Cerita Ki Bewok? Rokok Samsu dulu sebungkus sini! Makasih, bray. Sabar, aku nyalain dulu. Punya korek? Nah, sekarang baru asoy. Begini, Dung, jadi cerita ini aku dapat dari Govar. Nanti kalau kurang puas, kamu tanya sendiri ke orangnya.
—
HAMPIR tiga tahun musala Kiai Sadali sepi jamaah. Suara azan Magrib seperti layangan putus. Senandung puji-pujian lebih mirip suara orang ngelindur dikejar utang. Sedihnya lagi diantarkan dengan sound yang rombeng, dan itu menambah suasana tampak lebih dramatis.
Orang-orang lebih suka bermalas-malasan di dalam rumah ketimbang berangkat ke musala. Ada yang berleha-leha sambil melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah. Ada yang berkumpul bersama keluarga sambil melihat tayangan televisi yang melulu itu-itu juga –sinetron cinta yang membosankan– yang anehnya digandrungi emak-emak di negara +62 ini, atau ngobrol di rumah tetangga perihal harga beras yang turun.
Dulu, selepas magrib, biasanya anak tunggal Kiai Sadali yang menyenandungkan puji-pujian. Suaranya lembut dan menggugah hati setiap yang mendengarnya. Kalau ceramah adem, seperti mengusap-usap hati jamaahnya. Tapi, alangkah merasa kehilangan warga kampung ketika mendengar anak Kiai Sadali –yang bernama Ustad Mabrur– menghilang. Kamu kenal? Cuma tahu orangnya? Besok-besok aku kenalin, Dung.
Beberapa tetangganya mengatakan Ustad Mabrur sedang melakukan suluk. Ada juga yang mengatakan Ustad Mabrur sedang nyantri di salah satu pesantren di Jawa Timur. Kiai Sadali sendiri tidak pernah tahu ke mana anak tunggalnya itu pergi. Dilihat dari gelagatnya, Kiai Sadali tidak risau sedikit pun dengan kepergian anaknya itu. Ia tenang-tenang saja seolah tidak terjadi apa-apa. Hingga suatu kali musala Kiai Sadali kedatangan seorang pemuda berewok dan gondrong. Kiai Sadali berkata kepada Mang Sukri, pengurus musala, bahwa pemuda inilah yang sanggup menggantikan posisi anaknya.
”Begini, Kang, saya mau minta tolong, kalau tidak keberatan, ya.. mudah-mudahan tidak, Sampean mau mengisi pengajian rutin bakda isya di musala ini?” tanya Mang Sukri.
Pemuda berewok tersenyum.
”Saya tahu, pasti Sampean mau tanya kenapa tidak Kiai Sadali sendiri yang ngisi pengajian. Dia tidak mau. Saya sendiri tidak tahu kenapa. Dulu itu biasanya yang ngisi pengajian anaknya. Tapi, anaknya tiba-tiba menghilang.”
Pemuda berewok masih tersenyum.
”Sampean kok dari tadi senyam-senyum bae.”
Pemuda berewok kembali tersenyum. Kali ini ia menaruh peci hitamnya di atas sajadah.
”Bagaimana, Kang?”
Mang Sukri menunggu jawaban pemuda berewok dan gondrong itu. Sebetulnya bukan hanya pemuda berewok ini yang ia tawari untuk mengisi pengajian di musala Kiai Sadali. Sudah sekitar lima puluh ustad lebih yang ia ajukan, tapi Kiai Sadali menolaknya.
”Tidak akan bertahan lama orang ini.” Begitu yang dikatakan Kiai Sadali jika Mang Sukri mengajukan nama ustad yang akan mengisi pengajian rutin di musalanya.
Pemuda berewok memutar-mutar peci hitamnya di atas sajadah. Tak lama berselang Mang Sukri kembali berkata, ”Tapi punten, Kang, yang datang ke pengajian ini kebanyakan telembuk dan tukang mabuk. Malah ada garong juga. Ini atas usul Kuwu Darmawan, kuwu kampung ini, yang menyarankan telembuk-telembuk dan tukang mabuk untuk ngaji di sini.” Mang Sukri menggeser duduknya ke arah pemuda berewok dan berbisik, ”Kuwu Darmawan itu dulu sempat dipelet sama telembuk di Cilege Indah, terus yang menyembuhkan itu Kiai Sadali. Makanya dia tobat.”
Pemuda berewok lagi-lagi hanya tersenyum sambil menepuk pundak Mang Sukri.
Malamnya, orang-orang sudah menunggu ustad baru alias pemuda berewok yang akan mengisi pengajian. Ada beberapa orang yang mendongakkan kepalanya, tak sabar melihat ustad baru itu.
”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…”
Mereka menjawab dengan setengah malas. Kamu tahu sendiri tabiat sebagian orang kampung ini seperti apa, Dung. Nah, itu! Mereka menunggu apakah ceramahnya sesedap Ustad Mabrur atau tidak. Kalau tidak, esoknya dipastikan sebagian jamaah, bahkan mungkin lebih, tidak akan kembali untuk mengikuti pengajian.
”Saudara-Saudaraku yang dimuliakan Allah, kira-kira setahun yang lalu, kiai saya pernah bercerita kepada saya. Sehari sebelum beliau menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah, beliau bermimpi berjumpa Nabi Muhammad bersama para sahabatnya di Bukit Marwah. Padahal, ketika itu kiai saya belum tahu sama sekali Bukit Marwah itu seperti apa.”
Pemuda berewok menghela napas sambil menatap wajah jamaah.
”Setelah kiai saya mengucap salam, kemudian Rasulullah mengenalkan Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan Usman. Saat itu terlintas di benak saya tentang pakaian yang dikenakan mereka. Saya berpikir, mereka mengenakan pakaian jubah panjang dengan memakai imamah sambil membawa tasbih, seperti di poster-poster yang selama ini saya lihat. Akhirnya saya bertanya: ’Kiai, waktu dalam mimpi, pakaian yang dikenakan Rasul dan para sahabatnya seperti apa?’ Kiai saya hanya tersenyum.”
Pemuda berewok dan gondrong itu menggerayangi wajah jamaah yang lebih mirip patung monumen. Persis seperti kamu ini sekarang.
”Sambil menepuk pundak saya beliau berkata: ’Pakaiannya biasa, seperti yang dipakai orang-orang di sini. Sederhana. Pakai sarung, baju koko, dan kopiah hitam. Seperti guru ngajimu di kampung.’ Saya kaget mendengar jawaban kiai. Karena ternyata apa yang saya bayangkan meleset.”
Mata dan telinga jamaah seolah tak ingin lepas dari gaya bercerita pemuda berewok itu.
”Karena saya makin penasaran, saya kembali bertanya: ’Lalu, bagaimana setelah kiai dikenalkan dengan para sahabat?’ Kiai saya menjawab: ’Rasulullah berpesan. Pesan pertamanya begini, kalau kamu ingin seperti Sayyidina Abu Bakar, kuaklah rahasia dari laahaula walaaquwwata illaabillaah. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu tahu artinya?”
Jamaah melongo. Seakan mereka berharap ustad berewok itu segera menjelaskannya tanpa basa-basi, dan juga pertanyaan yang membuat mereka terlihat bodoh.
”Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas izin Allah. Kemudian pesan kedua,” jamaah menunggu, kembali khusyuk mendengarkan lanjutan cerita ustad berewok. ”Adalah pada bakda isya besok.”
Beberapa jamaah kendur hatinya mendengar ustad berewok menunda ceritanya. Cerita singkat itu tidak hanya membuat jamaah terkesan, tapi juga geregetan untuk kembali mendengarkan lanjutan ceritanya.
Karena gaya berceritanya yang mengesankan, ustad berewok dan gondrong itu mulai jadi pembicaraan warga. Warga memanggilnya Ki Bewok, meskipun umurnya masih muda. Tapi, warga menganggap bahwa ustad berewok itu lebih tua secara batiniah dari semua warga di desanya.
Begitu ceritanya, Dung. Terusannya? Santai dulu lah, cocotku pegel ini. Beli kopi dulu sana! Mau diterusin tidak? Nah, ini baru pren.
(Kedung membeli kopi)
Cessss… Ini baru mantap. Terima kasih loh, bray. Sebentar, seruput dulu kopinya. Asoy bener.
”Kemudian, kiai saya menenggak kopi yang hampir dingin di mejanya (tokoh pencerita kita juga ikut menenggak kopinya). Saya hanya diam sambil menunggu pesan Rasul kedua yang akan diucapkan kiai saya. ’Setelah Rasulullah mengatakan pesan pertama, kemudian beliau mengatakan pesan yang kedua. Pesannya adalah kalau kamu ingin menjadi seperti Sayyidina Umar, kamu harus bisa menguak arti dari lafaz Allahu Akbar,’ kata kiai saya lirih sambil menatap mata saya.”
”Kemudian, karena azan Isya memanggil kami, kiai saya menghentikan ceritanya sejenak. Jadi, karena kiai saya sedang menjadi imam salat, kita tunggu sampai kiai saya selesai mengimami,” ustad berewok itu berkelakar sambil menyeruput kopi yang ada di depannya.
Orang-orang menghela napas panjang. Cerita singkat itu makin menambah kesan jamaah. Mereka kasak-kusuk menunggu cerita kembali dilanjutkan.
”Setelah selesai salat Isya, saya kembali bertanya: ’Lalu, apa pesan Rasul yang ketiga?’ Kemudian, sambil memegang pundak saya, kiai menjawab: ’Pesan Rasul yang ketiga adalah kalau kamu ingin seperti Sayyidina Usman, kuaklah arti dari lafaz subhanallah dan alhamdulillah. Kiai menatap mata saya seolah meraba apa yang terjadi di hati saya. Beliau menepuk pundak saya, lantas pergi meninggalkan saya.”
Mereka diam. Melongo. Penasaran dengan cerita lanjutannya.
”Punten, Pak Ustad. Bagaimana dengan Sayyidina Ali? Dari tadi belum disinggung,” tanya Mukimin sambil memangku anaknya. Apa? Sudah berumur tiga tahun anaknya. Namanya Laila.
”Pertanyaan Saudara insya Allah akan saya jawab besok,” jawab Ki Bewok dengan senyum misterius. ”Untuk malam ini cukup sampai sini saja.”
Kini sebagian jamaah berebut mencium tangan Ki Bewok. Sebagiannya lagi masih cuek dan langsung pulang.
Esoknya, entah dari mana tiba-tiba tersiar kabar bahwa Ki Bewok adalah waliyullah yang sedang menyamar. Malamnya, warga kembali berbondong-bondong ke musala. Mereka penasaran dengan Ki Bewok. Apakah benar Ki Bewok waliyullah? Sebagian jamaah sudah menyiapkan berbotol-botol air untuk didoakan, terutama para telembuk yang butuh penglaris. Ada juga yang ingin naik haji, ada yang ingin jadi TKW di Taiwan, dan ada juga yang ingin menjadi penyanyi dangdut seperti Diva Fiesta. Semua sudah disiapkan jamaah berdasar hajat masing-masing.
Seperti hari-hari sebelumnya, yang mengimami salat Kiai Sadali sendiri. Kali ini jamaah jauh lebih ramai dari sebelumnya. Bahkan, ada yang membawa tikar karena musala tidak dapat menampung banyaknya jamaah. Orang-orang berdesakan hanya untuk dapat duduk di dalam musala. Semua itu mereka lakukan hanya ingin mengalap berkah dan doa dari Ki Bewok.
Tapi, sampai salat Isya selesai dan Kiai Sadali meninggalkan jamaah, tidak ada satu pun yang melihat Ki Bewok di musala. Jamaah gelisah. Kenapa Ki Bewok belum juga hadir? Mereka bertanya kepada jamaah di sekelilingnya, apakah siang tadi ada yang melihat Ki Bewok? Atau, di jalan ada yang melihat Ki Bewok pergi dari kampung ini? Tak ada satu pun yang tahu. Singkatnya, Ki Bewok menghilang.
Begitu, Dung. Selesai ceritanya. Apa? Sayyidina Ali? Tanya sendiri sama Ki Bewok.
(Tokoh pencerita kita ngeloyor begitu saja meninggalkan Kedung) ***
KEDUNG DARMA ROMANSHA. Kelahiran Indramayu. Dia bersama kawan-kawan muda Indramayu mendirikan komunitas Jamaah Telembukiyah yang bergerak di bidang sastra dan sosial. Salah satu yang pernah dilakukan komunitas ini adalah mengajar ngaji anak-anak PSK. Buku terbarunya, Rab(b)i (kumpulan cerpen), baru saja terbit dan masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2020.
Leave a Reply