Cerpen Ida Fitri (Jawa Pos, 25 November 2023)
AKU sedang menyedot kopi hitam dingin kala Yah Wa muncul dan mengempaskan pantatnya di kursi besi di depanku sambil memaki, “Celaka! Komisi Kebenaran celaka!”
Aku terbatuk-batuk beberapa kali, dan hampir tersedak sedotan. Sebagai komisioner termuda sekaligus satu dari dua komisioner perempuan, ucapan Yah Wa menyetrum tubuhku, lebih tepatnya menyetrum aku yang tidak berwujud atau kamu bisa menyebutnya sanubari. Lelaki berkulit keling dengan uban dan kumis separo memutih bak bunga jambu air jatuh itu selalu berpenampilan tenang. Jika ia sampai memaki tentu itu masalah besar. Yah Wa adalah saudara ibuku yang lebih tua dan satu-satunya yang masih tersisa. Ia sudah seperti ayah bagiku.
“Ada apa, Yah Wa? Coba tenang dulu, ceritakan apa yang terjadi.”
Yah Wa melempar koran Seuramoe, satu-satunya koran cetak yang masih terbit di daerahku, ke atas meja, “Baca!” Yah Wa menarik napas panjang, kemudian hening.
Mataku mengeja huruf yang menjadi berita utama, KOMISI KEBENARAN TERLIBAT SPPD FIKTIF TAM TARAM TAM. Tanpa sengaja aku memegang bagian belakang kepala, akhirnya keluar di koran juga. Hal-hal busuk, disembunyikan bagaimanapun, aromanya akan tercium juga.
“Apa kau ikut-ikutan, Mar?”
Aku mendesah, kemudian menatap ke atas, daun angsana memayungi tempat kami duduk. Pohon itu tumbuh di depan warung kopi. Di bawah cabang-cabangnya yang rindang diatur meja dan kursi, yang kerap dipakai pengunjung di siang hari. Dan di siang jahanam ini aku ikut duduk di salah satu kursi itu. Dua helai daun angsana terjatuh acak, ngam-ngom dari meja-meja lain menyergap keheningan di meja kami. Rasa kecut menyelimuti hati, tak berani kupandang wajah lelaki tua di depanku. Kutatap lekat huruf-huruf di koran, huruf-huruf yang berseliweran membentuk satu cerita tak utuh yang tak bisa kuceritakan pada Yah Wa.
Tidak! Bahkan aku tidak berani menceritakan padamu, ini terlalu memalukan. Yang kamu baca selanjutnya adalah cerita yang tak pernah terceritakan, itu hanyalah kumpulan huruf-huruf yang berseliweran, kemudian membentuk kata-kata, dan menjadi kalimat dalam sanubariku. Sesuatu yang masih di dalam sanubari tidak pernah bisa disebut cerita.
***
Satu hari di bulan Februari 2022, tuan gubernur yang berasal dari dataran tinggi melantik Komisi Kebenaran: aku salah satu di antara tujuh orang itu. Hari itu aku begitu bangga, tapi berselang empat puluh tujuh hari, langsung kusadari: seharusnya hari itu tak pernah ada.
Ihwal ini bermula saat aku mulai membaca laporan komisioner periode sebelumnya: mereka telah mewawancarai 15.579 (dibagi 3) korban dan keluarga korban kekerasan masa konflik bersenjata yang laporannya terangkum dalam 5.193 halaman A4. Konflik bersenjata bukan hal baru di Aceh. Bahkan sudah dimulai sebelum seorang anak haram diangkat menjadi sultan yang dibanggakan turun-temurun. Orang kampungku memang senang berperang, mulai dengan menggunakan parang sampai menggunakan senjata selundupan, bahkan menyelundupkan mesin pembuat senjata. Sudah pasti ada banyak kuburan orang tak dikenal di kampungku. Untuk mencegah kekejaman itu berulang, dibentuklah satu komisi, Komisi Kebenaran, yang bertugas mengungkap yang benar-benar: benar.
Dari mulai dibentuk, Komisi Kebenaran telah bekerja sangat keras agar kasus pelanggaran HAM di kampungku benar-benar terungkap. En Ji O mengapresiasi kerja keras mereka. Tapi kemudian mulai muncul sebuah pertanyaan dalam benakku, sebuah pertanyaan yang akan kusampaikan di bagian paling akhir nanti. Sebelum itu, akan kurangkai sepuluh ihwal, yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan sepuluh perintah dalam sebuah kitab suci.
Ihwal I: Seorang perempuan yang tidak diketahui nama sebenarnya, namun orang-orang menyebutnya Er tertawa terkekeh-kekeh di tempat pemberhentian minibus di dekat pom bensin yang terletak di mulut jalan keluar dari Kota Lhokseumawe. Perempuan itu menunjuk-nunjuk ke arah salah satu agen minibus (jangan kamu bayangkan agen seperti mata-mata negara tetangga, agen di sini merujuk ke orang yang menggaet calon penumpang ke satu minibus, kemudian menagih ongkos dan meminta komisi ke sopir, dan mereka tidak bekerja secara resmi pada satu perusahaan pengangkutan tertentu, karena ini bukan tempat pemberhentian minibus resmi) yang rambut keritingnya diikat ke belakang.
“Apa lihat-lihat! Kau suka padaku?” Er menyunggingkan senyum, lesung pipitnya terbentuk manis sekali. Agen berambut keriting membalas samar senyuman perempuan itu, tapi kemudian berlari menjemput calon penumpang yang kesusahan membawa tas dan sebuah kotak di seberang jalan.
“Mau ke mana kau! Bilang saja kau ingin merayuku, Sabri. Jangan pura-pura tidak melihatku!” Perempuan itu hendak mengikuti agen berambut keriting, sebuah sedan dari arah Kota Lhokseumawe membunyikan klakson, diikuti bunyi ban mobil direm mendadak dari sebuah mobil bak terbuka di belakangnya. Er malah tertawa terkekeh-kekeh. Perempuan berkulit putih yang tersamar debu jalanan itu sudah teralih pada seorang pemuda berkemeja, mungkin seorang dosen muda atau seorang pegawai pemerintah (karena hari itu hari Jumat) yang baru turun dari becak.
“Hai, Sabri! Kau datang menjemputku?”
Pemuda berkemeja memegang tali tas ranselnya, tidak menghiraukan Er, berjalan ke minibus biru yang berada paling depan.
“Sabriii!” Er berteriak histeris.
Pemuda berkemeja berbalik, kesibukan di pinggir jalan nasional itu terhenti sebentar, satu-dua penumpang melongokkan kepala dari jendela minibus yang terparkir di pinggir jalan. Anak empat tahun yang diseret ibunya ikut menangis. Er malah tertawa-tawa senang, lalu ia mulai menari, berputar-putar di atas trotoar, sambil bernyanyi dengan merdu, Sabri milikku, Sabri cintaku, Sabri-Sabri harus dikebiri.
Pemuda berkemeja hendak kembali berbalik, seorang agen berkacamata hitam memanggilnya dari pintu sebuah minibus. Pada saat itulah Er menyingkap roknya, tak ada apa-apa di balik rok berbunga-bunga itu. Ibu yang menyeret anaknya meletakkan tas cangklongnya di depan wajah si anak sembari beristigfar.
Seorang agen berteriak, agen lain bersiul, hanya agen berambut keriting yang menundukkan wajah. Merasa disemangati Er berbalik membelakangi pemuda berkemeja, lalu membungkuk tanpa menurunkan roknya, sekuntum mawar mewah muda mekar di antara kedua bongkahan pantatnya yang putih. Sopir dan kernet minibus datang mendekat dengan bersemangat, beberapa perempuan menundukkan wajah sambil berkasak-kusuk.
“Dasar gila!” teriak agen berkacamata hitam yang akrab dengan perilaku wanita tersebut.
Ihwal II: Belum sanggup ditulis bahkan dalam sanubari saja.
Ihwal III: Aisha Salbi, kembang desa Arakundou, membenarkan letak kain selendangnya, lalu berpamitan pada ibu-bapaknya, “Mak, Pak! Aku berangkat ngaji dulu. Sudah telat.”
Ia mencium tangan perempuan paling ia sayangi dan laki-laki paling ia hormati secara bergantian. Lalu berlari keluar rumah, tapi kemudian kembali lagi dan berlari ke kamarnya.
“Lupa ini!” tangannya mengangkat seplastik jambu merah. “Untuk makan bersama teman-teman sehabis ngaji.” Ia tersenyum ke arah kedua orang tuanya, sepasang lesung pipit di sudut bibir terlukis indah. Lalu dara itu kembali berlari ke luar rumah menuju ke sebuah bangunan bertiang dekat menasah kampung.
Sang bapak tersenyum menggeleng-geleng kepala sambil menatap sang ibu, “Kapan anak kita dewasa, Bu?”
“Huss! Bulan depan Aisha enam belas, sudah bisa dikawinkan,” jawab ibu berlagak serius.
“Apa? Tidak! Tidak! Aisha akan kuliah di Banda Aceh.” Bapak berlagak sewot.
“Tapi aku sudah ingin menimang cucu, Pak! Kayak Kak Limah.” Ibu pindah duduk ke kursi di dekat bapak.
“Enak saja, Aisha harus kuliah. Titik! Cukup kita saja yang bodoh dan tidak tamat Es Em A.” Bapak menggoda ibu, tapi ibu tahu laki-laki itu sangat serius pada pendidikan anak-anak. Suara azan Magrib mengalun dari menasah kampung.
Ihwal IV: Seorang anak dara berkulit putih berjalan di jalan nasional yang sesunyi kuburan. Karena asyik membaca di perpustakaan, ia lupa-lupa kalau kampungnya tidak sedang baik-baik saja.
Di ibu kota negara, seorang presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat untuk kali pertama, tapi keadaan tidak kunjung membaik. Di daerahnya, koran kerap melaporkan kasus-kasus penculikan oleh orang tak dikenal, melaporkan kontak senjata antara GAM dan tentara, melaporkan korban-korban mati tertembak, dan kemudian koran juga melaporkan pencurian kabel listrik oleh orang tak dikenal dan listrik bisa mati berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Dan terakhir kabar penebangan pohon-pohon kelapa di jalan raya yang berujung pada jalan tidak bisa dilalui, listrik padam, pemogokan berlangsung berhari-hari. Tak pernah terpikirkan oleh Aisha Salbi kalau hal semacam itu juga bisa sampai ke kampungnya. Ketika guru biologi tidak masuk kelas dengan alasan sakit, tidak sanggup mendengar suara teman-temannya yang ribut tidak jelas, ia malah kabur ke perpustakaan untuk membaca sebuah buku tentang alam semesta.
Saat ia keluar dari perpustakaan, sekolah sudah sepi, ia mendapati semua teman-temannya sudah pulang. Saat berpapasan dengan penjaga sekolah di dekat ruang guru, lelaki paro baya itu mengatakan, semua murid telah dipulangkan karena ada isu penebangan pohon dan pemogokan di jalan negara yang melintasi kecamatan. Aisha Salbi mungkin tak sempat mempertanyakan, kenapa para guru melupakan seorang murid yang sedang belajar di perpustakaan.
Sunyi yang mencekam meski di siang bolong cukup menakutkan, orang-orang telah mengunci diri di dalam rumah masing-masing. SMA Aisha terletak di kota kecamatan dan cukup jauh dari kampungnya. Biasanya gadis itu naik labi-labi bersama teman-temannya, tapi hari ini sepanjang jalan telah dipenuhi pohon kelapa yang tumbang, mungkin teman-temannya sudah cukup lama pulang sebelum ia menyadarinya. Mungkin saat mereka pulang, pohon belum ditumbangkan dan labi-labi masih bisa lewat. Kemungkinan-kemungkinan semakin banyak muncul di kepalanya, dan itu semakin menakutkan. Kampungnya sudah dekat, ia hanya perlu melewati beberapa lahan kosong lagi. Hanya matanya menangkap sekelompok laki-laki berseragam di ujung jalan.
Tentara! Atau? Entahlah, matanya melihat kiri-kanan, tak ada rumah penduduk yang bisa ia ketuk untuk minta perlindungan, yang terlihat hanya semak-semak pohon bandotan hampir setinggi orang dewasa. Aisha sendirian, ia telah mendengar segala perilaku jahat orang-orang berseragam yang datang dari pusat. Tanpa pikir panjang, dara itu angkat rok dan berlari ke arah pohon bandotan. Para tentara itu langsung mengejar sang dara ke semak belukar. Ada banyak kecurigaan pada orang yang berlari saat melihat tentara. Ada banyak alasan orang berlari saat melihat tentara di daerah konflik bersenjata.
Semak belukar telah membuat lengan baju Aisha tersangkut dan sobek, memperlihatkan kulit putih mulus dara enam belas tahun, dan tidak butuh waktu lama bagi seorang tentara untuk menangkap dara itu.
Ihwal V: Seperti Ihwal II.
Ihwal VI: Seorang dara dengan seragam abu-abu putih yang tercabik-cabik dan selangkangan berdarah ditemukan pingsan di teras rumah seorang warga.
Ihwal VII, VIII, IX, dan X masing-masing berisi tertembaknya seorang mahasiswi dalam minibus L-300, cerita keluarga korban seorang mahasiswa yang menghilang pada 1999 dan belum ditemukan sampai sekarang, dan kasus gilanya perempuan muda bernama Erna Kumala yang suaminya ditembak tentara beberapa saat setelah mereka menikah. Serta ihwal tertembaknya seorang perempuan yang dituduh cuak di atas motor saat mengantar anaknya yang berusia enam tahun ke sekolah.
Sebenarnya ada cukup banyak ihwal lainnya, namun hanya satu yang sama: tentang korban sangat jelas dan terang benderang hingga keluarganya siapa kita tahu, tapi tak ada kejelasan tentang pelaku, wajah pelaku seperti tak berbentuk. Sudah sampai di mana usaha komisioner menemukan wajah pelaku? Atau sudah adakah kasus yang dilimpahkan ke pengadilan? Tidak ditemukan satu ihwal pun tentang itu. Sebenarnya Komisi Kebenaran mencari kebenaran untuk siapa?
Kemudian kasus SPPD fiktif tam taram tam mencuat, dan aku tercatat sebagai komisioner paling muda dan salah satu perempuan di antara dua perempuan. Sebenarnya aku bisa terpilih menjadi komisioner juga tak lepas dari peran Pak Beurahim, salah satu anggota komisi I parlemen Aceh yang pernah kupacari diam-diam selama tiga tahun tiga bulan. Sekali lagi cerita ini tak pernah kuceritakan karena aku terlalu malu padamu dan mereka: korban dan keluarga korban yang tercatat dalam 15.579 ihwal dibagi 3. ***
.
.
Ida Fitri. Lahir di Bireuen, Aceh. Buku-bukunya Air Mata Shakespeare (2016), Cemong (2017), dan Neraka Turun ke Kebun Kelapa (2023)
.
Komisi Kebenaran (Sebuah Reportase). Komisi Kebenaran (Sebuah Reportase). Komisi Kebenaran (Sebuah Reportase). Komisi Kebenaran (Sebuah Reportase). Komisi Kebenaran (Sebuah Reportase).
Leave a Reply