Cerpen Puspa Seruni (Media Indonesia, 22 Oktober 2023)
LANGIT menyala memerah, matamu membeliak memerah, wajah mereka memanas memerah, dan bercak pada bajuku juga mengental memerah. Sejak sore hingga menjelang fajar, semua terlihat memerah. Hanya gulungan asap yang berwarna kelabu dan terus menutup jalan napas dan mendesak-desak rongga dada dan memancing buliran air mata yang semakin menyulut amarah di dadaku juga dadamu. Kita lahir di tanah yang satu. Kita hidup dari hutan yang satu. Lalu mengapa tanah dan hutan itu pula yang membuat kita berseteru?
Aku masih ingat belasaan tahun lalu, setelah Nanang dan Meme memutuskan menjual rumah dan sepetak sawah untuk mendapat penghidupan baru di pulau yang asing, kamu mendatangiku dengan mata dan hidung yang memerah. Dengan bergetar, tanganmu yang cokelat gelap mengulurkan sebuah mahkota dari bunga liar yang kuduga dipetik dari tepian hutan. Tanpa meminta persetujuanku, kamu meletakkannya di atas kepalaku. Lalu kita hanya terdiam, saling pandang dengan dada yang gemuruh.
Saat Meme mulai menarik lenganku masuk ke dalam kendaraan, kamu mengekor dan berdiri di samping jendela. Tidak kamu pedulikan kakimu yang telanjang berlarian pada aspal hitam saat terik matahari memanggang mengikuti kendaraan yang mulai melaju pelan. Tanganmu yang kurus melambai. Suaramu sibuk berseru dengan parau. Pulanglah jika tanah baru tak seindah di sini, Luh, katamu. Sungai dan hutan akan merindukanmu, begitu juga aku, lanjutmu lagi dengan napas memburu. Suaramu nyaris ditelan deru knalpot yang asapnya mengepul menghitam. Saat kendaraan yang membawaku berbelok di tikungan, langkahmu memelan. Dadamu tersengal. Kamu tak lagi mengejar.
Di atas kapal yang mengombang-ambing kami di tengah lautan, pandanganku nanar mencari-cari daratan. Hanya biru terhampar dengan matahari yang mulai merosot letih ke barat awang-awang. Oh, beginikah rasanya jauh dari tanah kelahiran? Angkasa yang perlahan menghitam, menyisakan air mata yang menggenang.
Berbeda denganku yang lebih banyak diam dalam perjalanan, Nanang dan Meme mulai menyusun ancang-ancang. Pandangan mata keduanya tampak berbinar, berpendar di tengah selubung malam yang menghadirkan kegelapan. Pijar-pijar itu serupa bintang-bintang. Katanya, tanah baru akan memberi harapan. Satu per satu mereka merinci rancangan masa depan. Oh, Nanang. Oh, Meme. Bukankah Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah memberi kita tanah yang subur? Mengapa masih harus pergi ke ujung timur?
Di kampung yang baru, yang jarak dari rumah ke rumah sangatlah jauh, aku nyaris tidak memiliki teman sebaya. Bermain sendirian di tengah ilalang, meronce mahkota dari bunga-bunga liar seperti yang sering kau berikan. Aku terdampar di tengah keterasingan. Ke mana pun menoleh, yang tampak hanya lahan-lahan kosong.
Tidak seperti di tanah kelahiran yang sudah ditinggalkan, di tanah asing yang namanya susah kueja ini, Nanang diberi lahan luas yang terbentang dari kelokan jalan hingga ke dekat perbukitan. Pelan-pelan, Nanang menyulap tanah tidur itu menjadi sawah ladang yang subur. Benih-benih dari negeri lumbung padi didatangkan. Bendungan dan irigasi mengular membelah hamparan ladang. Ini masa depan, kata Nanang dengan berapi-api. Tanah asing di ujung timur itu memang mewujudkan mimpi. Nanang dan para pengungsi lain diberi gelar penggerak revolusi dan penegak tiang lumbung pangan. Akan tetapi, semua pencapaian musnah seperti api yang melalap ilalang, lenyap hanya dengan satu hembusan angin bernama referendum.
Orang-orang bersenjata memaksa kami pulang setelah lima belas tahun tinggal. Ke mana kami akan pulang, kata Nanang. Meski sudah belasan tahun, rupanya kami tetap disebut pendatang. Nanang dan Meme bimbang. Kami tak punya apa-apa lagi di kampung halaman. Wajah keduanya berselimut mendung tebal. Sementara aku, berbinar mendengar kata pulang.
Suara gelak tawa kita saat menyusuri hutan mencari belalang kembali terdengar. Aroma asam dari peluh dan keringat usai bermandi matahari di lapangan kembali tercium samar-samar. Hal yang ingin kusegerakan setelah kakiku menginjak tanah tempat ari-ariku dikebumikan adalah menemuimu. Aku sungguh tidak sabar untuk segera berkabar, tentang tanah timur yang jauh, tentang beragamnya cerita sejak ratusan purnama kita tak bertemu.
Saat kapal mulai merapat, hanya senja kekuningan yang menanti kami di dermaga. Aku tidak mendapatimu menunggu seperti yang kuminta dalam suratku. Aku cemas dan mulai ragu, apakah kamu tak menerima suratku? Apakah kamu sudah melupakan aku, Iluh, teman masa kecilmu?
“Di mana kita akan tinggal?”
Nanang bergumam pelan. Kami sedang berdiri di anjungan, menatap dermaga yang terjulur membelah pantai. Aku melirik pada petani-petani lain yang juga dipulangkan. Ada gurat cemas dan bingung tergambar dari wajah-wajah yang letih setelah menempuh perjalanan nyaris tiga puluh jam. Sinar wajah mereka sudah redup sejak dipaksa pergi dari tanah yang katanya sudah merdeka.
Aku ingat, nyaris semua mata berkaca-kaca memandang hamparan hijau padi dengan bulir-bulir yang mulai tumbuh tetapi harus segera ditinggalkan dan akan kembali menjadikan kami segerombolan pengungsi tanpa lahan dan akan membuat banyak anak terpisah dari sekolah tempatnya belajar dan akan membuat para ibu meradang karena harus kembali mengusung barang-barang.
“Pasti mereka sudah menyiapkannya untuk kita, Pak,” sahutku mencoba menghibur. Berhari-hari, kami tinggal di sebuah aula luas sambil menunggu kejelasan. Kami tidur berdesakan berjajar di lantai seperti pindang. Para perempuan mulai gelisah. Bayi dan anak-anak mulai rewel tidak betah. Inikah penyambutan bagi perantau?
Setelah desakan demi desakan, pertemuan demi pertemuan, perundingan demi perundingan, kami diberi dua pilihan: dikembalikan ke kampung halaman tetapi tanpa lahan atau akan dikirim ke tanah garapan lain di luar pulau. Nanang dan Meme, serta para petani lain mulai bimbang. Terbayang susahnya membuka lahan garapan. Mereka sudah tak setangguh dahulu. Guliran waktu sedikit demi sedikit menggerus otot dan tenaga para petani itu. Aku dan beberapa orang lain yang lebih muda tak ingin lagi merasakan hidup di tanah asing yang jauh.
Tidak punya banyak pilihan, kami harus pasrah saat truk-truk mengangkut kami. Katanya pemerintah tidak memiliki lahan dan kami terpaksa ditempatkan di pinggir-pinggir hutan di dekat kampung halaman. Mata yang menyipit, dahi yang berkerut, adalah sambutan yang membuat dada kami renyut. Inikah wajah baru dari tanah kelahiran yang lama kami tinggalkan? Tidak ada keramahan apalagi kata sapaan.
“Kami sudah lebih dulu tinggal. Sudah tiga turunan kami berjuang untuk tanah ini. Lalu mengapa sekarang kalian justru datang dan meminta kami berbagi dengan para pendatang?”
Dari atas truk, aku melihatmu berdiri menjulang dengan tangan kanan memegang parang menghadang truk-truk yang hendak masuk perkampungan. Suaramu tak lagi parau seperti dahulu, tetapi lantang dan menyerang. Kulihat otot-otot lenganmu tegang mengepal. Keringat membuat kulit cokelatmu berkilat. Kamu berdiri paling depan, di antara lelaki yang usianya setara Nanang, menyambut kami di pintu gerbang. Apakah kamu sudah tak lagi mengenaliku, Iluh yang sering dibuatkan mahkota bunga yang kamu petik dari pinggiran hutan?
Aku melirik ke arah Nanang. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Kami tak datang sebagai pendatang, apalagi sebagai perebut lahan. Kami pulang ke tanah kelahiran. Aku mencoba menebak pancaran mata Nanang dan Meme yang terlihat memerah dengan air mata yang menggenang. Ada gelegak kemarahan juga kesedihan yang berkelindan. Mungkin luka mereka dan lukaku sama. Menjadi asing di tanah kelahiran sungguh sebuah kenestapaan.
Aku bergegas turun. Nanang sempat menarik lenganku dan menggelengkan kepalanya pelan. Aku mengabaikan kecemasannya, melangkah pelan menujumu yang masih berdiri tegak bak menara penghalang. Aku begitu yakin, melihatku kamu akan luluh. Meski lompatan waktu membuat usia kita tak lagi belia, aku masih percaya kehangatan hatimu tidak berubah.
“Aku pulang, Bli.” Kusodorkan mahkota bunga yang iseng kurangkai di penampungan. “Bukankah kamu dulu bilang aku harus pulang jika tanah rantau tak seindah di sini?” lanjutku.
Kamu diam, menatap datar. Kucari-cari selarik kenangan di dalam mata cokelatmu yang gelap. Sekelebat kabut tiba-tiba datang, menyergap dan melingkupiku dengan kebekuan.
“Ini tanah kami,” sahutmu mengabaikan sapaan. “Tiga puluh dua tahun kami bertahan meski tanpa kejelasan status lahan. Kami tak akan berbagi dengan pengungsi.”
Rahangmu mengeras, dadamu yang busung dan lebar terlihat naik turun, kentara sekali bersusah payah menahan kemarahan. Penyambutanmu membuatku sadar, selama ini aku bersandar pada sesuatu yang sudah lama berlalu. Tanah itu memang satu, karena itulah kamu tak ingin orang asing sepertiku ikut menikmatinya.
Kulihat beberapa orang mulai turun dari truk dan beradu pendapat denganmu. Urat-urat bertonjolan dari batang leher disertai suara yang saling membentak. Aku mundur, terlalu riuh mendengar kalian berseteru. Air mataku mulai meluruh satu per satu. Aku masih sempat melihat batu-batu beterbangan disertai denting parang sebelum akhirnya tumbang. ***
.
.
Puspa Seruni, penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022, dan saat ini berdomisili di Bali.
.
Asing Usang. Asing Usang. Asing Usang. Asing Usang. Asing Usang.
Leave a Reply