Cerpen, Majalah Sastra Pusat, S Prasetyo Utomo

Penakluk Begal

Penakluk Begal - Cerpen S Prasetyo Utomo

Penakluk Begal ilustrasi Istimewa

3.7
(6)

Cerpen S Prasetyo Utomo (Majalah Sastra Pusat Edisi 25/2023)

KULIHAT Kiai Muhaya memandang tajam wajah Kakek, lepas isya, di pelataran surau. “Apa benar Dul Manan jadi begal hutan Gandapati?”

Tak terdengar nada menuduh dalam suara Kiai Muhaya. Namun, Kakek tampak sungkan, mengangguk, dan tak berani memandang wajah kiai. Kakek menahan kegelisahan, seperti ingin cepat meninggalkan pelataran surau yang mulai senyap, ketika anak-anak yang mengaji berlarian mencari jalan setapak ke rumah.

“Maaf, saya gagal mengasuh pemuda itu.”

“Aku ingin bertemu dia di hutan Gandapati,” kata Kiai Muhaya dengan suara tenang. Tatapannya teduh.

“Dul Manan memilih jadi begal, mengikuti jejak kakeknya yang mati dikeroyok orang di hutan Gandapati,” kata Kakek, agak gugup. “Dia tak lagi bekerja padaku sebagai pencari rumput untuk kambing dan sapi.”

“Kau mengusirnya?”

“Saya tak pernah mengusir Dul Manan. Dia membawa sapi saya. Sapi itu dirawat di rumahnya. Saya memintanya mengawinkan sapi betina itu. Kelak kalau sapi itu memiliki dua anak, yang seekor jadi miliknya. Tapi, sapi itu malah dijualnya. Apa saya mesti mempertahankannya?”

Kiai Muhaya tersenyum. Hampir tak terlihat garis senyumnya. Samar-samar aku menyaksikan gurat-gurat kecemasan dalam wajah Kakek. Sepanjang perjalanan meninggalkan pelataran surau, Kakek berdiam diri. Aku sangat mengenal kebiasaan Kakek yang menahan kemasgulan dan harga diri.

Tiba di rumah, memasuki ruang makan, Kakek tidak menyentuh gelas teh yang diseduh dengan gula batu. Tidak mengambil ketela goreng hangat mengepul yang disajikan Nenek. Berdiam diri, Kakek menghisap rokok, dan merenung sepanjang malam. Ia seperti tak bisa menerima pertanyaan-pertanyaan Kiai Muhaya tentang Dul Manan, yang kini memilih petualangan sebagai begal hutan Gandapati pada malam hari. Dul Manan mencari kesempatan merampas sepeda motor orang-orang yang melintasi jalan raya yang membelah hutan itu.

***

SORE ITU kami usai mengaji di surau Kiai Muhaya. Anak-anak sebayaku mengisahkan keberanian Kiai Muhaya mengalahkan begal Dul Manan yang ditakuti orang di hutan Gandapati. Teman kami yang paling pandai bercerita, Anas, berkisah tentang petualangan kiai kebanggaan kami. Di belakang surau, merapat batang pohon nangka yang bergelantungan buahnya, kami berdesakan, ingin mendengar kisah Anas.

Baca juga  Boma

“Sebelum berangkat ke hutan Gandapati, Kiai Muhaya merapal ajian lembu sekilan, yang dulu pernah dimiliki Jaka Tingkir. Lepas isya, Kiai Muhaya memacu motornya melintasi jalan sunyi hutan Gandapati”.

“Apa Kiai dihadang Dul Manan?” tanyaku, dengan rasa ingin tahu. Teman-teman lain kian mendesak Anas. Senja itu jadi terasa gelisah serupa kepak sayap kelelawar yang beterbangan di antara ranting-ranting pohon mangga.

“Dul Manan menghentikan motor Kiai Muhaya dan mengancam dengan pedang panjang.”

“Terjadi pertarungan di antara mereka?” tanya seorang teman.

“Di bawah bayangan pohon trembesi, Kiai Muhaya berdiri gagah. Menghadapi Dul Manan yang bersenjata pedang berkilau.”

“Dul Manan menyerang dengan pedang?”

“Tentu saja Dul Manan membabi buta menyerang Kiai Muhaya dengan pedang panjang berkilau, tapi pedang panjang itu tak pernah mengenai tubuh Kiai. Aji lembu sekilan telah melindungi Kiai dari sabetan pedang.”

Tiap anak yang mendengar kisah Anas terkesima. “Apa yang dilakukan Kiai?” tanyaku, sangat ingin tahu.

“Kiai melumpuhkan Dul Manan dengan sekali pukul. Begal itu menggelepar. Ia bertobat. Kiai Muhaya memintanya bekerja mengurus kambing, mengembala ke hutan, dan mencarikan rumput. Ia tinggal di gubuk kayu dekat kandang. Kalau kalian berpapasan dengannya, lihat matanya, tidak lagi garang. Sepasang mata itu seperti menyembunyikan rasa malu.”

***

DI pendapa rumah pada malam hari, Kakek minum teh yang diseduh dengan gula batu dan mengunyah sukun goreng panas. Kakek ditemani Mbah Dipa, tetangga seberang parit. Percakapan mereka terdengar pelan dan penuh harap.

“Kita mesti meminta Kiai Muhaya mengajarkan aji lembu sekilan, biar kita bisa mengalahkan begal dan maling,” kata Mbah Dipa, penuh keyakinan.

“Kau berani mengajukan permintaan itu pada Kiai?”

“Tentu saja. Aku ingin melindungi kambing-kambing dari para pencuri. Banyak orang suka mencuri kambing piaraan.”

Aku melihat Mbah Dipa meninggalkan pendapa rumah Kakek dengan perangai yang penuh keyakinan. Ia kembali lagi ke pendapa pada malam hari berikutnya dengan wajah murung.

Baca juga  Membunuh Iblis pada Malam Tahun Baru

“Kiai Muhaya mengelak mengajarkan aji lembu sekilan!” kata Mbah Dipa. “Beliau menghindar ketika aku minta diturunkan ajian itu.”

Kakek masih tampak tenang, tak peduli dengan kekesalan Mbah Dipa. Seperti malam kemarin, Kakek menyesap teh yang diseduh dengan gula batu. Terdiam sesaat. Mengambil sukun goreng dan mengunyahnya.

“Kita tak bisa memaksa Kiai untuk menurunkan aji lembu sekilan.”

“Tapi, Dul Manan telah dipercaya menggembala kambing-kambing Kiai Muhaya, mencari rumput, dan menjaganya di malam hari dari gangguan pencuri,” kata Mbah Dipa. “Bagaimana mungkin dia begitu percaya diri kalau tak memiliki aji lembu sekilan?”

Lama Kakek memandangi wajah Mbah Dipa. Tak ingin membantah. Tak ingin mengikuti pikiran tetangga yang tinggal di seberang parit itu. Dibiarkan prasangka Mbah Dipa memberangus hatinya.

Dengan suara berat, Kakek sempat bertanya, “Kenapa kita berprasangka buruk pada Kiai Muhaya?”

“Aku curiga, Kiai Muhaya tak ingin dikalahkan siapa pun di desa ini. Ia ingin tetap menjaga kehormatannya sebagai seorang ulama yang bisa menaklukkan berandal hutan Gandapati.”

***

KAMBING-KAMBING di belakang rumah Kiai Muhaya mengembik gaduh menjelang subuh. Terdengar teriakan-teriakan dan bentakan Dul Manan. Aku bergegas bangun dari amben, berlari menerobos ladang jagung dalam gelap, menyusuri jalan setapak ke kandang kambing Kiai Muhaya. Aku berpapasan dengan Anas. Berlari bersama. Melihat Dul Manan berdiri gagah dan tiga orang kekar tergeletak, mengerang-erang.

“Kalau kalian akan mencuri kambing-kambing Kiai, hadapi dulu aku!” kata Dul Manan. “Kalian tak akan pernah bisa mengalahkanku.”

“Ampun! Biarkan kami pergi!” pinta salah seorang di antara tiga lelaki kekar yang tergeletak di tanah. Kiai Muhaya mendekati Dul Manan dan memandangi tiga pemuda kekar yang terkapar tak jauh dari kandang kambing. Kami terdiam. Dari bukit di sebelah barat sungai mulai terdengar azan subuh.

“Jangan biarkan orang-orang menghajar kami. Lepaskan kami!” pinta lelaki kekar dengan dada bertato. “Saya tidak akan mencuri kambing Kiai.”

“Pergilah, sebelum orang-orang kampung memukuli kalian!” kata Kiai Muhaya, tenang.

Ketiga pemuda kekar itu—teman-teman begal Dul Manan di hutan Gandapati pada masa lalu—bergegas mencari jalan setapak meninggalkan pelataran rumah Kiai Muhaya. Tak sekalipun mereka menoleh. Tubuh mereka lenyap dalam senyap kabut pagi yang mengambang di ladang jagung.

Baca juga  Tak Ada Mawar di Jalan Raya

Aku dan Anas mengikuti langkah Kiai Muhaya ke surau dengan menyimpan begitu banyak kesaksian tentang aji lembu sekilan yang dimiliki Dul Manan untuk mengalahkan ketiga pencuri kambing. Aku semakin sungkan dan takjub pada kiai setengah baya yang selalu tampil bersahaja itu.

***

LEPAS isya, aku dan Anas mengendap-endap mendekati rumah gubuk kayu tempat tinggal Dul Manan yang tak jauh dari kandang kambing. Kami merapat ke dinding yang bercelah-celah lubang kecil. Mengintip perilaku bekas begal hutan Gandapati. Betapa mataku terbelalak melihat bekas begal itu hanya bersarung, bertelanjang dada, merapal doa, mengambil pedang yang tergeletak di meja. Dul Manan menetakkan pedang panjang ke dadanya sendiri. Berkali-kali. Kulit tubuhnya sama sekali tak tergores. Pedang itu mental. Lututku gemetar, tak bisa menjauhi gubuk kayu.

“Menakutkan sekali kalau ia kembali jadi begal,” bisik Anas, gemetar di telingaku. “Tak seorang pun bisa mengalahkannya.” ***

.

.

Pandana Merdeka, Juli 2023

S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi. Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

.
Penakluk Begal. Penakluk Begal. Penakluk Begal. Penakluk Begal. Penakluk Begal.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!