Cerpen Putri Oktaviani (Kedaulatan Rakyat, 22 September 2023)
BAU busuk menusuk hidung Oji di rumahnya. Wajah kusamnya menatap jendela teralis besi. Melihat orang-orang baru pulang mengaji tujuh harian kematian tetangga dermawan di kampungnya. Perutnya keroncongan, karena sejak lima hari lalu tak diisi nasi. Dia hanya berharap salah satu tetangga berkunjung ke rumahnya, mengetuk pintu, dan memberikan besek berisi makanan hasil pengajian. Tetapi harapannya selalu pupus dari hari pertama hingga ketujuh. Orang-orang tidak mau mampir ke rumahnya yang dipenuhi sampah dan lalat.
Sudah seminggu Oji dan Bapak tidak mengumpulkan botol-botol plastik, besi berkarat, atau paku-paku yang masih bisa dijual. Pendapatan mereka menurun diakibatkan banyaknya petugas sampah di sekitar rumah. Tubuhnya lemas. Selain itu, Oji tidak punya tenaga untuk mendorong gerobak. Begitu juga dengan Bapak yang sudah seminggu terbaring di kasur kapuk berdebu.
“Pak Sobirin sudah meninggal, Pak. Tidak ada lagi yang memberi kita makan seperti biasa,” ujar Oji tanpa menatap bapaknya. Matanya masih terus melihat para lelaki bersarung membawa tentengan makanan.
Oji tidak bisa begitu saja datang ke rumah Pak Sobirin. Selain tidak diundang, dia juga tidak punya pakaian yang bagus dan wangi. Dia takut para hadirin yang mengaji di rumah tetangganya itu malah mencerap bau busuk karena kedatangannya.
Hari-hari selama tujuh hari itu pula, Oji memasak air untuk diminum. Tidak ada lampu apalagi listrik yang mengalir di rumahnya. Oji menggaruk kakinya yang penuh kurapan. Usianya yang memasuki kepala empat membuat Oji enggan mencari pasangan. Sudah berpuluh-puluh kali dia mencoba, tapi tak ada satu pun perempuan yang ingin diajak susah tinggal bersamanya. Hingga sang Ibu berpulang pada Ilahi sepuluh tahun silam.
“Pak, Oji dengar, biaya orang mati mahal sekali. Keranda dua ratus, memandikan jenazah lima ratus, kalau tenda katanya gratis dari RT. Tapi tanah kuburan serta papan nisan tujuh ratus ribu, Pak,” keluh Oji yang masih setia menatap ke luar jendela.
“Belum lagi biaya tahlilan dari hari pertama hingga ketujuh, empat puluh harian, seratus harian. Dapat uang dari mana kita, Pak? Bapak jangan mati dulu, ya!” Kali ini Oji menoleh kepada Bapak yang sama sekali tak menyahut setiap perkataannya.
Tubuhnya sudah terbujur kaku. Mulutnya yang sedikit terbuka dikerubungi dua lalat. Matanya terpejam sejak tiga hari lalu. Kedua tangannya seperti orang salat. Oji tidak tidur di sebelah Bapak lagi karena baunya sudah seperti sampah-sampah yang ada di halaman rumahnya.
“Bapak benar. Matinya orang dermawan menyulitkan orang susah seperti kita. Mungkin Tuhan memang menginginkan orang-orang susah mati duluan. Biar berkumpul lagi dengan orang dermawan. Oji juga mau ketemu Ibu dan Pak Sobirin, Pak.”
Sambil menahan perutnya yang sakit bukan kepalang, akhirnya Oji membaringkan tubuh di sebelah Bapak. Bau busuk menambah sakit kepalanya. Matanya menatap langit-langit atap yang semakin lama semakin memudar. Oji tahu ajalnya sudah dekat. Dia tidak keluar rumah, berteriak-teriak memberitahu tetangga bahwa ajalnya makin dekat, karena Oji tidak punya uang untuk membayar keperluan kematiannya.
Oji lebih tenang mati dalam keadaan senyap tanpa diketahui banyak orang. ***
.
.
*) Putri Oktaviani, lahir di Tangerang, tahun 2000. Penyuka keju ini senang menulis novel dan cerpen. Tulisannya dimuat di sejumlah media.
.
Mendekati Ajal. Mendekati Ajal.
Leave a Reply