Cerpen, Kompas, T Agus Khaidir

Polong

Polong - Cerpen T Agus Khaidir

Polong ilustrasi Djaja Tjandra Kirana/Kompas

3.4
(9)

Cerpen T Agus Khaidir (Kompas, 19 November 2023)

PENGANTIN laki-laki Maimunah mati. Saat berjalan dalam iring-iringan menuju rumah keluarga perempuan, lelaki berperawakan tinggi tegap itu mendadak tersungkur dan menggelepar-gelepar. Darah menyembur dari mulutnya, lalu keluar dari hidung, telinga, bahkan dari dubur dan sudut-sudut matanya.

Bertalu pukulan rebana dan lantunan marhaban terhenti seketika.

“Salah apa dia? Tega betul kalian berbuat begini!” seru Maimunah di sela raung tangisnya yang menyayat.

Ayah, ibu, dan sanak kerabatnya datang menyabarkan. Namun memang hanya kalimat istigfar yang kuasa terucap. Apa mau dikata! Mereka bukan tak tahu siapa pelakunya. Seperti banyak kejadian terdahulu, pelakunya tak pernah berada jauh. Bahkan, sering kali berbaur di antara kerumunan, berdiri menatap dengan wajah dingin, seolah hendak memastikan korbannya tidak sekadar menggelepar di ambang mati. Pun kali ini. Maimunah bahkan melihatnya tersenyum menyeringai tatkala laki-laki yang bakal jadi suaminya terkapar tak bangun-bangun lagi.

Namun, Maimunah hanya bisa menangis. Hanya bisa bersumpah serapah. Menunjuk hidung, apalagi melaporkan peristiwa ini ke polisi, adalah tindakan percuma dan berbahaya. Besar kemungkinan ada kematian susulan, yang boleh jadi lebih keji, dan polisi tidak akan pernah sampai pada kesimpulan apa pun lantaran tabiat pembunuhan ini tidak kasatmata. Ada tapi tidak ada. Tak berwujud tapi nyata.

Maka memang tidak ada yang bisa dilakukan Maimunah selain menangis dan bersumpah-serapah. Pesta pernikahannya bubar. Padahal, tiada kurang dua ekor lembu, lima kambing, dan empat puluhan ekor ayam sudah disembelih. Mak Etek, juru masak dari kampung sebelah yang dikenal piawai meracik rempah, juga telah didatangkan untuk memanjakan lidah tamu undangan.

“Semoga kalian nanti membusuk di neraka!”

Maimunah kembang kampung. Kecantikannya mencengangkan. Kulitnya bersih, tidak terlalu putih tapi juga bukan sawo matang. Matanya bulat berbinar dan hidungnya mancung layaknya hidung bintang-bintang film India. Bibirnya pipih dengan rona merah yang tidak betul-betul merah, seperti pipinya. Posturnya tinggi, langsing, tampak bertenaga dengan otot-otot yang padat proporsional. Pendek kata, molek, dan ini adalah bawaan badan. Hampir tidak pernah ia menggunakan riasan, terlebih-lebih perhiasan, yang berlebihan.

Tidak cuma cantik. Maimunah terpelajar dan berotak encer juga. Lain dari kebanyakan perempuan di kampung ini, Maimunah bergelar sarjana. Empat tahun ia kuliah di fakultas ekonomi, dilanjutkan dua setengah tahun menuntaskan magister. Terlebih pula, ayahnya, Haji Zainuddin, merupakan pemuka masyarakat sekaligus orang paling kaya di kampung ini. Tongkangnya tujuh, ditambah dua truk tiga suku dan empat colt diesel untuk mengangkut ikan-ikan tangkapan para nelayan upahan ke pasar.

Baca juga  Para Pembongkar Kuburan Massal

Tak heran Maimunah jadi rebutan. Rasa-rasanya tidak ada laki-laki di kampung ini—dan kampung-kampung tetangga—yang tidak menaruh hati padanya. Namun, tak sedikit pun Maimunah menunjukkan ketertarikan pada mereka.

“Bukan perkara aku cantik, aku sarjana, dan ayahku kaya, Laila. Mungkin kedengaran klise. Namun, cinta itu memang soal hati, tidak bisa dipaksakan,” katanya padaku setelah ia, untuk kali ke sekian, menolak ungkapan perasaan Anwar Sadat.

Aku tidak tahu sejak kapan Anwar Sadat menyukai Maimunah. Walau berkawan-kawan sejak kecil, keduanya tak pernah terlalu akrab. Selalu ada jarak, yang membentang justru lantaran dirawat dengan telaten oleh keluarga mereka, terutama Suwardi Maladewa, ayah Sadat. Suwardi (orang-orang memanggilnya “Lek Wardi”) menaruh dendam pada Haji Zainuddin. Dendam yang menurut cerita ayahku berangkat dari setidaknya dua perkara kegagalan.

Pertama, kegagalan mempertahankan jabatan kepala desa. Ihwalnya adalah Pemilu 1987. Sebagai kepala desa di era Orde Baru sudah barang tentu Lek Wardi menjadi juru kampanye Golkar dan bertugas kembali memenangkan partai ini sebagaimana dilakukannya pada tahun 1982. Golkar kala itu menang telak. Menyapu bersih suara. Kecuali di kampung kami. Suara Golkar dibayang-bayangi PPP.

Lek Wardi paham dia harus menjaga siapa. Iya, Haji Zainuddin! Kata ayahku, walau tidak pernah secara resmi berbaju PPP, darah Masyumi yang kental mengalir di tubuhnya membuat Haji Zainuddin merasa dia harus memberi andil untuk partai berlambang Kabah itu. Ayah Haji Zainuddin, Kakek Maimunah, merupakan pemangku jabatan teras di kepengurusan Masyumi yang berperan penting dalam terlaksananya Muktamar Alim Ulama se-Indonesia di Medan pada 11 April 1953, sebagai reaksi atas pidato Presiden Soekarno di Amuntai tentang negara Islam.

Merasa telah menjalankan semua petunjuk para politisi senior partai, Lek Wardi setel yakin dirinya bisa mengatasi Haji Zainuddin. Namun, dia salah berhitung. Alih-alih memperbaiki pencapaian Golkar, suara PPP justru berlipat, dan untuk kali pertama sejak ikut pemilu Golkar kalah di kampung kami.

Kegagalan kedua tidak jauh-jauh dari politik juga. Pemilu 1992 Lek Wardi mencoba peruntungan menjadi anggota dewan. Dia gagal, dan lagi-lagi, kegagalan ini berkaitan dengan Haji Zainuddin.

Waktu itu Lek Wardi cuma caleg nomor sepatu. Namanya tercecer di urutan 39. Kata Ayahku, sebenarnya ini lazim dalam politik. Bagaimanapun kader baru mesti tahu diri dan memberi jalan kepada para senior. Lek Wardi berkeyakinan lain. Menurut dia, sekiranya punya modal lebih banyak posisinya bisa terdongkrak. Paling tidak masuk jajaran sepuluh besar dan dengan demikian peluang menang jadi lebih terbuka.

Baca juga  Pastor Ola

Modal inilah masalahnya. Sekitar satu setengah tahun sebelum pemilu Lek Wardi bekerja dalam senyap. Dia berhasil membujuk warga agar bersedia menjual tanah mereka kepada pengembang untuk pembangunan tempat pelelangan ikan dan dermaga baru. Namun, mendekati hari pembayaran ganti rugi, Haji Zainuddin angkat bicara. Bilangnya, kita Melayu bangsa beradat, pantang melepas tanah ulayat. Ampuh! Warga terpengaruh dan urung membubuhkan tanda tangan di dokumen perjanjian.

Kata ayahku, ini bukan sengketa tanah pertama yang melibatkan mereka berdua. Saat masih menjabat kepala desa, dengan kuasanya; stempel, kop surat, dan kata sakti “pembangunan”, Lek Wardi kerap memaksa warga menjual tanah mereka. Sering kali dengan harga kelewat murah. Namun, di hadapan Haji Zainuddin dia tidak berkutik. Ketokohan dan kekayaan Haji Zainuddin membuatnya mampu membeli kuasa lain yang membuat Lek Wardi harus menundukkan kepala.

Sejak itu perang dingin terjadi. Keduanya membentuk faksi-faksi, yang dari tahun ke tahun, sadar tak sadar, ikut membagi warga kampung kami ke dalam dua kubu. Walau demikian, tak seperti riwayat-riwayat perseteruan lain yang selalu riuh, mereka justru berupaya untuk tidak bersinggungan. Melangkah di jalan sendiri-sendiri, tak saling mengganggu apalagi mencelakai. Pendek kata semuanya masih baik-baik saja sampai Anwar Sadat merasa dirinya telah jatuh cinta pada Maimunah.

Demi anak, Lek Wardi mengalah. Dia datang ke rumah Haji Zainuddin, menyampaikan maksud meminta Maimunah jadi menantu. Namun, Haji Zainuddin menyerahkan keputusannya pada Maimunah. Menurut dia, Maimunah sudah dewasa dan berhak menentukan nasibnya sendiri.

Jawaban ini mengecewakan Lek Wardi dan Anwar Sadat. Kudengar dari orang-orang, dalam ceracau saat tenggen berat usai menenggak entah berapa botol Topi Miring, Anwar Sadat bersumpah tidak akan melepas Maimunah pada laki-laki mana pun.

“Kalau aku tak dapat dia, maka tidak akan ada yang boleh dapat. Celaka bagi siapa pun yang coba-coba mendekat. Begitu dia bilang, Mun,” kataku pada Maimunah menirukan sumpah Anwar Sadat.

Saat itu senyum masih mengembang di bibir Maimunah. Namun, binar matanya meredup dan wajahnya berubah pucat. Ia menggumam tapi aku tak mendengar jelas kalimatnya.

***

KEMATIAN pengantin laki-laki Maimunah sedikit banyak membuatku cemas. Ayahku memang tak serupa Haji Zainuddin dan Lek Wardi yang puluhan tahun betah berseteru. Sepengetahuanku dia tidak bermusuhan dengan siapa pun. Tidak juga pernah kudengar ada yang menyimpan bara dendam kepadanya. Ayahku bukan siapa-siapa. Di kampung ini, orang-orang sekadar mengenalnya sebagai tukang kombur kedai kopi yang nyaris sepanjang hidupnya cuma bisa bekerja mocok-mocok, serabutan, dan ini membuatnya selalu kekurangan uang.

Baca juga  Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak

Namun, kematian itu, juga ceracau Anwar Sadat, membangkitkan kecurigaan-kecurigaan lama. Kecurigaan yang tak lekang dari ruang ingat, yang dalam diam sekalipun sesungguhnya tidak pernah disangkal: bahwa penyebab segala bentuk kematian mendadak di kampung ini (dan kampung-kampung tetangga) adalah kiriman polong. Pembunuhan secara gaib, dari jauh, dengan kekuatan ilmu hitam.

Maka aku memilih untuk tidak berpasrah. Aku tak mau menangis meratap dan bersumpah serapah seperti Maimunah. Pagi ini, aku dan calon suamiku masing-masing mengenakan cincin batu sewarna hati ayam dengan pengikat suasa pemberian Tok Awang, orang pintar kenalan calon mertuaku. Tok Awang bilang, atas pertolongan dan izin Allah, cincin ini mustajab menangkal polong.

Percaya tidak percaya, mau tak mau aku harus merasa percaya, dan memang, tidak ada yang tersungkur dalam iring-iringan menuju rumahku, tempat resepsi pernikahanku digelar. Calon suamiku tetap berjalan dengan gagah.

Setelah petuah yang berlinang air mata dari ayahku, dilanjutkan doa-doa dan rangkaian syarat dan syariat, tuan khadi memanggil saksi untuk mendengarkan calon suamiku mengucap ijab kabul.

“Saya terima nikahnya Laila Habsah binti Marjili Samsuri dengan mas kawin perhiasan emas dan seperangkat alat salat dibayar tunai.”

“Bagaimana saksi? Sah?”

Sebelum pertanyaan sempat berjawab, seorang perempuan yang duduk di barisan belakang, yang dari wajahnya kutaksir berusia sepantaran kami, tiba-tiba berdiri, lalu menandak-nandak bagai sedang menarikan tarian perang, memekik-mekik, lalu melompat menempel di dinding dan merayap seperti cicak.

Sejurus itu kurasakan cincin batu sewarna hati ayam pengikat suasa di tanganku bergetar dan memperdengarkan suara berdenging. ***

.

.

Medan, 2023

T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Menulis puluhan cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak, daring, ataupun buku antologi bersama. Kini tinggal di Medan sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola. Cerpennya, Ihwal Nama Majid Pucuk, muncul sebagai cerpen terbaik Kompas 2022.

Djaja Tjandra Kirana lahir di Denpasar, 29 Juni 1944. Belajar melukis secara otodidak sejak kecil. Memulai karier fotografinya dengan menjadi fotografer freelance, sambil tetap menekuni aktivitas melukis. Sejak 2018 mengelola Klub Seni Bali dan mengembangkan seni lukis rice paper. Sejak 1999 aktif berpameran tunggal dan bersama.

.
Polong. Polong. Polong. Polong. Polong. Polong. Polong. Polong.

Loading

Average rating 3.4 / 5. Vote count: 9

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!