Cerpen, Kedaulatan Rakyat, Marisa Rahmashifa

Menunggu Bapak

Menunggu Bapak - Cerpen Marisa Rahmashifa

Menunggu Bapak ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

4
(4)

Cerpen Marisa Rahmashifa (Kedaulatan Rakyat, 15 September 2023)

AKU mengabaikan perintah Ibu, membiarkan batu itu tetap mengganjal pintu rumah hingga membuat tubuhnya menggigil oleh angin malam. Sekembalinya dari kamar dengan membawa jaket, bantal, dan selimut, ia mematikan televisi. Lalu, memandangiku yang tak berhenti menggambar wajah Ayah dengan runcing bambu untuk layangan.

“Tidurlah! Bapakmu tak akan pulang,” tukas Ibu untuk yang kesekian kali. Lekas ia menutup pintu rumah kami dan berbaring di kursi ruang tamu. Sudah dua hari Ibu tak pernah tidur di kamar.

Bapak berbeda dengan ayah temanku lainnya—yang saban pagi pergi ke kebun, sawah, atau bangunan besar. Dengan santai Bapak selalu menikmati kopi dan tak luput memanggil penjual roti goreng yang lewat depan rumah. Berbeda pula dengan Ibu yang tak jarang kelimpungan menyiapkan sarapan, menyapu rumah, dan mengantarku sekolah. Meski begitu, Bapak pandai membuat layangan, hampir semua mainanku dia yang membuatkan.

Sudah dua hari Bapak tidak pulang. Tidak ada yang membuatkanku layangan. Ibu juga tidak ada waktu. Ia hanya berada di rumah sebelum aku berangkat sekolah dan pulang sebelum magrib menjelang. Aku juga enggan meminta bantuan teman-teman. Milik mereka gampang putus dan sobek. Berbeda dengan layangan buatan Bapak yang kokoh seperti garuda.

“Besok hari ketiga, tidakkah kita pergi mencari Bapak?” tanyaku yang mulai bosan bertanya. Ibu tetap melanjutkan suapannya.

“Tidak mungkin, ia sudah pergi jauh.”

“Ke mana? Apakah Bapak mencari uang?” tanyaku lagi tak puas dengan jawaban Ibu. Ia hanya mengangguk seperti tidak peduli keberadaan Bapak.

“Tak perlu lagi cari-cari Bapak. Mulai sekarang buatlah mainan sendiri dan besok sepulang sekolah antarkan rantang ke sawah,” tegas Ibu lalu beranjak dan membawa serta piringnya. Aku hanya mengangguk dengan memendam rasa kecewa. Keinginan menunjukkan layangan baru pada teman-temanku pupus begitu saja.

Baca juga  Lara Lare

Dua hari yang lalu, aku tak mendapati tanda-tanda Bapak akan pergi jauh. Seperti biasa, ia menikmati kopi dan rokoknya sembari menonton pertandingan sepakbola. Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di dapur dan kamar sepulangnya bekerja. Rumah kami lebih sepi dibandingkan hari-hari sebelumnya di mana suara lengkingan keduanya seringkali menembus dinding kamarku.

Tak hanya aku, beberapa tetangga kerap menanyakan hal yang sama, di sawah, tempatku mengaji, bahkan penjual roti goreng. Aku menjawab sebagaimana yang diberikan Ibu. Pada suatu hari, laki-laki yang mengaku teman Bapak datang ke rumah menagih utang. Dengan dahi berkerut dan tanpa banyak kata, Ibu memberi beberapa lembar yang dimintanya.

“Pergi ke mana, Salim? Lama sekali tak terlihat.”

“Neraka,” jawab Ibu tanpa menoleh lagi dan langsung menutup pintu rumah.

Baru kali itu, jawaban Ibu berbeda. Seketika aku teringat cerita guruku kalau neraka hanya dihuni oleh orang-orang yang berdosa. Mengapa Bapak harus pergi ke sana. Dosa apa yang sudah dilakukan Bapak. Atau mungkin Ibu hanya lelah dengan pertanyaan orang-orang yang cuma menanyakan keberadaan Bapak. Sejak itu, aku tak lagi menanyakan dan menunggu Bapak. Seperti punggung Ibu yang harus mengurus rumah dan sawah sendiri, aku mulai terbiasa tanpa Bapak.

Sore itu, setelah pulang dari sawah, Ibu menyuruhku mengumpulkan kantong sampah di belakang rumah sementara ia menyalakan api. Ketika asapnya yang abu-abu mulai membubung ke langit, aku teringat plastik sampah di kamar Ibu. Sudah lama kamarnya tak diganjal batu.

Diam-diam, aku membuka pintu kamar dan menemukan gumpalan plastik hitam di belakang pintu beserta butiran mirip kristal putih berserakan di bawahnya. Seketika, bau aneh tercium dan refleks aku menutup hidung saat membukanya. Betapa terkejutnya aku menemukan baju Bapak.

Baca juga  Menghapus Lara

Ibu yang mendapatiku berada di kamarnya sedikit terkesiap. Tapi, ia diam saja. Digiringnya aku kembali ke belakang rumah. Ke dalam api yang membara, Ibu menyuruhku melempar buntalan kresek dari kamarnya itu. Kulihat wajahnya yang datar sedikit lega menikmati abu yang semakin tebal bertebaran.

Barangkali Ibu tidak tahu kalau aku melihat batu di bawah ranjangnya tadi. Warnanya abu kemerah-merahan seperti noda di baju Bapak. Tapi, aku diam saja tidak ingin bertanya apa-apa.

Kami sama-sama terdiam memandang api. Saat napasku mulai tersekat, kulihat Ibu menyeka matanya yang berair. Sebelum meredup, samar-samar kudengar ia berkata, “Diam lebih baik daripada mereka tahu kita menderita.” Setelah itu, ia duduk dengan wajah datar sembari memegang tanganku. Dan aku berjanji tidak akan bertanya tentang Bapak apalagi menunggunya. ***

.

.

Malang, 09 Agustus 2023

*) Marisa Rahmashifa, pengiat literasi dan penikmat sastra. Alumnus Sastra Inggris UIN Malang.

.
Menunggu Bapak. Menunggu Bapak.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!