Cerpen Eka Kurniawan (Majalah Esquire Indonesia, 2007)
PENCURI itu masuk melalui jendela. Ia memecahkan kacanya. Sangat mengherankan bahwa tak ada seorang pun yang terbangun ketika kaca pecah. Seorang tetangga bergunjing, pencuri itu memakai ajian sirep, membuat para penghuni rumah tidur lelap. Laila dan ibunya memeriksa seluruh rumah. Keadaan sangat berantakan. Pencuri itu mengaduk-aduk segalanya. Semua pakaian tercerabut dari lemari, dan bergeletakan di lantai. Televisi berpindah tempat. Lemari es terbuka dengan isi teraduk-aduk. Tapi tak ada sebuah benda pun yang hilang, kecuali ini: sebatang sapu ijuk. Itu disadari ibu Laila sehari kemudian.
***
Semuanya berawal dari perkawinan mendadak selepas sekolah menengah pertama. Ia belum genap tujuh belas tahun, tapi sedang dimabuk cinta kepada tukang ojek bernama Markum. Begitulah gadis-gadis di sekitar rumah kami. Tak ada yang demikian menggairahkan untuk dihidupi kecuali secuil asmara masa belia. Dalam hal ini Mameh kurang awas, bocor, dan hamil, hingga dipaksa kawin demi nama baik orangtua.
Usia Markum hanya dua atau tiga tahun lebih tua dari Mameh. Ia satu sekolah dengan kami, sebelum kepala sekolah mengeluarkannya karena berbagai kebadungan, dan berakhir menjadi tukang ojek di pangkalan. Tapi melihatnya memperlakukan Mameh dengan penuh cinta, aku cenderung memaafkan semua keberandalannya.
Hingga suatu ketika dua orang polisi menangkap Markum dan menjebloskannya ke tahanan. Ia membawa lari motor ojek yang dipakainya, yang memang bukan miliknya, dan menjualnya ke tukang tadah, lalu menusuk tangannya sendiri untuk membuat orang percaya bahwa ia telah dirampok di pinggir hutan. Ia dikurung selama empat bulan, sementara Mameh hamil besar. Itu belum selesai. Ketika Markum akhirnya dibebaskan, pemilik motor dan teman-temannya menghadang Markum di jalan pulang, menghajarnya habis-habisan, hingga ia harus mendekam pula di rumah sakit selama sembilan hari.
Sejak itu Markum kehilangan pekerjaannya, dan tak seorang pun mau memberinya pekerjaan lain. Melihat keadaan mereka yang mulai merosot, kadang-kadang aku mampir ke rumah Mameh untuk membagi uang jajanku dengannya. Dari Mameh aku tahu, kadang-kadang Markum harus pergi di malam hari untuk mencuri ayam dari kampung sebelah. Mendengar itu aku hanya menelan ludah.
Ketika anak mereka sudah agak besar, suatu hari Mameh datang ke rumahku dan bertanya, bagaimana caranya pergi ke luar negeri untuk menjadi pembantu. Aku tahu dengan segera, ia tidak sedang bercanda. Meskipun begitu aku mencoba mencegahnya. Jelas bukan kewajibannya untuk mencari nafkah. Tapi ia bersikeras bahwa ia ingin pergi, mengumpulkan uang, dan setelah itu kembali ke suaminya. Mameh tak akan menyalahkan Markum. Aku pernah mendengar dengan cara apa pun, termasuk jadi pembantu di negeri orang.
“Sebab, Laila,” katanya, “Aku sangat mencintai Markum.” Hmm. Aku yakin ia masih terbius asmara masa belianya.
***
Pencuri itu telah berada di rumah, dan nyaris berhasil membawa lari radio dua band yang sebenarnya tak lagi bisa berbunyi, dan ia memilihnya hanya karena paling mudah ditenteng. Tapi pemilik rumah memergokinya. Pemilik rumah itu seorang lelaki tua, tapi bersenjata pedang. Si Pencuri mengangkat tangannya. Pemilik rumah tidak membacoknya, tidak pula menggiringnya ke rumah kepala desa. Ia tahu pencuri itu kelaparan, maka ia menyuruhnya duduk di meja makan. Anak gadisnya, Juwita, disuruh menemani si pencuri melahap hidangan. Juwita secantik namanya. Ayahnya menawari Si Pencuri pekerjaan di ladang. Pekerjaan itu tidak tersedia setiap hari, tapi Si Pencuri selalu datang untuk bertanya, apakah ada pekerjaan. Juwita jatuh hati kepadanya, dan Si Pencuri tak menyia-nyiakannya. Pemilik rumah pun mengawinkan mereka. Suatu hari Si Pencuri pamit untuk pergi ke kota mencari pekerjaan. Sejak itu ia tak pernah tinggal di rumah lagi. Datang sekali-kali, namun senantiasa membawa uang, hingga Juwita dan ayahnya percaya memang ia bekerja di kota. Di bengkel ketok magic, katanya.
***
Ketika kudengar Mameh sudah pulang, aku segera berlari, lebih tepatnya mengambil sepeda kumbangku dan mengayuh kencang ke pondoknya. Markum bilang Mameh tak enak badan, ada di kamar. Aku langsung masuk, sebagaimana kebiasaanku sejak dulu, dan menemukan Mameh di kamar dengan pergelangan tangan berdarah. Pisau kecil masih di genggamannya. Ia berhenti mengiris pergelangan tangannya lebih karena terkejut oleh kedatanganku, dan meski sempat tercekat sejenak, aku berhasil merebut pisau itu dari tangannya.
Aku nyaris berteriak memanggil Markum, tapi matanya memberi isyarat untuk tak melakukannya. Mata itu berlinangan, dan sejenak kemudian telah menjadi banjir. Aku masih menggenggam tangannya. Aku berhasil menemukan saputangan dari tumpukan pakaian di ujung tempat tidur, dan segera membebat pergelangan tangannya.
Setelah semua deretan peristiwa sekejap itu, aku baru mengeluarkan suara bertanya, “Apa yang kamu lakukan, Mameh?”
Lama kemudian ia akhirnya mengaku. Ia bunting. Aku benar-benar dibikin ternganga. Aku sering mendengar kabar perihal tenaga kerja yang pulang dalam keadaan hamil, tapi tak pernah berpikir itu bisa terjadi pada Mameh. Tanpa ditanya, Mameh akhirnya bercerita bahwa jabang bayi di dalam rahimnya, diperoleh dari anak majikannya. Ia bersumpah kepadaku, bahwa itu terjadi dalam keadaan dirinya tak berdaya. Ia bersumpah kepadaku, itu tidak terjadi karena ia mengkhianati suaminya.
“Kita harus melapor,” kataku.
Mameh memandangku dengan tatapan seolah usulku demikian naif. Ia menggeleng lemah, dan akhirnya memohon untuk tidak mengatakannya kepada siapa pun. Ia tak ingin Markum tahu. Ia tak ingin Markum merasa istrinya telah mengkhianatinya. Lagi-lagi ia mengatakan, “Aku sangat mencintainya, Laila.” Bahkan saat itu aku tetap yakin, Mameh masih hidup dalam asmara masa belianya.
Adalah aku yang kemudian mengusulkan kepadanya untuk menggugurkan kandungan itu. Setelah bertanya diam-diam kepada Ruwi, seorang temanku yang pernah hamil oleh pacarnya dan memilih menggugurkan kandungan ketimbang dipaksa kawin, akhirnya aku tahu di mana kami bisa menemukan sebuah tempat. Ada seorang dukun bayi yang terang-terangan menerima pekerjaan itu, tinggal di rumah yang agak terpencil dari permukiman desa. Ke sanalah pada suatu malam Minggu kami pergi. Mameh kubonceng dengan sepeda kumbangku.
Sejak itu pula mimpi tersebut kerap kali berulang dalam tidurku. Aku melihat Mameh telentang di dipan, dan si dukun entah melakukan apa di selangkangannya. Mameh menjerit-jerit. Atau melolong-lolong. Seharusnya ia dibius, pikirku. Saat itu aku tak berpikir bahwa Mameh bisa mati karena ini. Aku tak berani melihatnya, hanya berdiri di kejauhan menunggu. Lalu kulihat darah menetes, disusul gumpalan darah kental, jatuh ke baskom berisi air. Jeritan Mameh berhenti. Ia pingsan.
***
Ketika hubungannya dengan Markum, si berandal sekolahan itu, tak direstui ayahnya, Mameh bertindak. Ia mencuri kalung dan gelang ibunya di suatu malam, lalu menjualnya. Dengan uang itu, ia kabur bersama Markum. Tapi ayahnya berhasil menemukan mereka, meskipun keadaan sudah agak terlambat. Perut Mameh telah membuncit sedikit. Tak mau kehilangan kehormatan, ayahnya menyerah, dan mengawinkan mereka.
“Kamu mencuri barang ibumu sendiri!” pekik Laila, sahabat baiknya, tak percaya. Mameh hanya tersenyum dan berkata, “Dengan cara itulah keinginanku terkabul. Aku kawin dengan Markum.”
Selama di luar negeri, sebulan atau dua bulan sekali Mameh mengirimkan uangnya ke Markum lewat rekening bankku. Ia melakukannya karena ia percaya kepadaku, dan karena aku lebih mengerti berurusan dengan bank daripada Markum. Selain uang, Mameh pun mengirimkan surat buat Markum lewat alamatku. Dengan cara seperti itulah hubunganku dengan Mameh terus berjalan.
Setiap kali aku menerima uang atau surat dari Mameh, maka aku akan mengunjungi Markum dan anak mereka, Renaldo. Markum selalu berterima kasih dengan segala kerepotan yang menimpaku karena urusan kiriman uang dan surat tersebut. Satu atau dua hari setelah aku memberikan uang kepada Markum, yang kata Mameh akan disimpan untuk modal membuka penggilingan padi sekembalinya ia dari luar negeri, Markum akan datang ke rumahku membawa bingkisan.
“Mameh ingin aku membelikanmu pakaian,” demikian kata Markum.
Awalnya Mameh, lewat Markum, berharap aku mau menerima uang. Aku tahu Mameh tulus memberikannya, tapi aku menampik kebaikan hati itu. Tapi Mameh, lewat Markum, berkeras, meski aku pun tetap menolaknya. Akhirnya Markum membelikanku bedak. Aku pun luluh dan kuanggap sebagai oleh-oleh Mameh. Tak apalah, pikirku, asal tidak uang. Sejak itu, setiap kali Mameh mengirimkan uang untuk keluarganya, aku kecipratan barang-barang. Aku merawat baik barang-barang itu, dan berharap tak satu pun hilang saat waktunya Mameh pulang.
Aku memperlihatkan sisa barang-barang itu, tak lama setelah kami pergi ke dukun bayi. Saat itu Mameh tertawa riang melihatnya. Paras Mameh tampak senang melihatku menerima barang-barang tersebut, meskipun kenyataannya Markumlah yang memilihkannya. Waktu itu aku menyadari, keadaannya sangat berbeda dengan sebelum pergi ke dukun bayi.
Ia bahagia, meskipun kenyataannya sejak itu aku dirongrong rasa berdosa dan mimpi buruk. Aku bertanya mengenai rencananya membuka penggilingan padi. Ia bilang Markum sedang mencari tempat dan mesinnya. Sudah dua hari Markum pergi. Saat ini ia hanya ingin beristirahat. Ia kemudian membocorkan rencananya untuk pergi piknik bersama Markum dan Ronalda. “Kupikir kami perlu juga bersenang-senang,” katanya. Aku mengangguk setuju.
Ia sangat bahagia, itu sangat jelas terlihat. Namun ia tak luput untuk mengetahui, betapa aku tertekan dengan apa yang pernah kami perbuat. Kuceritakan kepadanya mengenai mimpi buruk tersebut. “Bagaimanapun aku masih sering merasa berdosa, Mameh. Kamu masih ingat, ustad melarang kita menggugurkan kandungan.”
Tapi dengan sejenis keyakinan Mameh berkata, “Laila, tidakkah kamu lihat aku demikian bahagia sekarang ini? Kamu telah menolongku di saat aku tak bisa memikirkan gagasan itu.” Aku terkejut dengan kata-katanya, terutama pilihan katanya. Menurutku ia mestinya kembali ke sekolah, aku masih akan tetap mengingat Mameh sebagai si gadis pintar. Setelah terdiam agak lama, seolah memperoleh gagasan pamungkas, tiba-tiba ia berkata tegas, “Lagi pula, jika membuat orang lain bahagia adalah dosa, bukankah dosa bisa diampuni Tuhan? Kamu ingat, Laila, hanya ada satu dosa yang tak terampuni, dan itu jelas bukan menggugurkan kandungan.”
Kembali aku terkejut. Bagaimanapun apa yang dikatakannya benar, dan sejujurnya membuatku sedikit lega. Malam itu aku berdoa meminta Tuhan mengampuni dosaku. Setelah itu aku tak bertemu Mameh selama beberapa saat. Ia memang pergi piknik. Aku menyibukkan diri dengan tugas akhir sekolahku.
Hingga suatu hari Mameh tiba-tiba muncul di kamarku, berlinangan air mata, tapi masih bisa tersenyum seolah menertawakan dirinya sendiri. Aku bertanya, ada apa?
“Aku bercerai,” katanya.
Sekembali dari piknik, seorang perempuan datang ke rumah mereka menggendong bayi kecil mencari Markum. Mameh bilang, ia tak akan punya penggilingan padi. Uang yang dikirimkan Mameh setiap bulan, atau dua bulan itu, ternyata dipakai Markum untuk kawin lagi dengan Juwita. Itu nama perempuan yang datang setelah mereka pulang piknik tersebut, yang kemudian menyeret Markum untuk pulang ke rumah mereka. Ha?
Entah kenapa, justru akulah yang kemudian menangis kencang mendengar cerita tersebut. Mameh, Mameh. Asmara beliamu. Mameh, Mameh.
***
Laila pernah mendengar mengenai sejenis ritual pencurian ajaib. Pencurian ini dilakukan atas rumah sendiri, agar segala keinginan terkabul. Dan itulah yang dilakukan Laila. Ia telah memecahkan kaca jendela, karena tahu ibunya yang tidur laksana kayu lapuk tak akan terbangun oleh itu. Masalahnya, ia kemudian tak tahu apa yang harus dicuri. Ia telah mengaduk-aduk segala tempat untuk mencari barang yang pantas dicuri, tapi ia terlalu sayang kepada barang-barangnya. Dan ia tak akan tega mencuri barang-barang ibunya. Maka ketika ia melihat sebatang sapu ijuk tersandar ke dinding dapur, ia menyambarnya.
Ia melemparkan sapu itu ke rumah Mameh. Ia tak lagi peduli, bahkan jika tahayul macam demikian adalah dosa yang tak terampuni.
Semoga Tuhan mengampuni gadis belia ini. Ia hanya melakukan apa pun untuk mengembalikan sahabatnya, yang beberapa hari berkeliaran di jalan, tanpa kewarasan. ***
.
.
Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975. Ia menyelesaikan studinya dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Menulis beberapa novel dan kumpulan cerita pendek, yang paling baru adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Bentang Pustaka, 2015). Beberapa karyanya telah diterjemahkan, termasuk yang akan segera terbit Beauty is a Wound (New Directions, New York, 2015) dan Man Tiger (Verso Books, London, 2015). Blognya bisa dikunjungi di http://ekakurniawan.com.
.
Semua Orang Pandai Mencuri. Semua Orang Pandai Mencuri. Semua Orang Pandai Mencuri. Semua Orang Pandai Mencuri. Semua Orang Pandai Mencuri.
Leave a Reply