Cerpen Suparto Brata (Kompas, 05 Juni 1971)
AKU sebenarnya enggan ikut ibu. Bayangkan, ibu sendiri belum pernah pergi ke Surabaya. Tapi, mengingat studiku di Yogyakarta sudah macet, pulang di kampung tak punya kerja dan tak punya sawah, ajakan ibu itu sesekali memberikan harapan juga. Di Surabaya mungkin sarjana muda mudah mencari pekerjaan. Kalau aku sudah bekerja, akan kuteruskan lagi kuliahku. Titel Drs mesti kucapai. Di kampung, di bawah pohon bambu dan dikelilingi sawah, mana bisa aku mendapatkan titel.
“Ibu tahu alamatnya Pak Jitno di Surabaya?”
“Pokoknya beliau menjadi orang besar PNKA. Orang besar PNKA yang namanya Jitno tentu gampang dicari.”
Dan, berangkatlah kami dari kampung dengan dokar menuju ke Stasiun Jenar. Bawaan kami terutama oleh-oleh buat keluarga Pak Jitno. Ibu menggendong tas isi pakaian dan tempat sirih. Tangan kiriku sekantung beras ketan, tiga butir kelapa, sedang tangan kanan dua tandan pisang kepok dan pisang ambon yang telah berbentuk sisir dan kami ikat. Di Stasiun Jenar banyak pelajar yang mau sekolah di Yogya, rasanya pada mengerling kepadaku dan berbisik sesamanya: “Lihat itu sarjana muda jadi kuli!” Tapi, ibu tidak peduli, sambil memutar susurnya memerintahku agar membawa beras, kelapa, dan pisang itu melangkahi rel kereta api.
Di Yogya, beras, kelapa, dan pisang itu kubawa-bawa lagi pindah kereta. Begitu pula di Surabaya. Pintu keluar Stasiun Gubeng begitu jauh dari kereta kami, sehingga beban di tanganku rasanya berat benar. Sedang ibu, perempuan tua yang tahu tulis dan belum pernah ke Surabaya, berjalan seenaknya mengikuti arus orang.
“Bu! Tunggu aku!” teriakku. Tapi, ditimpa keramaian stasiun tak terdengar oleh ibu. Orang-orang kota yang menjemput keluarganya, berpakaian apik, menertawaiku. Teriakanku tak kuulangi lagi. Tapi, celaka, tali pisang ada yang putus. Sisir yang paling atas jatuh. Terpaksa aku berhenti, membetulkan. Talinya memang kurang kuat! Bagaimana aku harus menggotong ini? Ke mana pula ibu? Dia tidak membawa karcis. Dan, belum pernah ke Surabaya. Perempuan-perempuaan kota yang memakai jaket merah, menjemput keluarganya, tertawa menggeligik melihat sisir pisang ambon berantakan. Pisang semacam ini di Surabaya tentunya tidak kurang. Mengapa harus kubawakan dari kampung?
Ibu kutemukan di pintu keluar. Sudah omong-omong sama tukang becak.
“Ke mana kita, Bu?” tanyaku gugup. Habis, tukang becak begitu galak mengerumuni ibu.
“Mess PNKA. Berapa?” Ibu menawar becak. Aku tak berani tanya darimana dia dapat alamat. Baru ketika di becak, kedua kaki menumpang di atas beras dan kelapa, memangku pisang, aku bertanya.
“Tukang minta karcis tadi bilang suruh ke mess. Di sana tempat orang-orang gede PNKA. Kau harus tahu, pakdemu Jitno ini orang terkenal. Sekalipun sudah 15 tahun aku tidak ketemu, tentu gampang dicari.”
Ternyata tidak ada orang bernama Jitno di mess yang kami tuju. Aku tidak tergopoh turun dari becak dan melepaskan pisang di pangkuan ketika ibu memilih sebuah rumah besar tidak jauh dari mess. “Tanyakanlah dulu, Bu. Betulkah ini rumah Pakde Jitno?”
“Betul ini! Orang di mess tadi menunjuk rumah ini! Ayolah turun!”
Seorang perempuan muda pakai celana panjang mendapatkan kami. Tunggu, kusebutkan dulu sikap dan keadaan nona ini. Celananya merah ketat, bajunya sampai siku, bercorak warna-warni. Rambutnya dijalin dua, bawa buku. Ia mendapatkan kami dengan kening dikernyitkan, tapi bibirnya tak bisa menahan gelak. Aku khawatir saja yang ditertawakan baju ibu tenun lurik, kain wedelan dan sandalnya cap Burung Kutoardjo. Aduh, aku pejamkan mataku, tak kuasa menyaksikan ibu bertemu dengan nona manis itu!
“Su. Ini mbakyumu! Sekalipun lebih muda umurnya, tapi dia anaknya pakde! Lekaslah turun! Ini kan anu, siapa namamu, Nak? Nah, apa kataku! Cuma aku ini sukar mengucapkan nama-nama orang kota sekarang!”
Kulihat ibu menepuk-nepuk bahu nona itu. Aduh, cepat sekali akrab. Aku tahu sifat ibu. Nanti di kampung mau bersombong sama tetangga, pernah meraba baju nilon yang dipakai ponakannya. Tentu bakal disebutkan betapa halusnya, mungkin seperti sutera, mungkin seperti bulu kupu-kupu, pendeknya ibu punya istilah sendiri.
Aku turun dari becak. Barang-barang bawaan kuturunkan juga, kupersibuk diriku untuk menghindari pertemuan pandang dengan mbakyu yang elok parasnya. Aku jadi terkejut ketika dia mengacungkan tangannya mengajak berjabatan. Ah, coba yang begini terjadi di Stasiun Jenar, pelajar-pelajar yang bepergian ke Yogya tadi tentu lain sikapnya!
Pakde masih tidur. Tidak seorang pun di rumah itu berani membangunkan orang gede tidur, apalagi cuma kedatangan orang dari kampung. Bu Jitno pergi ke Tretes, konferensi apa begitu, aku kurang jelas. Tapi, kami tak merasa kecewa. Sambutan mbakyu Jeni dan adik-adiknya cukup meriah. Mereka masih kecil-kecil, lekas kenal ibu karena pisang ambon yang ranum-ranum buah tangan kami. Sedang kelapa dan beras diberesi oleh pembantunya, seorang perempuan mahal senyum, pakaiannya cerah daripada ibu.
Jeni sendiri dengan sikapnya yang bebas menemuiku di kursi dapur. Bukunya diletakkan di meja, tangannya yang runcing-runcing mengusap-usap janggutnya, matanya berkejap-kejap memandang kepadaku.
“Tak mengira aku punya saudara di desa,” ujarnya. Sudah berapa kali ia berkata begitu, dan aku merasa seperti barang antik yang dikagumi mahasiswa purbakala. “Ayah tak pernah bicara tentang—mana tadi, nama desanya?”
“Ayahmu memang sejak kecil meninggalkan kampung,” ibu yang menyahut. Seperti di rumah sendiri, ibu sudah cuci muka, lepas baju, makan sirih, dan bicara lantang.
“Bulik! Mengapa giginya kok hitam?” tanya adik Jeni sambil menonton ibu memutar susur.
“Bulik bisa dongeng?” tanya yang lebih kecil lagi.
“Oh, bisa. Aku dongengkan Kaki Butoidjo memburu Timun Mas.”
Dan, mulailah ibu mendongeng seperti cerita yang kudengar sewaktu kecil. Kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, dialog-dialog, tidak ada ubahnya seperti yang berkali-kali kudengar dulu.
“Bagaimanakah sekolah di sini?” Aku beranikan bertanya kepada Jeni. Kupilih kasus sekolah, maksudku untuk mengimbangi kesukaannya pegang buku itu. Tentunya ia seorang mahasiswa.
“Anu, siapa namamu tadi. Adikmu si Su ini kemari kan cari kerja. Apa sekiranya bisa ya, orang yang bertitel BA seperti si Su ini mendapatkan pekerjaan di sini?” suara ibu begitu lantang dan lancang. Denyut darah terasa panas di kepalaku. Tapi, ibu terus saja: “Ayahmu kan orang gede di PNKA Tentu mudah memasukkan bekerja keponakannya.”
Jeni mengernyitkan kening. Ia punya kebiasaan mengernyitkan kening, dan menambah manis wajahnya. “Aku kurang tahu tentang pekerjaan, Bu. Tapi, setahuku banyak orang bertitel di sini nganggur.”
“Sekolah di mana?” tingkahku menghilangkan kesan aku tuna karya.
Jeni menjawab sesuatu. Mungkin nama perguruan tinggi, mungkin nama jalan di mana gedung sekolahnya terletak, tapi karena aku begitu asing dengan Kota Surabaya, aku tidak tahu. Namun, aku pura-pura mengerti.
Sekali waktu ketika kami bisa lepas dari Jeni, ibu berbisik kepadaku, bahwa kami tak perlu khawatir kekurangan uang saku lagi seperti waktu meninggalkan kampung. “Aku ingat betul, pakdemu ini suka sekali membagi-bagi rezeki. Heh, Su! Andaikan engkau kawin dengan gadis itu, mau?”
“Ah, Ibu!” bentakku jengkel.
“Manis lo, dia!”
“Diam!” suaraku tak tertahan lagi. Sebab sekalipun berbisik, ibu suaranya tetap lantang. Mungkin kebiasaan rumah di desa, omong-omong serba keras. Sedang Jeni sudah muncul di ambang pintu.
Aku mesti menyadari diri. Saran-saran ibu sering memerahkan telinga. Tapi, enak juga jika dituruti. Misalnya ajakan pergi ke Surabaya ini. Sekalipun dengan kekuatan sangu di luar kemampuan kami, cari uang dengan berutang dan menjual barang-barang, akhirnya aku sampai juga di Surabaya dan tempat tujuan kami ternyata orang kaya, punya rumah bagus. Lalu saran untuk kawin sama Jeni. Mengejutkan hati. Tapi, andaikata terjadi demikian—ah, aku sering melamun. Pendidikan di perguruan tinggi tidak bisa melenyapkan orang melamun. Ya, andaikata seperti romannya Any Asmara, lakon diawali dengan pertemuan seperti tadi, seorang pemuda desa ketemu gadis modern akhirnya aku dan Jeni kawin. Alangkah mengharukan hati! Dan, kemungkinan itu ada. Ya, saran ibu itu mungkin saja terjadi. Lihatlah, Jeni yang manis itu, Jeni putri pakde Jitno, omong begitu akrab satu depa di depanku. Manis benar dara ini. Mungkin dari sini sudah bertabur benih-benih cinta?
“Ah, dik Su ini suka melamun!”
“Ah, enggak. Itu buku apa yang dipelajari?” aku mengelak.
“Ha ha ha. Cerita silat.”
Menjelang matahari terbenam, kepala rumah bangun. Mendengar kabar kami datang, ayah Jeni segera mendapatkan kami. Tapi, baik ibu, maupun tuan rumah agaknya sama-sama tercengang. Mereka belum saling mengenal! Kami segera sama menyadari bahwa keliru alamat! Dengan wajah yang anggep, orangg gede PNKA itu mengusut kami. Nyata sikapnya, tidak menyukai orang-orang tani yang mengaku-aku jadi keluarganya. Wajah dan sikap tuan rumah ini berbeda benar dengan Jeni dan sesuai benar dengan perempuan pembantu rumah tangganya.
Ibu juga memiliki sikap keras. Dengan suara lantang menyuruh aku mengumpulkan barang-barang, sisa-sisa buah tangan, pisang, kelapa, dan beras yang sudah disimpan oleh pembantu rumah tangga. Jeni lenyap sejak awal ketahuan kami keliru alamat. Hanya anak-anak kecil juga yang dengan mulut melompong dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tolol mengantarkan kami sampai di pintu pagar. Mereka tidak mau menyingkir dari dekat kami, sekali pun ayahnya memanggil-manggil dengan bengis.
“Heh, mbak Jeni sekolah di mana tadi?” tanyaku. Aku bermaksud kirim surat lewat alamat sekolahnya lain kali.
“Tidak sekolah, kok. Hostes,” jawab adik Jeni.
Ah, mengapa aku tadi pura-pura mengerti? Aku mencoba mengingat apa yang dijawabkan Jeni waktu kutanya sekolah di mana, tapi sia-sia. Tapi, aku yakin, dia menyebutkan nama jalan!
Kami cari becak untuk pergi ke rumah orang bernama Jitno, pegawai tinggi PNKA Surabaya. Jitno yang lain dari ayah Jeni. Bawaanku sudah tidak sesarat tadi. Pisang ambonnya sudah banyak susut. ***
.
.
Suparto Brata (1932), juga menulis dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa daerah maupun Indonesia dia produktif. Terkenal dengan novel Surabaya Tumpah Darahku (1978).
.
Bertamu. Bertamu. Bertamu. Bertamu. Bertamu. Bertamu Bertamu. Bertamu.
Leave a Reply