari suara-suara yang saling bertumbukan. Mulai suara piring pecah dari ruang dapur. Pekik histeris seorang perempuan muda di dalam kamarnya. Termasuk di ruang kerja yang dikelilingi lemari buku serta berkas kasus para kliennya. Mores kerap memanggil siapa saja dengan suara sangat keras, setidaknya di kuping saya.
“Theo….” tumpukan buku-buku tebal itu nyaris menutupi sebagian wajah Mores. Rambutnya yang ikal dan tampak berantakan itu mengingatkan saya pada aktor film kawakan Sukarno M. Noor.
Mores kerap menghardik. Menghardik siapa saja tanpa pandang bulu.
“Babi!” hardiknya tajam.
Ia bangkit seraya melepas gagang kacamatanya. Berdiri tegak di depan keponakannya.
“Sini, Babi. Kenapa tidak segera kau jawab?” aksen Sikka-nya membentur dinding kaca lemari perkara. “Tugas kau, antar kawan om ke rumah Sarkanis,” pintanya.
Anak laki itu hanya mengangguk serta menggaruk rambut keritingnya yang lebat. Sesekali bola matanya yang putih liar mencari sesuatu ke atas. Tentu saja tak ada apa-apa di sana. Lalu berpindah ke salah satu bingkai foto di dinding. Tepat di bawahnya terdapat sepiring pisang goreng yang sudah dingin sejak pagi.
Sore itu, kami segera ke Sarkanis. Seorang pengacara muda yang sedang naik daun saat itu.
“Mungkin Han Sin masih pulang kampung,” tebak Sarkanis.
Ia mendengar cerita dari mulut ke mulut bahwa Han Sin membawa jenazah Tek Sun ke Cina. Bagaimana kebenaran dari informasi itu? Wallahualam bissawab. Sarkanis mengangkat kedua telapak tangannya ke depan dada.
“Mungkin ia marah. Mungkin juga kecewa. Saya tidak bermaksud menolak semua tawarannya,” tangannya sibuk memasukkan martabak ke lubang mulutnya.
“Marah kepada siapa?” timpal saya.
“Saya tidak mau terjebak. Berhadapan hukum dengan saudara saya sendiri,” tandasnya.
Tiga bulan setelah pertemuan itu, saya dapat kabar yang mengejutkan. Sarkanis tampil sebagai pengacara warga yang tanahnya tergusur itu. Saya yakin, Han Sin sangat kecewa. Mungkin juga murka. Puncak dari ketegangan itu, ratusan orang datang berduyun-duyun ke pengadilan. Berteriak menuntut pengembalian aset tanah yang telah diambil paksa.
Namun, belakangan saya juga mendapat cerita bahwa Han Sin sebenarnya tidak ke Kaohsiung atau Tainan. Ia tidak memiliki sanak keluarga di sana. Saya hanya ingat ia pernah mengantar Tek Sun kecil malang itu berobat ke Taichung. Tapi saya tidak ingat dengan jelas sakit apa.
***
Tiga puluh tahun kemudian, saya sudah tidak lagi bekerja di kantor tersebut. Saya betul-betul menikmati hidup secara wajar. Menghirup udara pagi yang bersih seperti kebanyakan orang di kota ini.
Di pertigaan jalan, kedua mata saya nanar di depan papan reklame. Seorang caleg berparas sangat cantik. Rambutnya sebagian tertutup kerudung. Kedua matanya seperti menyimpan hasrat birahi tak terbendung. Terkesan sangat menggoda ketimbang mewakili suara rakyat. Lalu ada satu tulisan di sampingnya: “JANGAN LUPA BAHAGIA”. Seingat saya, Han Sin tetap saja bahagia. Meski tak pernah memasang fotonya di pinggir jalan-jalan raya.
Saya ingin bahagia seperti Han Sin. Waktu saya putuskan untuk berhenti bekerja, perasaan saya sangat bahagia. Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Selalu ada perasaan aneh mengganjal setelah kepergian ibu. Saya coba mencari tahu, tetapi tetap saja tidak menemukan jawaban.
Entah kenapa, secara tidak sadar saya telah berdiri di depan rumah Han Sin. Pintu pagar setinggi dua meter itu masih tetap digembok rapat. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Dingin serta angkuh. Seperti mengejek setiap kehadiran saya di depannya.
“Tidak ada siapa-siapa di dalam, Mas!” timpal seorang lelaki kurus bercaping. Ia segera bergegas. Mengayuh gerobaknya penuh berisi tumpukan kardus serta rongsokan besi tua.
Tanpa terasa kedua kaki saya berhenti di sebuah rumah. Seluruh pintu dan jendela-jendela kaca seolah bisu. Menatap berlama-lama sambil menjinjing perasaan hambar. Tak terdengar hardik serta teriakan kasar. Suara piring pecah di ruang dapur. Pekik seorang perempuan muda dari dalam kamarnya.
Seorang ibu paruh baya, tetangga Mores, menghampiri saya. Katanya, Mores telah meninggal dunia dua tahun lalu, setelah menjalani operasi gagal ginjal di Cina. Anak-anaknya kembali ke rumah ibu kandungnya. Sementara itu, perempuan muda yang kerap berteriak di dalam kamar itu pulang ke Jakarta.
Belum reda gemuruh di kepala, jantung saya seperti berhenti saat mendengar kabar buruk lainnya. Sarkanis, si pengacara muda itu, juga telah meninggal dunia. Ia tewas dikeroyok massa di sebuah kampung entah di mana.
Kedua kawan saya menghilang, setidaknya dari pandangan mata saya. Mungkin saja Mores gagal menyelesaikan kasus Toen Hong Kong Tsie. Sarkanis menolak secara tegas tawaran Han Sin. Lalu, siapa yang mampu menahan kecewa seorang pengusaha properti tajir saat merancang sebuah narasi besar?
Sebuah sedan putih mendekati saya. Nyaris tak bersuara. Awalnya, saya menduga ia seperti umumnya kendaraan yang melewati jalan raya. Melewati seseorang atau kota untuk melanjutkan perjalanannya ke suatu tempat.
Pintu itu kini terbuka.
“Bukankah kau suka festival lampion? Sungai-sungai dengan pinggul indah bermandikan cahaya. Serta gadis berparas cantik di pengujung arus malam….”
Suara khas itu seperti pernah saya kenal. Saya hendak bergegas berpaling pada mesin tik. Menatap selembar kertas terjepit gandaran dari karet. Tapi, saya tersadar, saya sedang berada di pinggir jalan raya.
“Han Sin?” saya membungkuk. Nyaris tak percaya apa yang terjadi di depan mata.
Saya tidak tahu, apakah saya sedang tersenyum atau tidak. Apakah saya menolak atau menerima tawarannya. Namun, saat saya hendak bicara, rahang saya keram. Terkatup rapat. Menahan deras laju udara yang dipompa dari jantung.
“Masuk….” suaranya dingin dan tajam. ***
.
.
Mataram, 2023
R Eko Wahono, lahir di Sikka-Maumere, Nusa Tenggara Timur. Kini bermukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Antologi cerpennya berjudul Potret Kita (2000), Tiga Muka (2003), Wanita Itu Masih Ada di Kamarku (1999), dan Bibir Perkusi (2005).
.
.
Leave a Reply