Cerpen Mawan Belgia (Jawa Pos, 11 November 2023)
PADA menit ke-70 terjadilah sepak pojok. Alih-alih berusaha menangkap bola, Sadat malah memegang kepala Sadikin, lalu membantingnya ke tanah. Tidak berhenti sampai di situ saja aksi Sadat. Seperti kerasukan setan, Sadat menduduki tubuh Sadikin, lantas menghantamkan bogemnya.
Sebenarnya pertandingan sudah memanas menjelang berakhirnya babak pertama. Yakni saat gelandang serang tim Macan Hitam memberikan umpan panjang dari tengah lapangan. Sadikin berlari kencang memasuki kotak penalti dan dengan begitu cerdik meloloskan diri dari jebakan offside.
Saat kaki Sadikin belum sempat mengontrol bola dengan sempurna, Sadat telah keluar dari area gawangnya. Ia melompat di udara, meninju bola keras-keras, dengan lutut kanan ditekuk di udara. Sadikin yang tak dapat mengontrol kecepatan akhirnya terhantam lutut Sadat.
Seketika itu Sadikin berguling-guling di lapangan, lalu mengerang kesakitan. Sadat kesal dengan aksi guling-guling Sadikin itu. “Jangan cengeng!” kata Sadat ke arah Sadikin.
Beberapa pemain Macan Hitam mencoba mendekati wasit agar insiden itu dianggap pelanggaran. Bagi mereka, Sadat sengaja mencederai Sadikin. Setidaknya Sadat mesti diganjar kartu.
Sayangnya, wasit menilai itu bukan pelanggaran. Wasit hanya meminta petugas medis gegas ke lapangan. Sadikin mesti mendapat perawatan.
Belum juga sempat medis memberikan pertolongan pertama, Sadikin sudah bisa kembali berdiri. Ia tampak baik-baik saja. Petugas medis menghentikan langkahnya, menatap ke arah Sadikin dengan wajah bingung. Salah satunya menggaruk kepala, berbalik badan, dan keluar lapangan.
Rombongan penonton yang berdiri di belakang gawang Sadat, yang merupakan barisan pendukung tim Mandala United, kompak bersuara. “Uuuuuu!!!” Tentu saja itu ditujukan kepada Sadikin. Aksi guling-gulingnya dianggap aksi murahan yang memalukan.
Tak terima pemain andalannya diteriaki, barisan pendukung Macan Hitam di sisi timur lapangan pun berteriak. Akhirnya terjadi saling sorak antar pendukung kedua tim. Komentator pertandingan pun berusaha menenangkan kegaduhan itu.
Satu hal yang amat dihindari oleh panitia penyelenggara turnamen adalah terulangnya insiden tahun lalu. Berawal dari kegaduhan satu atau dua penonton, lalu menjalar menjadi keributan antarkelompok. Laga belum berakhir, di pinggir lapangan penonton sudah saling serang.
Petugas keamanan memberi peringatan, melakukan tembakan di udara. Keributan suporter seperti tak bisa dikendalikan lagi. Semakin kacau ketika petugas keamanan menembakkan gas air mata ke arah suporter. Berkali-kali gas air mata ditembakkan, maksudnya meredam keributan. Justru keadaan kian kacau saja.
Beberapa suporter terjebak di tengah kerumunan, jatuh ke tanah. Ada yang terinjak-injak. Ketika keadaan mulai reda, tampaklah pemandangan menyesakkan dada terlihat di sekitar lapangan. Beberapa suporter tumbang. Satu di antaranya mati. Ya, benar-benar mati.
Itu satu cerita pilu di masa lalu. Kematian suporter seakan tak ada artinya. Tuntutan keluarga korban seperti tak didengarkan. Merdeka Cup tetap dilangsungkan setiap tahun. Bukan lagi semata-mata sebagai ajang olahraga yang menghibur masyarakat. Ajang itu juga sudah menjadi arena taruhan bagi kelompok yang berkepentingan.
Seorang perempuan muda harap-harap cemas di tepi lapangan menyaksikan tabrakan Sadat dengan Sadikin barusan. Ia juga terlihat kikuk karena seperti salah mengambil tempat. Ia juga tak nyaman oleh gaduh suporter Macan Hitam. Padahal perempuan muda itu mengharapkan kemenangan untuk Mandala United.
Demi martabat Desa Batu Lima, tahun ini dianggap momen yang paling tepat untuk Mandala United menjadi juara Merdeka Cup. Desa Batu Lima adalah salah satu desa di Kecamatan Sandana yang belum pernah merengkuh trofi. Segala jadi serbasulit mengingat lawan yang dihadapi di final adalah Macan Hitam, tim langganan juara.
Namun, Mandala United beruntung punya kiper sejago Sadat. Nama Sadat memang sudah dikenal luas level tarkam. Di usianya yang baru memasuki 26 tahun, sudah tak terhitung berapa tim lintas kabupaten yang pernah memakai jasanya. Bahkan pernah ia menyeberangi Selat Makassar menuju Balikpapan untuk membela salah satu tim amatir di sana. Menurut banyak orang, kepiawaian Sadat menjadi kiper seharusnya sudah bisa membuatnya membela satu tim profesional yang sering muncul di televisi.
Perawakannya tinggi, lompatannya seperti sedang terbang saat menghalau tendangan lawan. Ia bisa berperan sebagai kiper modern yang cakap memainkan bola dengan tingkat akurasi umpan di atas rata-rata dari seorang kiper biasa.
Kalaupun ada pemain sepak bola dari Desa Batu Lima yang bisa disejajarkan dengan pencapaian Sadat di dunia tarkam, Sadikin adalah orang itu. Namun, mereka berbeda posisi. Sadikin selalu mengekspresikan dirinya sebagai penyerang haus gol. Hanya, warga Desa Batu Lima tidak menyukai Sadikin sebagaimana mereka menyukai Sadat.
Semakin hilang respek kepada Sadikin setelah di Merdeka Cup ini, ia malah memperkuat Macan Hitam. Yang notabene persatuan sepak bola desa tetangga. Padahal Mandala United adalah satu-satunya klub sepak bola di Desa Batu Lima.
Rupanya sejak dulu keluarga Sadikin memang tidak pernah cocok dengan kepemimpinan Sahabuddin, kepala desa Batu Lima. Selain karena bapak Sadikin pernah menjadi rival Sahabuddin di pilkades, Sahabuddin dianggap tidak pernah serius membina persepakbolaan desa oleh bapak Sadikin.
Sebab ketakharmonisan itu, akhirnya Sadikin pun menerima pinangan Macan Hitam. Apalagi Sadikin dihargai cukup mahal untuk setiap penampilannya di Merdeka Cup. Jangan lupa ada ekstrabonus yang diperolehnya jika berhasil menjebol jala gawang lawan.
Sampai pertandingan final, Macan Hitam belum sekali pun mengalami kekalahan. Sadikin memuncaki daftar pencetak gol terbanyak. Bisa ditebak, usai turnamen Sadikin akan diguyur bonus yang melimpah.
Sedang bagi Sadat, membela Mandala United adalah harga mati. Ia tidak pernah tergiur tawaran dari klub desa lain. Semua itu demi mengharumkan desa kelahirannya.
Sejak dulu kedua pemain itu tidak pernah akur. Tak pernah saling memuji satu sama lain. Di hadapan teman-temannya, Sadikin suka bawel, seakan paling tahu titik kelemahan Sadat. Sebaliknya, Sadat pun begitu. Sok tahu perihal cara-cara mengunci pergerakan Sadikin.
Yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang, api permusuhan di antara keduanya kali pertama berkobar ketika mereka menyadari mencintai perempuan yang sama. Sadat memenangi rivalitas atas Sadikin untuk urusan asmara. Oleh sebab itu, api kebencian pada Sadat kian berkobar di dalam diri Sadikin.
Perempuan itu kini berdiri di pinggir lapangan dengan wajah cemas. Ia tak ingin Sadat kalah. Ia Watini, salah satu staf di pemerintahan Desa Batu Lima. Sudah sering ia mendengar cerita-cerita dari Sadat, bagaimana dulu ia kerap mendapat undangan seleksi. Entah itu tim nasional usia muda atau panggilan dari PSM Makassar. Tapi, semua dilewatkan Sadat.
“Aku berpikir seleksi seperti itu hanya buang-buang waktu,” pernyataan Sadat suatu waktu kepada Watini. “Ujung-ujungnya aku tidak akan terpilih. Paling yang lolos mereka yang punya orang dalam. Lah, aku kan tak punya kenalan orang besar. Mudahlah bagi mereka menyingkirkan pemain sepertiku.”
“Apa salahnya mencoba? Belum tentu apa yang terjadi seperti yang kamu pikirkan,” tutur Watini.
“Aku cukup tahulah, bagaimana wajah buram persepakbolaan kita. Bakat besar seperti tidak ada artinya oleh kepentingan golongan.”
Beberapa jam sebelum pertandingan final, Watini yang pulang dari kantor desa mampir ke rumah Sadat. Sadat agak terkejut kedatangan pacarnya di siang bolong begitu.
Usut punya usut, bukan hendak membicarakan rasa cinta satu sama lain atau rencana-rencana masa depan sebagaimana obrolan mereka di Warung Coto Daeng malam sebelumnya sembari menikmati hidangan coto. Dalam kunjungannya kali ini, Watini dengan sedikit bawel mengingatkan Sadat wajib memenangi pertandingan final.
“Pokoknya kamu nggak boleh kalah!” tegas Watini. “Kalau kamu sampai kalah, aku akan sedih.” Sadat luluh dan berjanji kepada Watini akan memenangi partai final itu.
Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Sadat, ucapan Watini mengejutkannya. Biasanya ketika mereka melangsungkan obrolan sebelum Sadat tanding, Watini hanya berpesan kepadanya untuk memberikan penampilan yang terbaik. Kalah atau menang tidak terlalu penting. Asal Sadat sudah berjuang dan tak ada insiden buruk menimpanya di lapangan.
Kali ini sedikit berat bagi Sadat sebab pacarnya tiba-tiba ingin dia menang dan seolah itu permintaan yang mutlak. Namun, Sadat tak mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya membatin mengapa Watini berlagak seperti orang yang pasang taruhan.
Sesungguhnya Watini pun menyembunyikan satu kabar yang sempat ia dengar dari obrolan di kantor desa. Sang kepala desa, Sahabuddin, ikut “main” di laga final itu. Bukan benar-benar sebagai pemain sebagaimana Sadat dan Sadikin. Ia adalah pemain di pinggir lapangan yang punya kepentingan lain.
Sahabuddin telah sepakat bertaruh dengan Haji Salim. Sahabuddin memasang sepetak sawahnya sebagai taruhan dan Haji Salim mempertaruhkan kebun cokelatnya. Sahabuddin memegang Mandala United, sedangkan Haji Salim begitu percaya Macan Hitam akan kembali juara. Sehingga sebelum laga, Haji Salim sudah lebih dulu memberi dua gol cuma-cuma ke Mandala United.
Artinya, bila skor hanya 1-0 untuk keunggulan Macan Hitam atau imbang sampai adu penalti, terlepas apa pun hasilnya saat adu penalti nanti, Sahabuddin memenangi taruhan.
Sahabuddin demikian percaya diri kalau Haji Salim akan kalah. Baginya mustahil Macan Hitam menang telak 3-0 di final. Beberapa menit sebelum laga, Sahabuddin sempat mengacaukan instruksi pelatih dengan melakukan intervensi. Berlagak memberi semangat kepada Sadat dan kawan-kawan.
“Kalian harus menang, tapi kalau kalah usahakan jangan kalah telak. Ayo berikan permainan yang terbaik. Pikirkan desamu! Pikirkan pendukungmu!” ucap Sahabuddin begitu semangat. Sadat pun mulai menyadari aroma perjudian yang keluar dari mulut itu.
Sebab itu ketika Mandala United dibombardir serangan bertubi-tubi, di pinggir lapangan Watini begitu cemas. Jantungnya berdebar-debar. Amat gugup. Ia menyadari bila Mandala United kalah, posisi kiper pasti akan disoroti sebagai biang kerok. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi bila Sahabuddin kalah taruhan. Sudah cukup pahamlah Watini bagaimana perangai si kepala desa itu.
Di menit ke-70, kotak penalti Mandala United terlihat sesak sebab para pemain hendak menyambut tendangan sudut. Setidaknya ada lima pemain Macan Hitam yang bersiap menunggu datangnya bola. Salah satunya adalah Sadikin. Ia berdiri di dekat Sadat. Keduanya sempat saling dorong-dorongan.
“Sekarang waktunya aku menjebol Watini,” ucap Sadikin memprovokasi. Jelas ia mencoba mengacaukan fokus Sadat sebelum tendangan sudut.
Sadat melotot dan balik menantang Sadikin. “Kau tidak akan bisa menjebol siapa pun karena kau impoten!”
Sadikin mulai tersulut emosi, tajam menatap Sadat. “Kau tahu, Watini bisa kupakai. Bahkan pacarmu itu pernah dipakai Sahabuddin. Kau hanya dapat sisa!”
Saat itulah emosi Sadat meledak dan ia menyerang Sadikin.
Aksi brutal Sadat sempat memantik keributan beberapa saat. Sadat mendapat kartu merah. Macan Hitam memperoleh hadiah penalti. Tanpa Sadat, selanjutnya gawang Mandala United begitu mudah kebobolan. Skor 3-0 menjadi skor akhir dari pertandingan. Macan Hitam juara, Sahabuddin kalah taruhan dari Haji Salim.
Watini yang paling mencemaskan kekalahan itu. Watini tahu betul bagaimana sikap Sahabuddin bila kalah taruhan. Tidak banyak orang tahu, bulan lalu Acong Kumar ditusuk oleh orang yang tak dikenal.
Tapi, Watini yakin yang menusuk Acong Kumar adalah suruhan Sahabuddin. Rupanya Sahabuddin memasang taruhan untuk kemenangan jago milik Acong Kumar di arena sabung ayam. Nyatanya, ayam jago Acong Kumar itu malah keok. Tanpa ampun, Acong Kumar lantas dihabisi. Watini belum pernah sekhawatir ini kepada Sadat. ***
.
.
Mawan Belgia, berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat. Dua novelnya yang telah terbit, Sampah di Laut, Meira (2020) dan Bumi Hutan Tropis (2021).
.
Kartu Merah Sadat. Kartu Merah Sadat. Kartu Merah Sadat. Kartu Merah Sadat. Kartu Merah Sadat.
Leave a Reply