Cerpen, M Rosyid HW, Suara Merdeka

Lelaki Pohon Gayam

Lelaki Pohon Gayam - Cerpen M Rosyid HW

Lelaki Pohon Gayam ilustrasi Suara Merdeka

4.7
(3)

Cerpen M Rosyid HW (Suara Merdeka, 21 September 2023)

PUKUL dua dini hari, Danar membolak-balikkan badannya di atas kasur. Ia butuh tidur, pikirnya. Butuh istirahat selepas sebelas jam perjalanan kereta dari Jakarta. Tapi, suara-suara berisik terus mengusik. Danar menutup telinganya dengan bantal. Teriakan demi teriakan terus menggema. Kadang terdengar seperti erangan tak henti-henti. Kadang berupa lolongan panjang.

Ia heran: demi apa orang teriak malam-malam.

***

“Ada orang gila baru di sini, Bu?” tanya Danar sambil mengucek-ucek matanya. Rambutnya acakadut. Ia bangun selepas kumandang azan Zuhur. Kantung matanya membengkak seperti habis kena pukul.

“Tidak ada!” jawab ibunya. “Semalam itu suara Yono, tetangga kita. Ia sakit.”

“Ya, sakit jiwa!” ujar Danar seraya menuju ke kamar mandi.

Danar hendak pergi kencan dengan pacarnya. Ada problematika asmara yang perlu ia selesaikan dengan Dinda. Itulah tujuannya pulang dan ambil cuti kali ini. Dinda ngebet kawin. Sementara Danar belum ingin. Ia masih berpikir karier dan kuliah lagi. “Jika kau tak pulang pada hari ulang tahunku, kita putus!” ancam pacarnya. Danar tak mau putus. Ia masih mencintai Dinda. Apalagi mereka telah berboncengan ke sana-kemari tujuh tahun lamanya.

“Hei, Yon! Ngapain di sana?” teriak Danar dari pintu belakang rumahnya. Yono diam mematung di bawah pohon gayam. Yono tak menyahut. Jiwanya seperti tersedot ke dunia lain—dunia-tak-kenal-waktu. Di atas batu, Yono duduk terpaku memeluk kedua lututnya. Pandangannya mendongak ke atas. Terus mendongak. Ke arah rimbunan daun gayam. Mungkin, ia sedang menunggu buah gayam jatuh, batin Danar.

Sejak pindah ke Jakarta, sudah lama sekali ia tak makan buah gayam, pikir Danar. Buah gayam berukuran cukup kecil. Cukup digenggam oleh sekepal tangan orang dewasa. Bentuknya tidak terlalu bulat, lebih ke gepeng dan pipih. Warna kulit luarnya hijau saat mentah. Ketika matang, buah gayam akan berubah kuning, lalu oranye, lalu cokelat.

Orang-orang hanya menunggu buah gayam jatuh ke tanah. Tak seorang pun hendak memanjat pohon gayam di belakang rumah, lalu memanen buah-buahnya. Meski harga gayam mencapai Rp 70.000 per kilogram, mereka tak hendak mengorbankan kulit tubuh mereka tersengat semut-semut merah raksasa. Sekali lagi, para pemburu gayam hanya menunggu biji-biji gayam jatuh dengan sendirinya. Jatuh karena terlalu matang dan diterpa angin. Atau jatuh sebagai sisa-sisa santapan para kelelawar. Saat pagi belum benar-benar terang benderang, pemburu sudah siap siaga memunguti biji-biji gayam.

Baca juga  Kucing Keempat

Salah satu pemburu paling sigap adalah Yono. Selain karena rumahnya mepet dengan rumah Danar, ia selalu bangun pagi lebih dini. Demi membantu ibunya: mengupas ketela, menggoreng pisang atau memberi pakan ayam. Selepas subuh tepat, ia telah bersiap di pintu dapur.

“Apa kau tak takut genderuwo? Pagi gelap-gelap kau mendatangi rumahnya.” Dengan polos, Danar kecil—masih SD, bertanya pada Yono suatu ketika.

Danar kecil tak pernah berani lagi mendekati pohon gayam. Ia pernah dilarang ibunya agar tak bermain-main di dekat pohon gayam malam-malam. “Bisa kerasukan genderuwo!” kata ibunya.

Awalnya, Danar tak percaya jika pohon gayam di belakang rumahnya berpenghuni. Tapi, suatu malam, saat ia bermain petak umpet, ia tahu salah seorang temannya bersembunyi di balik batang gayam. Ia memberanikan diri ke sana. Namun, bukannya teman yang ia temukan, ia malah melihat sesosok bayangan hitam besar. Besar sekali. “Genderuwo! Genderuwo!” Danar kecil lari terbirit-birit. Sejak itu, bagi Danar, pohon gayam serupa genderuwo yang siap menerkam.

“Daripada genderuwo, aku lebih takut kelaparan dan tak dapat uang!” jawab Yono.

Danar pun baru memahami jawaban Yono bertahun-tahun kemudian saat Danar protes pada ibunya: mengapa Yono dibiarkan mengambil gayam-gayam mereka. Saat itu, Danar telah merasakan lezat gayam rebus dan gurih kripik gayam. Dengan kelembutan setingkat bidadari, ibunya menjelaskan bahwa Danar harus lebih banyak bersyukur karena dianugerahi keluarga yang berkecukupan, orang tua yang lengkap, dan mampu sekolah tinggi-tinggi. “Kasihan Si Yono,” ibunya mengakhiri jawabannya.

“Si Yono mungkin kesambet genderuwo ya!” ujar Danar sambil menyisir rambutnya. Danar telah berpakaian parlente. Tubuhnya harum semerbak seperti habis disiram satu bak minyak wangi. “Kok dia hanya diam di tepi pohon gayam?!”

Baca juga  Suatu Ketika di Ruang Gawat Darurat

“Bapakmu juga bilang: Yono kesambet!” timpal Ibunya.

Ibu Danar kemudian bercerita pada Danar bahwa Yono mulai bersikap aneh dua bulan lalu. Ia berbicara tak jelas, menggumam sendirian dan kadang seakan-akan bercakap-cakap dengan seseorang. Mendengar Yono bersikap tak waras, Bapakmu menawarkan diri untuk mengantar Yono ke rumah sakit jiwa di tengah kota. Tapi, ibunya menolak karena ia beranggapan anaknya tidak gila. Hanya periksa dan berobat, kata Bapakmu. Namun, Ibu Yono tetap bersikukuh.

Tingkah Yono makin hari makin mengkhawatirkan. Ia teriak-teriak tak kenal waktu: pagi, siang dan malam. Setengah pagi, setengah siang, setengah malam. Ia pernah telanjang bulat dan berlari-larian di dalam rumah. Untung ibunya mengunci rumahnya hingga ia tak bisa keluar ke jalan-jalan. Bapakmu akhirnya mengundang dukun untuk mengobati Si Yono. Ada beruang hitam bersemayam dalam diri Yono, kata dukun. Dan dukun telah mengusirnya. Namun, tiga hari selepas kedatangan dukun, Yono kambuh lagi. Dukun didatangkan kembali. Dan Yono kembali berulah di hari ketiga. Dukun pun menyerah. Beri dia obat tidur kalau tetap tak dapat diatur, titah dukun.

Yono mungkin terlalu banyak berpikir akan nasibnya, kata Bapakmu. Berpikir tidak-tidak. Membayangkan terlalu jauh. Umur empat puluh belum kawin. Kerja kurang mapan—Yono tiap hari memulung sampah-sampah plastik di sepanjang dusun. Ibunya makin hari makin tua dan sakit-sakitan. Tak mampu lagi berjualan gorengan. Adik perempuannya juga baru cerai dengan satu bayi kecil. Lagi pula ada kabar beredar dan gosip bergasing: Yono ditinggal nikah pacarnya.

“Kini, tiap pagi hingga siang hari, Yono hanya diam mendekam di bawah pohon gayam,” Ibu mengakhiri ceritanya.

***

Sore begitu hangat saat Danar meluncur menuju rumah pacarnya. Angin berdesir-desir semilir. Ia bertekad untuk mendapatkan kata sepakat tentang nasib hubungannya. Namun, sepanjang perjalanan, ia masih teringat akan Yono—ketika Yono mengupas biji-biji gayam dan Danar kecil mendekat ingin melihat.

“Hanya pengupas ahli yang dapat mencacah gayam!” ucap Yono.

“Jangan sekali-kali mengupas gayam kalau kau tak pernah melihat bagaimana cara mengupasnya!”

Baca juga  Kartu Merah Sadat

“Ibu jarimu bisa terputus dan belepotan darah!”

“Gayam hanya ditakdirkan untuk dikupas oleh tangan-tangan tertentu! Konon, di dunia ini, hanya ada seratus tiga puluh satu orang! Aku di antaranya!”

Pertama-tama, Yono meletakkan sebiji gayam di atas sepotong kayu. Ia mengayunkan pisau besar dan mencacah tepi kulit gayam. Lalu, ia memutar-mutar biji gayam sambil terus mengayunkan pisau. Cara ia mengayunkan pisau terlihat sederhana, tetapi nampak ia telah melakukannya bertahun-tahun.

“Kalau kau tak tepat mengatur kapan harus memutar biji gayam dan kapan mengayunkan pisau, jarimu tak hanya tergores, tapi putus!” tegasnya.

“Potong tipis-tipis, tapi tepat di tepi!”

Setelah seluruh tepi kulit gayam terkupas, satu gerak tekan dari jari-jari Yono mengeluarkan bunyi “kreek” dan biji gayam menggelinding telanjang. Ia terkelupas sempurna. Danar kecil dibuat terkagum-kagum dan berbinar-binar. Ia memandang hebat lelaki yang terpaut umur lima belas tahun di atasnya.

Begitu Danar datang, Dinda sangat bersenang hati. Penuh kegembiraan, mereka berkencan sepanjang jalan. Lompat dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, keduanya tetap tak bermufakat pada kata sepakat. Danar berjanji akan menikahinya dua tahun lagi selepas ia lulus S2. Tapi, Dinda ingin dinikahi tahun ini. Mereka tak menemukan titik temu hingga Danar balik ke Jakarta.

Satu minggu kemudian, saat Danar hendak berangkat kerja, Ibunya menelepon: “Din, pohon gayam di belakang telah ditebang. Pada cabang batang gayam, Yono gantung diri!”

“Bulan depan, aku pulang, Bu. Lamaran dengan Dinda. Aku akan nikah secepatnya!” Danar langsung menyahut. Ia tak ingin bernasib seperti Yono. ***

.

.

M Rosyid HW, lahir dan tinggal di Sidoarjo. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media massa. Kumpulan cerpennya Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya (Pelangi Sastra, 2021)

.
Lelaki Pohon Gayam. Lelaki Pohon Gayam. Lelaki Pohon Gayam. Lelaki Pohon Gayam.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!