Sajak Mutia Sukma (Jawa Pos, 28 Oktober 2023)
KEPADA ANAKKU
1.
Dadaku,
Dentum traktor yang menghancurkan rumah
di pinggir kali; sentuhlah
.
Dekatkan telingamu ke sini
Tangisan anak-anak
.
Teriakan ibu-ibu yang kenangannya terhapus
Makin terdengar kencang
.
Telingamu yang menempel di dadaku
Meredamkan suara tembakan yang
dipantulkan ke udara
.
2.
Aku ingin menyusuimu seperti ketika bayi
Tapi bayangmu lebih tinggi dari pohon jambu
di rumah lama kita
Kantukmu tak terusik
Dan kamu sudah bisa tidur tanpa pelukku
.
Ketika kamu melempar senyum
Senyummu adalah air bagi si haus
Senyummu adalah matahari tenggelam bagi
sepasang kekasih
.
Senyummu adalah kembang api di dalam
alun-alun diriku
.
3.
Aku memuja matamu yang berbinar
Lampu-lampu gemerlap di pulau seberang
Ketika kita di pelabuhan
.
Ketika aku marah
Air pasang dan kapal kita terombang-ambing
Tapi kamulah tali kendaliku yang
menyeberangi arus bahaya
.
Karenamulah, Lautan surut
Dan arus mengantarkan kapal kita ke tujuan.
.
.
RUMAH
.
Rumah yang kita bangun penuh dengan pintu
Masuklah dari arah yang kau inginkan
Sebab setiap aku menutupnya
Seluruh kunci patah
Dan ia terbuka menunggu kedatanganmu
.
Di depan jendela,
Kita akan menikmati kopi
Bertautan tangan
Menyusuri sawah dan gulma dalam tubuh kita
.
Peta pada garis kita lesap
Masuk ke dalam dan seluruh pintu telah tertutup
Sebuah cermin retak
Kita berkaca sambil telanjang
.
.
BAU MASAKAN IBU
.
Telah kau panaskan santan
Pada tungkumu
Kualimu bulat
Hatimu lurus seperti kayu
di halaman rumah
Sering kamu memantik api
Menyalakan unggun
.
Menggiling cabai dan mengupas bawang
Hingga asapnya membubung
dan menerbangkanmu
Gulaimu telah menggelegak
Tapi kamu tak sempat mematikan api
Hanya meninggalkan halaman kosong
Yang begitu lama kubiarkan tak terisi
.
Aku masih sering melamunkan
pohon rambutan
Tempat kita biasa memasak bersama di bawahnya
Semua masih sama tapi kamu sudah tak ada
.
.
BERMIGRASI
.
Di atas kapal kita berpegang tangan
Duduk pada lantai yang lembap
Dan angin yang tak menentu
.
Rumah kita begitu jauh
tak terlihat
Bunga-bunga di halaman akan kering
Tapi aku membawa telingamu yang mirip kupu-kupu di dalam tamanku
.
Kapal terus melaju
Lampu-lampu kota kita makin tak terlihat
Terapung-apung,
Kita terapung-apung dalam gelombang
rambutmu
.
Di kota yang kita tinggalkan
Bunyi bedil lebih melengking dari bayi yang kita timang
.
.
Mutia Sukma. Pengajar, penulis, dan peneliti. Pendidikannya ditempuh di Jurusan Bahasa dan Sastra Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta dan Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.
.
KEPADA ANAKKU.
Leave a Reply