Cerpen, Eli Rusli, Pikiran Rakyat

Mei 1998

Mei 1998 - Cerpen Pikiran Rakyat

Mei 1998 ilustrasi Opik Geulang/Pikiran Rakyat

4.1
(14)

Cerpen Eli Rusli (Pikiran Rakyat, 21 Oktober 2023)

Rabu, 20 Mei 1998

TANGAN kanan Pak Dadang, dosen mata kuliah Analisa Laporan Keuangan sedang menari-nari di atas whiteboard, ketika terdengar suara-suara lantang melalui pengeras suara merobek suasana perkuliahan pagi. Jarum jam pendek di tangan Rin yang duduk di sebelahku belum sepenuhnya menggapai angka sembilan.

“Perhatian! Perhatian! Kepada seluruh mahasiswa yang masih berada di ruang kuliah harap segera kumpul di teater terbuka!”

Pak Dadang segera menghentikan pengajarannya. Matanya tertangkap melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Di bawah tatapan puluhan mata yang duduk di depannya, mulut Pak Dadang pun bersuara.

“Kuliah hari ini dicukupkan sampai di sini! Silakan bergabung dengan mahasiswa yang lain di teater terbuka!”

Tangan Pak Dadang mendahului kami menarik pintu dari dalam diikuti puluhan mulut yang berebut bicara di dalam ruang kuliah. Keramaian pasar malam telah berpindah ke ruang kuliah pagi ini.

Sejak huru-hara melanda ibu kota, situasi kampus ikut terbakar. Selepas salat Jumat minggu kemarin, mahasiswa bentrok dengan polisi di Jalan Setiabudhi, depan kampus. Barisan mahasiswa yang menuntut reformasi dihadang puluhan aparat kepolisian dan dibuat kocar-kacir setelah pimpinan polisi mengacungkan moncong pistol ke udara.

Aparat yang dibekali tameng dan tongkat pemukul yang awalnya diam seperti patung tiba-tiba menjelma menjadi serigala lapar yang mengejar mangsanya. Tameng dan tongkat pemukul membabi buta mencari mangsa yang lengah. Sore harinya berembus kabar beberapa rekan mahasiswa terluka dan sebagian terpaksa berbaring di atas ranjang rumah sakit.

Malam harinya aku mengabari Rin lewat wartel koperasi mahasiswa. Kubilang padanya jika tubuhku tidak ada yang tergores sedikit pun.

“Mengapa kamu ikut-ikutan mereka, San? Tubuhmu bisa terluka dihajar aparat. Tidak ada gunanya melawan pemerintah. Hari ini untung kamu selamat.”

“Tidak ada yang sia-sia, Rin. Percayalah dengan perjuangan kami. Sejarah mencatat perjuangan mahasiswa yang sanggup menumbangkan pemerintahan orde lama.”

“Terserah kamu!” Terdengar suara telepon ditutup.

Jari-jariku kembali menekan nomor telefon Rin. Penjelasanku belum semua kutumpahkan di telinganya. Tetapi suaranya yang kuharapkan masih terdengar, raib entah ke mana. Sepertinya dia meletakkan gagang telepon tidak pada peraduannya.

Baca juga  Sisik Dajal

Sebagai anak kos, krisis ekonomi yang mulai menerjang menjelang tutup tahun telah memporak-porandakan isi dompetku. Nasi putih dengan dadar telur yang dulu dapat ditukar dengan uang enam ratus rupiah pelan-pelan merangkak ke tangga delapan ratus. Harga itu dulu aku nikmati bersama puluhan sopir angkot, karyawan, dan mahasiswa di warung nasi belakang Terminal Ledeng.

Bagi mahasiswa dengan bekal pas-pasan sepertiku harga enam ratus rupiah itu sangat membantu menghemat pengeluaran. Naik dua ratus rupiah untuk satu kali makan sama dengan menaikkan jumlah beban di punggung orang tuaku.

Teman-teman kuliahku melangkah lebar-lebar menuju teater terbuka di sebelah timur ruang kuliah. Hari ini, pintu-pintu ruang kuliah seperti lubang tempat keluarnya ribuan laron menuju satu titik cahaya.

Aku dan Rin berdampingan menuju teater terbuka. Mahasiswa tumpah ruah di depan panggung. Orasi sedang dimulai oleh perwakilan mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi. Puncaknya ditutup dengan pembakaran gambar Presiden Soeharto.

“Rekan-rekan mahasiswa! Sekarang kita akan longmars ke Gedung Sate. Bagi perempuan sudah disediakan bus DAMRI di dekat gerbang kampus. Ingat! Jangan keluar dari barisan! Ikuti koordinator lapangan!”

Pemberitahuan itu diulang-ulang di tengah riuhnya mahasiswa yang segera membentuk barisan.

Sebelum masuk barisan aku dan Rin terlibat adu mulut.

“Kamu tidak ikut, Rin?”

“Malas! Aku mau pulang saja.”

“Terserah. Itu keputusanmu. Tapi menurutku sebaiknya kamu ikut saja. Ini peristiwa bersejarah yang entah berapa lama akan terulang kembali. Tidak ada salahnya kita ikut mendukung perjuangan mahasiswa. Perjuangan kita semua,” kataku penuh semangat.

“Baiklah aku ikut. Aku tidak akan naik bus. Aku berjalan bersamamu.”

Wajahku gembira mendengar jawaban yang terlontar dari sepasang bibir Rin.

Kali ini tidak ada penghadangan dari aparat kepolisian. Sebaliknya kami dikawal hingga depan Gedung Sate. Di sepanjang jalan tidak sedikit masyarakat yang meneriakkan “hidup mahasiswa”. Mulut kami tiada lelah meneriakkan pemberantasan KKN, menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto, dan reformasi di segala bidang.

Baca juga  Neraka dalam Rahim

Di depan Gedung Sate, lautan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung menyuarakan agenda yang sama. Sebuah panggung kecil dari bambu di depan Gedung Sate silih berganti dihiasi orasi tidak hanya dari perwakilan mahasiswa. Seniman, budayawan, tokoh masyarakat, ahli ekonomi silih berganti menyuarakan agenda reformasi di depan lautan mahasiswa. Sebelum azan Asar berkumandang, aku beranjak meninggalkan Gedung Sate mengantar Rinke rumahnya.

Kamis, 21 Mei 1998

HARi ini kurang-lebih pukul sembilan pagi, di depan televisi hitam putih empat inch aku dan teman-temanku menjadi saksi pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Perasaan haru menyelinap ke belakang dada. Perjuangan mahasiswa sukses menggulingkan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa kurang-lebih 32 tahun. Teman-temanku tidak sedikit yang menitikkan air mata.

Dalam kegembiraan terselip juga rasa kesedihan. Bagaimana tidak? Nama Presiden Soeharto selalu menemani hari-hariku di setiap jenjang pendidikan. Aku berkenalan lewat buku PMP, Sejarah, IPS, Tata Negara, PSPB, dan Penataran P4. Guru-guruku mengagungkan beliau. Setiap menjelang pemilu, guru-guruku selalu kompak mengenakan kaos kuning dengan nomor punggung dua mengikuti kampanye di lapangan.

Menjelang sore kakiku melangkah kembali ke kos-kosan Beni, sahabatku. Tadi malam aku sengaja menginap di kosannya. Dan baru pulang setelah pidato pengunduran diri Presiden Soeharto. Beni yang sedang menyaksikan berita keramaian mahasiswa di depan gedung DPR/MPR, mendekatiku.

“Tadi Rin menelepon. Kalau bisa nanti telefon ke rumahnya selepas Magrib.”

“Ada apa?” tanyaku penasaran.

“Hanya itu pesannya.”

Aku mengangguk, lalu menggabungkan diri menonton televisi.

Jumat, 22 Mei 1998

TADI malam Rin memintaku datang ke restoran cepat saji yang lokasinya tidak jauh dari rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Rin hanya mengabarkan ayahnya terkena serangan jantung setelah menyaksikan pengunduran diri Presiden Soeharto. Ayah Rin seorang pegawai negeri merangkap pengurus salah satu organisasi politik pendukung Orde Baru.

“Itulah sebabnya aku tidak setuju dengan demo-demo yang kalian lakukan. Ayahku orang pemerintah yang dihidupi oleh negara. Dengan koneksi ayah, kakak-kakakku tinggal memilih mau kerja di dinas pemerintahan mana. Mungkin termasuk aku nanti jika telah usai kuliah.”

Baca juga  Perihal Orang Miskin yang Bahagia

Aku mengangguk pelan. Sedang Rin meneguk minuman kesukaannya.

“Lihatlah sekarang! Gara-gara ulah kalian ayahku terkena serangan jantung dan harus berbaring di rumah sakit. Kamu telah menghancurkan mimpi-mimpiku dan ayahku.”

Suara Rin terdengar serak dan agak meninggi diikuti air mata membelah pipinya. Aku tidak punya cadangan kata-kata untuk membalasnya.

“Mulai sekarang, hingga seterusnya, jangan pernah menemuiku lagi! Hubungan kita cukup sampai di sini!”

“Rin! Dengar dulu!”

Aku berusaha mencegah Rin yang terus melangkah menuju pintu keluar sambil berurai air mata. Akhirnya aku hanya terpaku di atas kursi ditemani sisa minuman Rin dan minuman yang dia pesankan untukku yang masih utuh.

Sejak hari itu aku tidak pernah dekat lagi dengan perempuan yang sering membayar makanan untukku. Berkah-kali aku berusaha mendekatinya, dia selalu menjauh. Sampai akhirnya kami lulus kuliah, dan aku tidak pernah bertatap muka lagi dengannya.

Senin, 1 Mei 2023

SPANDUK ucapan selamat Idulfitri 1444 H berlatar lambang parpol dari Rin dan kakak-kakaknya masih menghiasi sudut-sudut Kota Bandung. Sepertinya Rin bakal mengikuti jejak kakak-kakaknya yang terjun ke dunia politik selepas pensiun dari pegawai negeri. Slogan-slogan anti KKN yang kami teriakkan dua puluh lima tahun yang lalu sepertinya gagal total.

Parpol-parpol yang lahir setelah reformasi tidak jauh beda dengan perusahaan-perusahaan milik keluarga. Korupsi seperti mata air yang tidak berhenti mengalir. Hukum milik orang-orang berduit. Kue ekonomi dilahap orang-orang dalam lingkungan yang sama. Aku yang sejak lulus kuliah tinggal di Kota Kembang kadang berpikir, buat apa dulu ada reformasi jika kondisi negara yang dicita-citakan setelah reformasi tidak pernah terwujud! ***

.

.

Eli Rusli, alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Menulis cerpen dalam bahasa Indonesia dan Sunda, dimuat di beberapa surat kabar.

.
Mei 1998. Mei 1998.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 14

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!