Cerpen, I Wayan Suardika, Kompas

Penjor

Penjor - Cerpen I Wayan Suardika

Penjor ilustrasi Didie SW/Kompas

5
(1)

Cerpen I Wayan Suardika (Kompas, 18 Januari 2015)

KERUMUNAN kecil di bale banjar itu perlahan menyusut ketika melihat I Beneh dari kejauhan. Hanya tinggal dua orang yang masih bertahan di situ ketika I Beneh benar-benar sampai di bale banjar. Seorang dari mereka menyapa lelaki itu. Tapi I Beneh tak ambil peduli.

Perhatian lelaki itu lebih mengarah pada sebatang penjor [1] yang berdiri menjulang dengan ujung melengkung ke bawah. “Ada yang salah pada penjor itu,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.

“Apanya yang salah, Nang [2]?”

I Beneh menoleh kepada orang yang bertanya itu, memandangnya sinis dan tajam. “Percuma aku jelaskan! Potong kupingku kalau kau mengerti penjelasanku. Tahumu cuma tajen [3] dan mamitra [4]!”

Seseorang yang dihardik itu cuma tersenyum masam. Ketika I Beneh melangkah menjauhi mereka menuju sebatang penjor yang berdiri depan rumah seorang warga desa dekat bale banjar itu, barulah dua orang itu berani menggerutu.

Jelema [5] stres!”

“Baru namanya I Beneh, belum tentu beneh [6]!”

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak yang tak menyukai I Beneh. Pembawaan lelaki paruh baya itu sering melukai orang-orang. Semua orang di desa itu dianggapnya dungu. Semua hal dianggapnya berlangsung salah. Aneh bahwa sejauh itu orang tak berani membantah I Beneh. Mereka hanya berani membantah dan menggerutu di belakang punggung lelaki itu.

Mungkin karena mereka menganggap I Beneh pernah bersekolah tinggi di kota, dan meskipun tidak tamat, namun orang terlanjur menganggap ia pintar, merasa sebagai orang kota yang kembali ke desa dan juga omongannya tinggi, banyak istilah-istilah yang tak dimengerti oleh orang desa dan dia juga mengaku mengenal banyak orang-orang penting yang sering kelihatan di acara-acara berita di TV.

Di sisi lain, mereka juga terpaksa mengakui  kalau I Beneh banyak tahu tentang persoalan adat, agama dan masalah desa. Jika berlangsung mebat [7] di bale banjar atau di rumah warga yang mempunyai hajatan adat, maka I Beneh akan mengambil bagian pekerjaan yang paling sulit, misalnya memotong babi dan dari mana harus memulai mengirisnya kemudian membagi-bagi dagingnya berdasarkan keperluan upacara. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengambil pekerjaan ini, termasuk yang paling diperhitungkan ialah I Beneh!

Prajuru [8] adat juga malas melangsungkan rapat jika dilihatnya I Beneh hadir dalam rapat itu. Jika tidak mengkritik, maka dia akan berbicara panjang lebar tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa berjalan, pendidikan anak dikedepankan, memandirikan desa dengan memajukan koperasi, membangun kesadaran politik agar masyarakat desa tak mudah diperdaya dan memiliki daya tawar politik dan seterusnya.

Baca juga  Misteri Seorang Tukang Cukur

Belum pernah ada yang berani membantah I Beneh.

Tetapi bagi orang-orang di desa itu, I Beneh adalah orang setengah gila, sok pintar dan stres. Setengah dari percakapan mereka di warung kopi, di sawah, sungai menjelang mandi atau ngobrol santai di bale banjar, adalah tentang I Beneh. “Ngomongnya galak di kampung sendiri, tapi waktu rapat di kantor camat, dia malah bungkam!” gerutu seorang prajuru adat dalam suatu obrolan di warung kopi samping bale banjar.

Memasuki hari penampahan [9] Galungan, orang-orang sibuk membuat penjor. Kebanyakan penjor mulai digarap saat penampahan, sehari sebelum memasuki Galungan. Tapi tak masalah juga jika penjor dibikin dua tiga hari sebelumnya. Penjor dibuat dari batang bambu panjang yang ujungnya makin meruncing ke bawah. Sepanjang pokok bambu dihiasi dengan gulungan-gulungan janur melajur ke atas hingga sampai ke ujung bambu yang melengkung. Di pokok bambu setinggi 2-3 meter dari tanah, berimbun segala daun, beberapa ikat padi dan kelapa yang ditata sedemikin rupa mengembang indah dan menyenangkan dilihat.

Sebatang penjor dilengkapi dengan sanggah cucuk [10] yang berfungsi sebagai tempat sesajian dan persembahan suci. Pada bagian dasar anyaman segitiga diselimuti kain kuning. Pagi di hari Galungan besok, sanggah cucuk itu akan dipenuhi banten [11], dupa dan persembahan lainnya. Hari penampahan adalah rangkaian paling terakhir dari serangkaian panjang sebelum sehari berikutnya memasuki hari suci yang dinanti-nanti: Galungan!

Pagi masih berkabut di desa itu. Tapi kesibukan dan suasana hari suci Galungan sudah sangat terasa. Gaung gamelan dari pengeras suara berkumandang ke pelosok desa, beberapa perempuan dan anak-anak sudah mengenakan pakaian adat, aroma banten dan dupa menyemarakkan jalan-jalan lebar di desa.

Kesibukan paling tinggi di hari Galungan memang terjadi di pagi hari sebelum melewati tengah hari. Persembahan dan persembahyangan biasanya sangat ramai pada pukul sembilan pagi. Jalanan umum jauh lebih lengang dari hari biasa, dan jika ada kendaraan biasanya juga untuk kepentingan menuju ke pura desa atau pura dadia [12], atau ke tempat-tempat yang dipandang suci.

Tapi ada pemandangan sedikit ganjil pagi itu. Semula orang-orang tak terlalu ambil peduli karena mungkin mereka lebih khusyuk pada kegiatan persembahyangan dan persembahan untuk hari Galungan. Namun menjelang siang, terutama saat orang-orang sudah selesai bersembahyang, satu dua orang mulai berkerumun, mempercakapkannya dengan rasa heran.

Baca juga  Ia Terus Memungut Daun-daun Kering

Keganjilan itu ialah penjor depan rumah I Beneh. Tak sebagaimana bentuk sosok penjorpada umumnya, penjor depan rumah I Beneh itu tegak lurus dan sama sekali tak ada lengkungan ke bawah di ujung penjor. Penjor itu sepenuhnya tegak lurus. Selebihnya, kaidah penjor yang lain dipatuhi.

Kerumunan itu makin membesar dan mengelilingi ‘penjor tegak lurus’ itu. Dan berbagai komentar pun mengemuka.

“Ini penjor atau umbul-umbul menyerupai penjor?” tanya seseorang.

“Ini tidak benar. Penjor harus ada lengkungan di atasnya karena itulah yang kita sebut penjor,” ujar yang lain.

“Badah, Galungan bisa leteh [13] karena penjor yang tak sesuai aturan!”

“Ini pasti kerjaan Nang Beneh!”

Makin riuh komentar-komentar dan mereka akhirnya sampai pada nama I Beneh. Penjor itu berdiri tegak di muka rumah lelaki yang mereka kenal sebagai orang setengah gila, sok pintar dan stres itu.

“Dasar jelema buduh [14]!”

“Stres!”

“Merasa paling benar!”

Ketika kehebohan makin sengit, dan guna mencegah kejadian yang tak diinginkan, prajuru adat dan beberapa pengelingsir [15] desa mendatangi I Beneh di rumahnya.

I Beneh ditegur secara kekeluargaan, diceramahi, dinasihati, bahwa sesuatu adat yang telah berlangsung turun-temurun adalah warisan yang harus diteruskan karena dasar kearifannya ada. “Kami tahu Nanang adalah orang pintar, dan kami juga tahu Nanang sangat… sangat mengerti mengapa Nanang membikin penjor yang tak lazim itu. Tapi mohon juga dipahami bahwa kami sekalian adalah orang-orang desa, orang-orang sederhana yang terlalu mudah terperanjat oleh hal-hal baru yang tak dapat kami mengerti. Kami meminta Nanang memahami itu,” kata salah seorang prajuru adat.

Orang-orang mengira I Beneh akan melakukan serangan balik dengan bantahan-bantahannya yang sengit sebagaimana yang sering mereka lihat di hari-hari kemarin di berbagai situasi. Namun kali ini mereka melihat I Beneh hanya diam dan menyeringai tipis.

“Jadi, kami dengan rasa kekeluargaan memohon maaf kepada Nanang jika sebentar lagi penjor Nanang akan kami cabut,” lanjut prajuru adat yang nampaknya menjadi juru bicara di antara prajuru adat itu.

Namun salah seorang pengelingsir desa yang dari tadi diam saja akhirnya juga ingin tahu apa yang menjadi alasan I Beneh membikin penjor tegak lurus itu.

Ketika ditanyakan hal itu, I Beneh tak segera menjawab. Ia diam cukup lama dengan seringaian yang tak pernah lepas dari bibirnya.

“Mengapa, Neh? Mengapa kau bikin penjor seperti itu?” desak pengelingsir desa itu ingin tahu.

“Menurut aku, seluruh penjor seharusnya tegak lurus,” sahut I Beneh akhirnya. “Menurut aku juga, penjor yang tegak lurus mencerminkan juga makna Galungan. Kita semua tahu mengapa Galungan dirayakan, yaitu karena kita merayakan dan mensyukuri kemenangan dharma atas adharma. Dharma ialah kelurusan hati, lurus pada hal-hal tulus, kebaikan, jalan murni hati nurani menuju Hyang Widhi [16]. Penjor tegak lurus menjulang ke langit karena kita semua ingin menuju kepada-Nya… Dia Yang di Atas.”

Baca juga  Pohon Kurma

Semua diam dan mendengarkan.

Dan I Beneh kembali menjelaskan arti penjor menurut jalan pikirannya sendiri dengan penuh semangat. “…bukan tak mungkin pula pendahulu kita membuat penjor dengan memanfaatkan bambu yang utuh dengan membiarkan lengkungannya tetap ada lalu kemudian baru dibikin artinya …”

Apa pun penjelasan dan pembelaan I Beneh, namun di ujung pertemuan,  penjor bikinan I Beneh tetap saja dicabut.

Dan orang-orang bersorak-sorai. ***

.

.

Catatan:

[1] Penjor = Hiasan bambu dengan janur, dedaunan, padi dan buah-buahan, dibuat sedemikian rupa sehingga nampak sangat indah. Penjor dibuat biasanya menyertai hari raya suci Galungan. Penjor dimaknai sebagai gunung atau Naga Basuki.

[2] Nang = Pak, dari kata nanang = bapak

[3] Tajen = sabungan ayam

[4] Mamitra = selingkuh

[5] Jelema = orang

[6] Beneh = betul, benar

[7] Mebat = menyiapkan segala jenis makanan untuk persembahan atau untuk perjamuan, biasanya dikerjakan oleh kaum lelaki di Bali secara gotong royong.

[8] Prajuru = pengurus

[9] Penampahan = rangkaian dari hari raya Galungan. Penampahan dirayakan sehari sebelum Galungan, dimaknai sebagai kegiatan penyembelihan hewan, umumnya babi, juga ayam atau bebek, sebagai persembahan perayaan hari raya Galungan.

[10] Sanggah cucuk = tempat sarana sesajian dan persembahan suci, dibuat dengan bahan serba bambu, berbentuk anyaman longgar segitiga yang ditopang oleh pokok bambu kurus kecil.

[11] Banten = sarana suci yang pada umumnya dibuat dari daun janur dan berbagai bunga disertai dupa

[12] Dadia = sehimpunan kepala keluarga

[13] Leteh = kotor

[14] Jelema buduh = orang gila

[15] Pengelingsir = tokoh, orang yang dihormati, orang yang dituakan

[16] Hyang Widhi = Tuhan Yang Esa

.

.

I Wayan Suardika. Selain menulis novel dan cerpen, ia juga dikenal sebagai kurator dan penulis seni rupa. Sampai kini tinggal di Denpasar, Bali.

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!