Cerpen Pramoedya Ananta Toer
INEM adalah kawanku di antara kawan-kawan perempuanku. Ia berumur delapan tahun—jadi dua tahun lebih tua daripada diriku sendiri. Ia tak berbeda dengan kawan-kawanku yang lain. Dan kalau perbedaan itu ada ialah ini: ia tergolong cantik buat gadis-gadis kecil di kampung kami. Senang orang melihatnya. Ia sopan, tak manja, cekatan dan rajin. Sifat-sifat yang segera saja memashurkan namanya sampai di kampung sebelah-menyebelah. Inem patut benar jadi temanku.
Dan pada suatu kali sedang memasak air di dapur ia berkata padaku: “Gus Muk, aku akan dikawinkan.”
“Masa?” kataku.
“Ya. Seminggu yang lalu sudah datang lamarannya. Emak dan Bapak dan kerabat-kerabat lainnya sudah menerima baik lamaran itu.”
“Alangkah senang jadi pengantin!” seruku riang.
“Alangkah senang. Tentu saja! Nanti aku dibelikan pakaian bagus-bagus. Nanti aku didandani pakaian pengantin, dibungai, dibedaki, disipati dan dicelaki. Alangkah senang! Alangkah senang!”
Dan betullah. Pada suatu sore, datanglah emaknya menemui ibu. Waktu itu Inem dititipkan pada orangtuaku. Pekerjaannya tiap hari membantu masak di dapur dan menemani aku dan adik-adikku bermain-main.
Penghasilan emak si Inem ialah dari upah membatik. Perempuan-perempuan di kampung kami, apabila tak bekerja di sawah, membatiklah pekerjaannya. Ada yang membatik kain dan ada pula yang membatik ikat kepala. Mereka yang miskin membatik ikat kepala, karena ikat kepala lekas dapat diselesaikan, dan lekas pula orang mendapat upah. Dan penghasilan emak si Inem ialah dari membatik ikat kepala itu. Mori dan lilin diterimanya dari Toko Ijo, majikannya. Tiap dua lembar yang sudah dibatikinya, ia menerima upah satu setengah sen. Tiap hari rata-rata orang dapat menghasilkan delapan sampai sebelas lembar ikat kepala.
Bapak si Inem seorang pengadu jago. Tiap-tiap hari kerjanya hanya berjudi dengan pertarungan jagonya. Kalau ia kalah, jagonya diambil oleh yang menang. Dan ia pun harus membayar seringgit atau paling sedikit tiga talen. Kalau tidak adu jago, ia main kartu dengan tetangga dengan uang pasangan satu sen. Kadang-kadang bapak Inem tak pulang satu atau setengah bulan, mengembara dengan berjalan kaki. Bila sampai di rumah lagi, artinya ia ada membawa uang.
Ibu pernah bilang padaku, bapak si Inem kerjanya yang terutama ialah membegal di tengah hutan jati antara kota kami Blora dan kota pesisir Rembang. Waktu itu aku sedang duduk di kelas satu dan banyak mendengar cerita tentang pembegalan, perampokan, pencurian dan pembunuhan. Oleh cerita-cerita itu dan juga oleh cerita ibu, jadi takutlah aku pada bapak si Inem.
Semua orang tahu belaka, bapak Inem jadi penjahat. Tapi tak seorang pun berani mengadukan pada polisi. Dan tak seorang pun dapat membuktikan dia seorang penjahat. Karena itu ia tak pernah ditangkap oleh polisi. Lagi pula saudara-saudara emak si Inem hampir semuanya jadi polisi. Malah ada yang jadi agen kelas satu. Dan pak Inem sendiri pun pernah jadi polisi dan dipecat karena menerima suapan.
Cerita ibu pula, dahulu pak Inem penjahat besar. Untuk membrantas kejahatan yang merajalela, ia diangkat jadi polisi oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membrantas kawan-kawannya. Sejak itu ia tak pernah merampok lagi. Tetapi di lingkungan kami ia masih tetap jadi tempat orang menaruh kecurigaan.
Waktu emak si Inem menemui ibu, Inem sedang memasak air di dapur. Aku turut menemui emaknya. Dan tamu itu, ibu dan aku duduk di bale rendah berwarna merah.
“Ndoro,” kata emak si Inem, “aku datang untuk meminta si Inem.”
“Mengapa si Inem diminta? Bukankah lebih baik kalau dia ada di sini? Engkau tak perlu mengongkosi dan di sini dia bisa belajar masak.”
“Tapi, Ndoro, habis panen ini aku bermaksud menikahkan dia.”
“Ha?” seru ibu kaget. “Dinikahkan?”
“Ya, Ndoro. Dia sudah perawan sekarang—sudah berumur delapan tahun,” kata emak si Inem.
Sekarang ibu tertawa. Dan tamu itu heran melihat ibu tertawa.
“Delapan tahun ‘kan masih kanak-kanak?” tanya ibu kemudian.
“Kami bukan dari golongan priyayi, Ndoro. Aku pikir, dia sudah ketuaan setahun. Si Asih itu mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda daripada anakku.”
Ibu mencoba menghalangi maksud perempuan itu. Tetapi emak si Inem punya alasan lain. Akhirnya tamu itu berkata lagi: “Aku sudah merasa beruntung kalau ada orang minta. Kalau sekali ini lamaran itu kami tangguhkan, mungkin takkan ada lagi yang meminta si Inem. Dan alangkah akan malunya punya anak jadi perawan tua. Dan barangkali saja nanti dia bisa membantu meringankan keperluan sehari-hari.”
Ibu tak menyambut. Kemudian ditentangnya aku dan berkata: “Ambilkan kotak sirih dan paidon [1].”
Aku pun pergilah mengambil tempat sirih dan tempolong ludah yang terbuat dari kuningan.
“Dan apa kata laki mbok Inem?”
“O, bapak si Inem setuju saja. Apalagi si Markaban anak orang kaya—anak satu-satunya. Dia sendiri sekarang sudah mulai turut berdagang sapi di Rembang, di Cepu, di Medang, di Pati, di Ngawen, dan juga di Blora sini,” kata mbok Inem.
Ibu nampak gembira mendengar kabar itu, kegembiraan yang aku tak mengerti mengapa. Kemudian dipanggilnya Inem yang sedang menjerang air di dapur. Inem datang. Dan ibu bertanya: “Inem, sudah maukah engkau dikawinkan?”
Inem menundukkan kepala. Ia sangat hormat terhadap bunda. Tak pernah satu kali pun kudengar ia membantah. Memang tidak jarang terdapat pada seseorang, bahwa dia tak punya tenaga untuk membantah apa saja yang dikatakan orang padanya.
Waktu itu kulihat Inem berseri-seri. Sering ia kelihatan seperti itu. Berikan apa saja padanya yang akan menyenangkan hatinya barang sedikit, dan ia akan berseri-seri. Tapi ia tak biasa mengucapkan terima kasih. Dalam pergaulan keluarga-keluarga orang sederhana di kampung kami, kata terimakasih masih asing. Hanya seri yang memancar di paras jua ucapan itu mendapat jalan.
“Ya, Ndoro,” kata Inem pelahan sekali hampir tak terdengar.
Kemudian mbok Inem dan ibu makan sirih. Ibu sendiri tak suka sering-sering makan sirih. Ini dikerjakannya bila ada tamu perempuan saja. Dan sebentar-sebentar diludahkan dubang-nya [2] ke tempolong kuningan.
“Mbok Inem,” kata ibu waktu Inem sudah kembali ke dapur. “Anak-anak kecil tidak boleh dikawinkan.”
Mbok Inem heran mendengar perkataan ibu itu. Tapi ia tak berkata apa-apa. Juga matanya tak bertanya.
“Aku kawin pada umur delapanbelas,” kata ibu.
Keheranan mbok Inem hilang. Ia tak heran lagi sekarang. Tapi ia tetap tak berkata apa-apa.
“Mbok Inem, kanak-kanak tak boleh dikawinkan,” ibu mengulangi.
Dan mbok Inem heran lagi.
“Nanti anaknya jadi kerdil-kerdil.”
Keheranan mbok Inem hilang lagi.
“Ya, Ndoro,” kemudian ia berkata dingin, “emakku kawin pada umur delapan juga.”
Ibu tak peduli dan meneruskan: “Bukan saja tubuhnya kerdil, juga kesehatannya terganggu.”
“Ya, Ndoro, tapi keluarga kami tergolong keluarga yang berumur panjang. Emak masih hidup sampai sekarang, sekalipun umurnya sudah lebih dari 59 tahun. Dan nenek pun masih hidup. Kukira umurnya ada 74. Masih gagah dan masih kuat menumbuk jagung.”
Ibu tak juga mau peduli, meneruskan: “Apalagi kalau lakinya kanak-kanak juga.”
“Ya, Ndoro, tapi Markaban sudah berumur tujuhbelas tahun.”
“Tujuhbelas tahun! Bapak si Mamuk baru kawin dengan aku waktu dia berumur tigapuluh tahun.”
Mbok Inem berdiam diri. Tak henti-hentinya ia memutar-mutar tembakau yang terselit di antara kedua bibirnya. Sebentar tembakau itu dipindahkan ke kanan, sebentar ke kiri, sebentar lagi digulung-gulungnya untuk penggosok giginya yang hitam arang itu.
Sekarang ibu tak punya alasan lagi untuk menahan-nahan kehendak tamunya. “Kalau sudah jadi kehendak mbok Inem untuk mengawinkannya, ya, moga-moga Inem mendapat laki yang baik yang dapat mengurusnya. Dan moga-moga dia mendapat jodohnya.”
Mbok Inem pergi pulang dengan masih jua memutar-mutarkan tembakau dalam mulutnya.
“Moga-moga tak ada kecelakaan menimpa diri anak kecil itu.”
“Mengapa ada kecelakaan menimpanya?” tanyaku.
“Tidak, Muk, tidak apa-apa.” Kemudian bunda mengubah arah percakapan. “Kalau keadaan keluarga mereka jadi baik, nanti takkan ada ayam kita yang hilang.”
“Dicurikah ayam-ayam kita, Bu?” tanyaku.
“Tidak, Muk, tidak apa-apa,” ibu berkata pelahan-lahan. “Anak begitu kecil. Baru delapan tahun. Kasihan. Tapi mereka butuh uang. Dan jalan satu-satunya hanya mengawinkan anaknya.”
Kemudian bunda pergi ke ladang di belakang rumah mengambil kacang panjang untuk disayur sebentar lagi.
Limabelas hari sesudah kedatangannya, mbok Inem datang lagi untuk mengambil anaknya. Senang betul kelihatannya waktu si Inem tak membantah dibawa. Dan waktu Inem akan meninggalkan rumah kami untuk takkan jadi anggota keluarga buat selama-lamanya, ia berkata padaku di pintu dapur: “Sudah, ya, Gus Muk. Inem pulang, Gus Muk,” katanya pelahan sekali.
Ia selalu bicara pelan. Dan kepelanan adalah salah satu dari adat untuk pergaulan kota kecil kami buat menyopankan diri. Ia pergi dengan keriangan kanak-kanak yang akan menerima baju baru.
.
MULAI SAAT itu Inem tak lagi diam di rumah kami. Terasa sekali olehku akan kehilangan kawan yang dekat itu. Dan mulai saat itu juga, bukan Inem lagi yang mengantarkan aku ke kamar mandi untuk mencuci kaki di malam hari bila hendak tidur, tapi kakak-angkatku.
Kadang-kadang aku merasai rindu yang amat sangat untuk bertemu dengan Inem. Tak jarang, bila aku telah berbaring di tempat tidur, terkenang padanya waktu tangannya ditarik oleh emaknya. Dan kedua orang itu pergi meninggalkan rumah kami. Rumah Inem ada di belakang rumah kami, hanya dibatasi oleh pagar kayu.
Sebulan lamanya ia telah pergi. Aku sering datang ke rumahnya untuk bermain-main dengannya. Dan ibu selalu marah bila tahu aku ada di sana. Katanya selalu: “Kepandaian apa yang bisa kau dapat dari rumah Inem?”
Dan selalu aku tak menjawab. Ibu selalu dengan alasan bila memarahi aku. Tiap kata-katanya merupakan dinding tebal yang tak bisa dilalui oleh dalih-dalih. Karena itu lebih baik aku berdiam diri. Dan sebagai kunci kemarahannya, hampir dapat dipastikan ia mengulangi kalimat yang sering diucapkannya: “Buat apa kau bermain-main dengan dia? Bukankah masih banyak anak-anak yang boleh kau ajak bermain-main? Dan lagi dia perempuan yang sebentar lagi dikawinkan pula.”
Tetapi aku datang saja ke rumahnya dengan mencuri-curi. Sungguh mengherankan kadang-kadang mengapa larangan itu ada dan penting hanya untuk dilanggar. Dan dalam pelanggaran itu ada terasa olehku bahwa apa yang kukerjakan itu menikmatkan. Dan untuk kanak-kanak seperti aku pada waktu itu—oh, alangkah banyak larangan dan pantangan yang ditimpakan pada kepala kami. Ya, seakan-akan semua yang ada di dunia ini mengawasi kami, dan tak memperbolehkan sebarang yang kami perbuat dan hendaki. Mau-tak-mau kami kanak-kanak merasa, sesungguhnya dunia ini hanya diperuntukkan buat orang-orang dewasa.
.
KEMUDIAN datanglah hari perkawinan itu.
Lima hari sebelum pernikahan dilangsungkan, keluarga si Inem sibuk memasak-masak. juadah dan makanan di dapur. Ini membuat aku lebih kerap lagi datang ke rumahnya.
Sehari sebelum pernikahan, Inem dihiasi bagus-bagus. Ibu menyuruh aku datang ke sana mengantarkan lima kilo beras dan uang setalen buat sumbangan. Dan sore harinya kami kanak-kanak datang merubungnya dan mengagumi. Anak rambut di kening, alis dan cambang Inem dicukur dan dibentuk baik-baik serta ditebalkan dengan celak. Sanggulnya yang kecil dibesarkan dengan cemara rambut yang dibungai dengan kembang kertas bertangkaikan pegas yang kami namai sunduk mentul. Pakaiannya terbuat dari sutera satin. Kainnya kain mahal buatan Solo. Semua itu disewa dari seorang Tionghoa di pecinan dekat alun-alun. Juga cincin dan gelang yang terbuat dari emas adalah sewaan belaka.
Rumah pun telah diperbagus dengan pajangan daun beringin dan daun kelapa muda. Bendera tiga warna disilang-silangkan di tiap dinding dalam lingkaran daun palma. Juga tiang-tiang dihiasi dengan pita tiga warna.
Ibu sendiri datang dan turut membantu menyelenggarakan. Tetapi tidak lama. Hal yang demikian jarang dilakukan oleh bunda bila tak untuk tetangga yang paling dekat. Belum lagi sejam ia telah pulang lagi. Dan di waktu itu juga datang kiriman dari bakal laki Inem: satu pikul juadah, seekor kambing bandot, satu dacin beras, satu pak garam, satu karung kelapa yang telah dikupas sambuknya dan setengah karung gula pasir.
Waktu itu baru habis panen. Beras murah. Dan bila beras murah segala bahan makanan turut murah. Itulah sebabnya sehabis musim kawin banyak diadakan peralatan. Oleh karena itu pula keluarga Inem tak berhasil memperoleh tanggapan wayang. Dalang-dalang sudah menerima permintaan dari lain-lain keluarga dan kampung. Wayang adalah tontonan yang paling populer di tempat kami. Dan di kota kami ada tiga macam wayang, wayang purwa yang memainkan mahabarata dan ramayana serta cerita-cerita yang sejalan dengan pokok cerita tersebut. Wayang krucil yang terbuat dari kayu dan berbentuk orang yang memainkan cerita-cerita Arab, Persia, India, Tionghoa dan cerita jaman Majapahit. Wayang golek yang berbentuk boneka dari kayu. Tapi yang akhir ini tak begitu disukai orang.
Karena tak ada dalang lagi, keluarga Inem menanggap joget. Mula-mula terjadi pertengkaran. Famili pihak mbok Inem terdiri dari barisan orang ulama. Tapi pak Inem tak dapat dikalahkan. Dan joget pun datanglah dengan gamelannya. Tayuban [3] pun diadakan.
Biasanya tayub di tempat kami dihadiri oleh orang-orang yang turut menari dan anak-anak kecil yang hanya hendak menonton—anak-anak kecil yang pengetahuannya tentang kejenisan belum lagi melampaui mencium. Anak-anak yang telah dewasa tak suka menonton: malu. Apalagi kaum wanita—tak ada sama sekali. Dan tayuban di tempat kami—untuk memanaskan semangat seksual—selalu disertai dengan minuman keras: arak, bir, wiski, jenewer atau gin.
Tayuban itu dilakukan dua-hari-dua malam. Senang betul kami kanak-kanak melihat orang lelaki dan perempuan menjoget dan bercium-ciuman dan sebentar-sebentar mengadu gelas dan meneguk minuman keras itu sambil menjoget dan berteriak: “Huséé!”
Dan walaupun ibu melarang aku datang menonton, tapi aku pergi juga dengan mencuri-curi.
“Mengapa engkau datang juga ke tempat orang-orang durhaka itu? Lihatlah kiaimu, sekalipun dia ipar pak Inem, tapi dia tak juga datang menonton. Engkau lihat sendiri itu.”
Kiai kami berumah di belakang rumah kami juga, di sebelah kanan rumah Inem. Di kemudian hari tak hadirnya kiai ini jadi buah percakapan yang selalu menghangatkan percakapan. Juga menimbulkan dua hal yang menggatal saja di ujung lidah: pak kiai memang orang alim dan pak Inem memang bangsat.
Ibu menguatkan kemarahannya padaku itu dengan kata-kata yang waktu itu tak dapat kufahami: “Tahu kau? Mereka itu adalah orang-orang yang tak tahu menghargai wanita,” katanya dengan suara menusuk.
Dan waktu pengantin lelaki datang untuk dipertemukan dengan pengantin perempuan, Inem yang duduk di puadai dituntun orang. Pengantin lelaki sudah sampai di pendopo. Si Inem berjongkok dan menyembah bakal lakinya kemudian mencuci kaki lelaki itu dengan air bunga dari jambang kuningan. Kemudian pengantin itu diikat jadi satu dan dituntun dibawa bersama ke puadai. Waktu itu juga terdengar hadirin bersama-sama: “Anak satu jadi dua. Anak satu jadi dua. Anak satu jadi dua.”
Dan perempuan-perempuan yang menonton berseri-seri seakan-akan mereka sendiri yang bakal mendapat kesenangan.
Waktu itu jualah kulihat Inem menangis hingga bedaknya rusak, dan airmatanya menjaluri mukanya yang cantik itu. Di rumah aku bertanya pada ibu: “Mengapa pengantin tadi menangis, Bu?”
“Kalau pengantin menangis, ialah karena dia ingat pada nenek-moyang yang sudah lama meninggal. Arwah-arwah mereka turut menghadiri upacara itu. Dan lagi mereka bersenang-hati keturunannya telah menikah dengan selamat,” jawab ibu.
Perkataannya itu tak pernah kupikirkan. Di kemudian hari tahu juga aku mengapa dia menangis. Inem mau kencing, tapi tak berani bilang.
.
PERALATAN ITU habis dengan dingin saja. Tak ada lagi tamu yang datang menyumbang. Rumah kembali seperti tadi-tadinya. Dan waktu mindring-mindring datang menagih, pak Inem sudah meninggalkan kota Blora. Mbok Inem dan Inem sendiri sesudah pernikahan itu terus membatik dan membatik—siang dan malam. Dan bila orang datang ke rumah mereka pada jam tiga pagi, tak jarang mereka dapat ditemui masih membatik. Dan asap dapur lilin mengepul-ngepul di antara keduanya. Selain itu, seringkali terdengar pertengkaran di rumah itu.
Dan pada suatu kali waktu aku sedang tidur di ranjang dengan bunda, teriakan yang keras membangunkan daku: “Tak mau! Tak mau!”
Masih malam waktu itu. Dan teriakan itu diulang-ulang dibarengi dengan pukulan pada pintu dan berdembam-dembam. Aku tahu, teriakan itu ke luar dari mulut Inem. Aku kenal suaranya.
“Bu, mengapa Inem berteriak, Bu?” aku bertanya pada bunda.
“Berkelahi. Moga-moga tak ada kecelakaan menimpa anak kecil itu,” katanya. Tapi ia tidak menjelaskan apa-apa lagi.
“Mengapa ada kecelakaan menimpanya, Bu?” tanyaku mendesak.
Ibu tak mau memberikan jawabannya. Dan kemudian, bila pekik-raung itu habis, kami tertidur kembali. Dan teriakan seperti itu hampir dapat dipastikan terjadi tiap malam. Teriak, dan teriak. Dan tiap aku mendengarnya aku bertanya pada bunda. Ibu tak mau menjawab dengan semestinya. Kadang ia hanya mengeluh: “Kasihan, anak begitu kecil.”
Dan pada suatu hari datanglah si Inem ke rumah kami. Langsung saja ia mencari bunda. Parasnya pucat tak berdarah. Sebelum berkata apa-apa ia mengacarai pertemuan itu dengan tangisnya—tangis yang sopan.
“Mengapa menangis, Inem? Engkau berkelahi lagi?” tanya ibu.
“Ndoro,” kata Inem, “aku harap,” di antara sedu-sedannya, “sudi menerima aku di sini seperti dulu.”
“Bukankah engkau sudah berlaki, Inem?”
Dan Inem menangis lagi. Dalam tangisnya itu ia berkata: “Aku tak tahan, Ndoro.”
“Mengapa, Inem? Tak senangkah engkau pada lakimu,” tanya bunda.
“Ndoro, kasihanilah aku ini. Tiap malam dia mau menggelut saja kerjanya, Ndoro.”
“Bukankah engkau bisa bilang. ‘Kang, jangan begitu.’?”
“Inem takut, Ndoro. Inem takut padanya. Dia begitu besar. Dan kalau menggelut kerasnya bukan main hingga Inem tak bisa bernafas, Ndoro. Bukankah Ndoro mau menerima aku lagi?” pintanya terhiba-hiba.
“Kalau engkau tak punya laki, Inem, tentu saja engkau kuterima. Tapi engkau punya laki…,” kata bunda.
Dan Inem menangis lagi mendengar perkataan ibu itu.
“Ndoro, Inem tak mau punya laki.”
“Walau engkau tak mau, tapi engkau tetap punya, Inem. Barangkali di kemudian hari lakimu jadi baik, dan engkau berdua bisa hidup senang. Bukankah engkau dulu mau dikawinkan?” kata ibu.
“Ya, Ndoro…. tapi, tapi …. ”
“Inem, bagaimana pun, seorang perempuan harus berbakti pada suaminya. Bila engkau tak berbakti pada lakimu, engkau akan kena sumpah nenek-moyangmu,” kata ibu.
Tambah keras tangis Inem, hingga tak bisa berkata apa-apa.
“Sekarang, Inem, berjanjilah engkau, engkau akan selalu menyediakan makan untuk lakimu. Kalau engkau menganggur, engkau harus berdoa pada Tuhan agar dia selamat selalu. Engkau harus berjanji akan mencuci pakaiannya, dan engkau harus memijitnya kalau dia capek dari mencari rejeki. Engkau harus mengerikinya kalau dia masuk angin.”
Iném tak juga menjawab. Hanya airmatanya terus jatuh.
“Nah pulanglah engkau, dan mulai saat ini, berbaktilah engkau padanya. Baik dia buruk, baik dia baik, engkau harus berbakti padanya karena dia itu tak lain dari lakimu sendiri.”
Iném yang duduk di lantai tak juga bergerak.
“Berdirilah, dan pulanglah pada lakimu. Engkau—kalau engkau meninggalkan lakimu begitu saja, takkan baik jadinya dengan dirimu di kemudian hari dan sekarang,” kata ibu lagi.
“Ya, Ndoro,” katanya patuh.
Pelahan-lahan ia berdiri dan berjalan pulang.
“Kasihan, begitu kecil,” kata bunda.
“Bu, pernahkah ibu digelut ayah?” tanyaku.
Hati-hati ibu mengamat-amati mataku. Kemudian pengamat-amatannya hilang. Ia tersenyum.
“Tidak,” katanya. “Ayahmu adalah orang yang paling baik di seluruh dunia, Muk….”
Kemudian ibu pergi ke dapur mengambil pacul dan mencangkul di ladang bersama daku.
.
SATU TAHUN pun berlalulah dengan tiada terasa. Pada suatu kali datang pula si Iném. Satu tahun itu telah membuat dia jauh lebih besar daripada sebelumnya. Nampak betul ia sudah jadi dewasa walaupun baru berumur sembilan. Seperti biasa, langsung dia menemui ibu, duduk di lantai sambil menundukkan kepala. Berkata: “Ndoro, sekarang Iném sudah tak punya laki lagi.”
“Apa?”
“Inem sekarang sudah tak berlaki lagi.”
“Engkau sudah janda?” ibu bertanya.
“Ya, Ndoro.”
“Mengapa engkau bercerai dengannya?”
Ia tak menjawab.
“Engkau tak berbakti padanya?”
“Inem pikir, Iném selalu berbakti padanya, Ndoro.”
“Engkau pijiti dia kalau pulang kelelahan mencari rejeki?” tanya bunda menyelidiki.
“Ya, Ndoro, semua pesan sudah Iném jalankan.”
“Mengapa bercerai juga?”
“Ndoro, dia sering memukuli Iném.”
“Memukuli? Anak begini kecil dipukuli?”
“Inem sudah cukup berbakti, Ndoro. Dan kalau dia memukuli, dan Iném kesakitan, berbakti jugakah itu, Ndoro?” tanyanya betul-betul minta keterangan.
Bunda berdiam diri. Matanya menyelidiki Inem.
“Dipukuli,” bisik bunda kemudian.
“Ya, Ndoro—dipukuli, seperti emak dan bapak memukuli aku.”
“Barangkali engkau memang kurang berbakti padanya. Seorang suami takkan sampai hati memukuli bininya bila dia sungguh-sungguh berbakti.”
Iném tak menjawab. Diubahnya arah percakapan: “Sudikah Ndoro menerima Inem kembali?”
Tak bunda berbimbang-bimbang dalam menjawabnya. Berkata tegas: “Iném, engkau sekarang janda. Di sini banyak anak lelaki yang sudah besar-besar. Bukankah tidak baik dipandang mata orang lain?”
“Tapi mereka takkan memukuli Iném,” kata janda itu.
“Bukan. Bukan itu maksudku. Kalau di tempat yang banyak lelakinya ada seorang janda yang begitu muda seperti engkau, tidak baiklah dipandang mata orang lain.”
“Karena Inémkah itu, Ndoro?”
“Bukan, Iném, karena kesopananlah itu.”
“Kesopanan, Ndoro? Karena kesopanankah Iném tak boleh di sini?”
“Ya, begitulah, Inem.”
Janda itu tak berkata apa-apa lagi. Ia tinggal duduk di lantai. Dan nampaknya, ia tak ada maksud untuk meninggalkan tempat duduknya. Ibu mendekati dan menepuk-nepuk bahunya—menghibur: “Sekarang, Inem—lebih baik engkau bantu orangtuamu mencari rejeki. Sungguh sayang, aku tak bisa menerima engkau lagi.” Dua tetes airmata membutir di sudut-sudut mata perempuan kecil itu. Ia berdiri. Lesu ia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah kami menuju ke rumah orangtuanya. Dan sejak itu ia jarang nampak ke luar dari rumah.
Dan kemudian, janda yang berumur sembilan tahun itu karena hanya membebani rumahtangga orangtuanya boleh dipukuli oleh siapa saja yang suka: emaknya, adiknya yang lelaki, pamannya, tetangganya, bibinya. Namun Inem tak pernah datang lagi ke rumah kami.
Sering terdengar teriak-kesakitannya. Bila ia meraung, kututup kupingku dengan kedua belah tangan. Dan ibu pun tetap memegang kesopanan rumahtangganya. ***
.
.
Jakarta; iii-1950.
.
.
Catatan:
[1] paidon, tempolong tempat ludah sirih
[2] dubang, ludah sirih yang merah
[3] tayuban, tarian rakyat semacam meronggeng
.
.
Anonymous
Saya heran ada yang menilai bintang satu