Cerpen, NH Dini

Janda Muda

Janda Muda - Cerpen NH Dini

Janda Muda ilustrasi Istimewa

4.6
(7)

Cerpen NH Dini

WARSIAH telah siap berdandan.

Sore itu dia mengenakan kain kebayanya yang terbaru, dibeli untuk berlebaran tahun lalu. Kainnya bukan batik tulis. Terlalu mahal bagi sakunya yang tipis. Itu hanya batik cap-capan, tetapi berasal dari Sala, dibawa langsung oleh kakak iparnya pedagang ulang-alik antara kota-kota di sekitarnya. Coraknya lembut Daniris, [1] disela oleh beberapa bentuk bunga di sana-sini. Zaman sekarang banyak terdapat tambahan pada pola dan corak batik klasik atau setengah asli. Demikian pula campuran warna yang beraneka ragam. Warsiah suka kepada kain itu. Daniris memberikan pandangan keseluruhan yang nyaman, tanpa gambaran menonjol. Warna coklat terang sesuai dengan suasana yang akan dia hadiri.

Kebayanya hijau agak gelap. Disampiri selendang tipis dari bahan sederhana merah cerah. Ini cukup memberi nada ketidakmurungan bagi keseluruhan pakaiannya.

Sore itu, dia akan menghadiri pertemuan perkenalan guru-guru Sekolah Menengah di bagian kota sebelah barat. Surat undangan menyebutkan pertemuan ramah-tamah, yang bagi Warsiah merupakan perkenalan karena dia pendatang baru. Tetapi di dalam hati, Warsiah menyimpan harapan tersembunyi, yang bahkan dia sendiri pun dengan rasa malu berusaha menyingkirkannya.

Setiap kali “itu” singgah di kepalanya, dengan susah-payah ia menyibukkan diri mengerjakan sesuatu yang bisa merebut perhatiannya. Namun di samping itu, Warsiah kadang-kadang termenung serta bergulat dalam hati untuk menentang bahwa itu bukanlah perasaan yang patut dihindari.

Lalu dia biarkan lamunan itu menggambarkan kejadian-kejadian yang akan datang, yang diharapkan bisa terjadi. Biasanya itu berlarut-larut serta merupakan bayangan yang terlalu berbahaya. Warsiah terbangun sadar dan kecewa menemukan hal yang sebenarnya, jauh berbeda dari apa yang dia impikan. Hal tersebut tidak menghalanginya buat mengulang lamunan yang sama pada kesempatan yang datang kembali.

Sebagai anak terakhir keluarga biasa, Warsiah memikat pandang tetangga maupun sanak-saudara karena warna kulitnya yang kekuningan seperti buah langsat. Sedari kecil, tubuh yang lebih terang dari keempat saudara kandungnya itu menjadikannya anak sanjungan bapaknya. Pada waktu ibunya tidak menemukan lagi alasan untuk mencegah anak-anak yang lebih besar agar tidak berenang atau mandi-mandi di sungai di pinggir desa, maka ia akan berseru,

“Lihatlah bagaimana kuningnya Warsiah! Ia tidak sering keluar rumah! Kalau ke ladang selalu memakai caping. Kalau kalian juga demikian, pastilah Bapak akan lebih senang kepada kalian.”

***

Dari kelima anak, Warsiah pulalah yang dapat dibanggakan di lapangan pengajaran. Ia sampai pada tingkatan pendidikan guru. Dengan izin istimewa dari bapaknya, Warsiah keluar dari desa dan tinggal di asrama serta mengikuti pelajaran selama tiga tahun.

Sebenarnya tidak jauh. Ada bus yang menghubungkan kedua tempat itu dengan mudah. Kereta api juga tersedia, bahkan dengan biaya jauh lebih rendah. Tapi Warsiah mempergunakan bus guna mengunjungi keluarga pada waktu-waktu libur. Bus itu dapat berhenti di pinggir jalan besar, dekat dengan kampungnya.

Sejak turun dari kendaraan, dia lebih sering bertemu dengan kenalan atau tetangga, kadang sanak-saudara, yang tanpa sembunyi-sembunyi memperlihatkan kekagumannya. Karena Warsiah salah seorang di antara sebegitu sedikit anak perempuan di desa itu yang bisa meneruskan sekolah melampaui tingkatan dasar.

Pemuda-pemuda pun jarang yang meneruskan pendidikan. Kalaupun ada, akhirnya mereka tidak lagi pulang kampung, karena mendapat atau memilih bekerja di kota besar.

Selama tiga tahun Warsiah menerima anugerah ikatan dinas dari pemerintah. Untuk membayarnya, bapaknya yang lanjut usia itu menyarankan anak kesayangannya mengajukan permohonan ditempatkan di desa setelah lulus dari pendidikan guru. Sebetulnya Warsiah ingin melihat kota, mengenal daerah lain. Tetapi dia bukan anak yang bersifat membantah kemauan orang tua. Dengan jelas, dia juga bisa melihat betapa keluarganya hendak membanggakannya. Ia termasuk pengajar pertama yang berasal dari desa itu setelah perang revolusi.

“Nak Warsiah adalah guru yang sesungguhnya,” kata Kepala Desa bilamana ia turut duduk mengobrol di warung dekat jalan besar, sambil menanti lewatnya bus-bus dari Ibu Kota. Bagi mereka, guru yang sesungguhnya ialah guru lulusan dari Sekolah Guru. Karena sejak perang revolusi, sekolah-sekolah yang diselenggarakan di kampung-kampung mengambil guru dari kalangan mana saja, seadanya.

***

Seorang guru dalam keluarga! Alangkah bangganya! Seorang perempuan yang mengajar di sekolah desa, tempat tinggal keluarganya.

Betul umurnya yang muda dan tubuhnya yang kecil itu barangkali kurang meyakinkan orang terhadap Warsiah melaksanakan tugasnya. Tetapi baginya, mengajar di kelas rendahan tidak memerlukan pengetahuan otak yang berbelit-belit. Apalagi pada waktu itu, negara baru keluar dari kekacauan. Organisasi belum teratur benar di segala lapangan. Mengajar di Sekolah Dasar, yang dipentingkan ialah pengertian agar dapat dimengerti oleh murid. Hal ini Warsiah dapat mencakupnya.

Dia suka kepada anak-anak. Ditambah dengan ajaran ilmu jiwa yang diterima pendidikannya, ia bisa menanamkan pengertian. Hal itu menjadi lebih mudah lagi karena Warsiah molekmoblong oleh wajah yang terang kekuningan. Dia mendapat sebutan cantik. Kepala sekolah melarang guru wanita bersolek. Waktu itu, di kalangan tertentu, ramuan hiasan wajah dianggap sebagai barang haram yang hanya dipergunakan oleh golongan perempuan tertentu dan kupu-kupu malam. Kalaupun itu boleh dipakai, hanyalah sebagai hiasan pengantin yang bersanding di pelaminan.

Beberapa mulut usil yang cemburu mengatakan badan Warsiah tidak begitu sehat. Karena itu, warna kulit tidak segelap kebanyakan orang desa.

“Wajahnya selalu pucat,” sambung yang lain.

Memang mukanya tampak datar oleh garis kebiruan bibirnya. Apalagi pada musim-musim sejuk kala hujan yang tidak berkeputusan melembabkan seluruh sawah-ladang. Tapi di samping itu, orang tidak dapat membantah bahwa Warsiah mempunyai rambut lebat dan hitam, warisan dari ibunya. Matanya biasa, membulat sederhana berwarna coklat tua. Demikian pula alis serta bulu matanya lurus. Hidungnya kecil melebar, dengan lubang yang kelihatan terlalu besar. Mulutnya menggaris dengan bibir bawah yang tebal nggandul manas ati, menggantung dan merangsang hati. Bagi laki-laki merupakan daya tarik tersendiri.

Dengan bekal itulah Warsiah mulai bekerja, mengajar di sekolah desanya. Hidup berlangsung tanpa perubahan-perubahan yang mendadak. Lingkungan desa meluas. Rumah baru muncul di sana-sini, mendesak dan menelan ladang serta sawah.

Tahun berganti tahun; batas desa yang satu dan desa lainnya tidak kelihatan lagi karena kepadatan penduduk serta atap rumah. Akhirnya, desa merupakan kota kecil yang kemudian memiliki taman-taman dan gedung bioskop. Rombongan wayang orang dan ketoprak bergiliran datang memeriahkan bangunan bambu yang tersedia di alun-alun.

Demikian semuanya berlangsung hingga datanglah saatnya pemerintah daerah merencanakan pembangunan tempat cadangan air minum yang akan disalurkan ke ibu kota provinsi, tidak jauh dari sungai di pinggir desa itu.

Begitu kabar sampai di telinga mereka, pokok pembicaraan yang baru merupakan kesibukan selama beberapa waktu. Warung di tepi jalan tempat orang-orang menunggu lewatnya bus dan kendaraan lain menjadi pusat pemberitaan. Mereka berbahagia dapat menemukan pokok percakapan yang lepas dari kebiasaan. Dan dari sanalah pula tersebar kabar bahwa seorang asisten insinyur bangunan tersebut adalah pemuda tegap berwajah tampan yang berasal dari desa itu juga. Berduyunan penduduk pergi menyelidik, memperhatikan, dan mengawasi para buruh dan pekerja.

Baca juga  Genangan Kenangan

Bapak Warsiah telah lama mengandung kekhawatiran di dada. Tiga tahun sudah berlalu sejak anak perempuan yang dikasihi itu kembali ke desa, menjalankan tugas yang dipercayakan pemerintah mendidik calon-calon warga negara yang baik. Dari tahun ke tahun pula bapak yang tua itu mengharapkan seorang laki-laki yang dapat dijodohkan bagi Warsiah.

Sekali dua kali, seorang guru lelaki rekan anaknya berkunjung. Tetapi hanya sampai kepada pergaulan biasa. Tampaknya, anak perempuan itu tidak mempunyai perhatian yang lebih daripada kerja sama mengenai soal-soal sekolah. Berdua mereka bahkan mengawal anak-anak kelas tertinggi waktu berdarmawisata ke Candi Borobudur. Lalu ia tidak menemukan kelanjutan yang diharapkan oleh keduanya.

Ia juga bertanya-tanya di antara tetangga yang mempunyai anak-anak muda. Dia mendengar tentang seorang pemuda yang belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Jawa Barat. Anak muda itu tidak pernah pulang sejak keluar dari sekolah. Dengan bapak pemuda itu ia sering bertemu di warung pinggir jalan. Sekali-sekali keduanya berhubungan mengenai pembagian benih baru atau persoalan lain mengenai persawahan.

Bapak Warsiah tidak melihat kemungkinan mengawinkan anaknya dengan pemuda dari Sekolah Tinggi itu.

Hingga tiba saat pembangunan bak cadangan air di pinggir desanya. Seolah dia sendirilah yang akan kawin, hatinya berdebar ketika melihat pemuda itu untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun. Gembira bercampur khawatir.

Akhirnya dia berkesempatan berbicara dengan bapak pemuda itu. Dari percakapan ke percakapan, keduanya akan mempergunakan kebijaksanaan Mak Sum, perempuan setengah umur yang kerjanya menggugah niat perkawinan atau hubungan gelap. Hal itu tidak mengambil waktu lama. Nama Warsiah sendiri cukup baik sebagai jaminan menjadi menantu. Pertemuan kedua muda-mudi itu pun direncanakan. Dulu mereka telah saling mengenal, tetapi telah lama tidak bertemu muka. Tahun dan waktu menumbuhkan masa muda berkembang dan berseri, menuruti lingkungan masing-masing.

Warsiah tidak mengetahui maksud bapaknya. Tapi di dalam hati dia mengakui, hingga waktu itu, pemuda itulah yang paling menarik. Mungkin ini disebabkan oleh caranya berpakaian yang rapi atau pantas. Tidak seperti rekan-rekan guru atau pemuda lain yang dia kenal. Atau barangkali oleh caranya berbicara yang lemah lembut, suara rendah penuh perhatian.

Dua kali bertemu, Warsiah telah merindukannya. Lalu sampailah saat mereka keluar bersama menonton film Amerika di satu-satunya gedung bioskop kawasan desa. Mereka pergi ke kota menonton pasar malam. Bersama para insinyur, keduanya bertamasya ke candi Ratu Baka dan makan siang di sana.

Warsiah bahagia.

Akhirnya, bapaknya memberitahukan bahwa orang tua kedua pihak sedang mempersiapkan perkawinan. Musim panen segera datang. Sawah akan menghasilkan tabungan cukup jika tikus dan hama tidak merajalela.

“Ini merupakan perkawinan terakhir yang kami selenggarakan,” kata bapaknya, “yang terakhir dan terbesar, karena kau guru dan bakal suamimu calon insinyur!”

Warsiah termenung sebentar mendengarnya.

Bapak itu tidak menyembunyikan betapa besar kebanggaan yang menguasai dadanya. Perkawinan itu akan merupakan puncak kehidupannya hingga Tuhan akan memanggilnya kembali. Warsiah mulai menyadari bahwa semua kejadian, pertemuan, makan bersama sebagai selamatan ulang tahun, kunjung-mengunjungi antara kedua keluarga, semuanya telah diatur serta direncanakan.

Namun, ia pun tidak menyesali hal tersebut. Benih kekaguman telah tumbuh menjadi kasih sayang. Pada waktu mereka keluar berdua, dengan gemetar Warsiah mengharapkan perlakuan akrab pemuda itu. Sentuhan tangan, rangkulan di pundak. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Satu kali di gedung bioskop, dan kali lain di dalam becak waktu hujan, tiba-tiba pemuda itu meraih tengkuk dan mencium mulutnya dalam-dalam. Lidah panjang dan panas hampir mencekiknya dan membuatnya ingin muntah.

Gerakan yang kasar. Yang mengejutkan. Tetapi Warsiah tidak berani membantah. Membiarkan dirinya dipeluk dan diraba. Tangannya tergagap mencari pegangan. Demikian pula ketika berkesempatan berdua di gubuk sawah bapaknya. Dalam keasyikan diciumi oleh pemuda itu, Warsiah tidak sadar bahwa gaunnya telah tersingkap, dan tangan pemuda pasangannya leluasa membelai bagian-bagian lekuk antara kedua pahanya. Dia hampir berteriak ketika merasakan aliran listrik menyengat kepekaan kulit itu. Namun, suaranya tenggelam jauh di tenggorokan, tersumbat oleh mulut kekasihnya.

Dia tidak pernah mendapat pelajaran tentang terjadinya kehidupan benih manusia. Di sekolah guru pun tidak diberitahukan hal-hal yang bersangkutan dengan hubungan laki-laki perempuan. Tetapi di asrama, gadis-gadis biasa bertukar pikiran, saling memberitahukan pengetahuan yang pernah didengar. Ketika dulu pertama kali menyadari mengalirnya cairan merah dari sudut rahasia tubuhnya, dengan tersedan dia mengabarkan kepada ibunya. Lalu orang tuanya hanya membujuk dan mengatakan bahwa hal itu biasa terjadi pada gadis kecil yang menjadi dewasa. Di sekelilingnya sanak-saudara perempuan bergantian mulai menggoda dengan senda atau ejekan manis. Mereka mengadakan selamatan menandai meningkatnya ke alam akilbalik. Hari itu pula Warsiah menerima hadiah-hadiah sebagai pisungsung masuknya ke alam dewasa.

Seperti kebanyakan gadis maupun perempuan, Warsiah mempunyai impian bagaimana pemuda yang ingin dia cintai. Dia juga membayangkan bagaimana pergaulan yang hendak dilaksanakan bersamanya. Baginya, laki-laki yang mencinta selalu berkelakuan lemah lembut, penuh bujukan. Dua kali pemuda itu memeluk dan menciuminya. Dan keduanya menyimpang sama sekali dari apa yang selalu dibayangkan Warsiah. Tidak ada perkataan merayu atau memuji. Tanpa ada pandangan mengusap yang meruntuhkan hati. Ajakan bercinta yang datangnya dengan tiba-tiba tidak mengena di hati Warsiah yang polos, karena lebih berupa serangan daripada cumbuan. Ciuman dan rabaan yang dia terima tidak terasa kenikmatannya. Dan ketika yang ketiga kalinya pasangannya mencium serta mengusapkan tangan pada kulit pahanya, Warsiah lebih tersengat oleh naluri daripada kelembutan rayuan.

Agaknya naluri pulalah yang menyebabkan dia bermenung ketika mendengar suara bapaknya mengabarkan bakal perkawinannya dengan pemuda itu. Warsiah menyadari, ia tidak mengenal pemuda itu baik-baik. Mereka bertetangga. Sama-sama menjadi kebanggaan orang tua.

Umur Warsiah lebih tua beberapa bulan dari pasangannya. Tingkatan pendidikan boleh dikatakan seimbang.

Dipandang sepintas lalu, segalanya bisa berlangsung dengan baik. Perkawinan yang sepadan. Pasangan yang cocok!

Namun, Warsiah tidak puas. Dirasakan ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Selama beberapa hari pada saat-saat menyendiri, ia memikirkan apa yang tidak beres mengenai pergaulan mereka. Dan tunangannya, begitulah orang mulai menyebutnya di rumah, terlalu mengenal kota besar. Terlalu mengerti seluk-beluk kehidupan kota. Dia tentulah mengenal banyak gadis dan wanita di sana. Dia bahkan mungkin telah beribu kali mengelus dan mencium mereka seperti yang telah dikerjakan terhadap dirinya.

Perkawinan bukan untuk dua atau tiga hari. Warsiah menginginkan pengenalan lebih lanjut guna menyelami watak serta sifat bakal suaminya. Tetapi desakan dari sana-sini menghimpitnya. Apa lagi yang ditunggu? Pertanyaan semacam itu berulang kali terdengar, datangnya dari mulut yang berlainan.

Baca juga  Perpisahan

Ya, apa yang dia tunggu?

Umurnya dua puluh empat tahun. Terlalu banyak gadis yang tinggal di kota kecil maupun desa padat yang saling mengenal dan memiliki hak buat membicarakan kehidupan gadis lain. Kelompok Candi Loro Jonggrang yang megah menguasai keluasan pemandangan sekitarnya, menambahkan pula ketergesaan setiap keluarga untuk mengawinkan gadisnya. Anak-anak perempuan di daerah itu tumbuh dan dibesarkan oleh ancaman kutukan Bandung Bondowoso bahwa jenis mereka tidak akan laku kawin dan menjadi perawan tua.

Takhayul yang kemudian menjadi kepercayaan ini berlangsung sampai zaman mutakhir. Dan Warsiah yang telah mengecap pendidikan tinggi di kalangan keluarganya pun tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman itu. Dalam hati kecil ia mengakui ketakutannya terhadap kutukan tersebut. Barangkali itulah sebabnya mengapa dia memutuskan tidak mencari-cari lagi apa yang menyebabkan dia ragu-ragu mengawini pemuda tampan si calon insinyur.

Perkawinan berlangsung meriah. Berbagai tontonan diselenggarakan. Kedua keluarga menghabiskan panen tahun ini. Menggadaikan hasil yang akan datang. Tidak mengapa berutang selama bertahun-tahun yang menjelang. Pokoknya orang di desa tidak cepat melupakan perhelatan yang megah itu.

Selama tiga hari tiga malam bergantian pertunjukkan dihidangkan. Dari orkes keroncong, gamelan, tarian daerah yang disuguhkan murid-murid sekolah, hingga wayang kulit yang dilakukan oleh dalang terkenal di malam akhir. Demikian pula pada hari ketujuh dan kedelapan, pesta disambung lagi karena pengantin pindah dari rumah pihak perempuan ke pihak laki-laki.

Warsiah bahagia.

Dia mengira sungguh-sungguh akan bahagia. Dari malam pertama ke malam-malam selanjutnya ia mulai belajar mengenal rahasia keakraban suami-istri. Dan dari hari ke hari dia merasa mengetahui sifat laki-laki yang dia nikahi.

Sebulan sekali, selama beberapa hari, suaminya pergi ke Jawa Barat untuk mengikuti kuliah beberapa mata pelajaran. Beberapa hari pula pergi ke kota guna mengikuti pertemuan dengan para ahli yang bertanggung jawab atas perkembangan bangunan di sekitar. Setiap kali suami itu bepergian, Warsiah merasakan betapa panjangnya hari, betapa lambatnya waktu berlalu.

Enam bulan telah lewat.

Tempat cadangan air yang dibangun di pinggir desa mendekati penyelesaiannya. Suami yang muda telah menghabiskan masa prakteknya dan harus kembali ke kota tempatnya menuntut pelajaran. Setelah berunding dengan keluarga, mereka sepakat melepaskannya seorang diri. Warsiah menunggu di desa, tinggal di tempat mertua. Sekali sebulan akan dikirim uang tambahan supaya suami yang masih mahasiswa itu dapat datang menengok istri.

***

Waktu berlalu dengan lambat dan berat.

Bagi Warsiah, setiap hari hanya merupakan penungguan surat dan berita. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Segalanya berlangsung dengan baik sebagaimana direncanakan. Bulan yang keempat terjadi musibah gugurnya bayi yang berumur dua bulan. Dari rumah sakit, Warsiah langsung pulang ke rumah orang tuanya sendiri.

Seolah-olah sejak waktu itu dia telah merasakan akan adanya perubahan dalam hubungannya dengan si suami. Padahal yang sebenarnya, dokter menasihatkan agar Warsiah banyak beristirahat. Untuk itu, baginya, rumah orang tua sendiri selalu merupakan tempat yang paling tepat. Karena ibu dan saudara-saudara sekandung selalu lebih mengerti daripada pihak mertua.

Suaminya pulang selama dua hari menunggui Warsiah yang berbaring lemah. Tetapi setelah itu, sebulan berlalu tanpa kunjungan. Surat-surat beruntunan datang mengabarkan kesibukan ujian dan sebagainya. Berita urusan kuliah yang tidak habis-habisnya diterima Warsiah tanpa kecurigaan. Dan ketika waktunya tiba untuk mengajar lagi, ia menemukan sekolahnya kembali dengan gembira. Dia rasakan murid-murid lebih menurut serta mencintainya.

Barangkali selama dia sakit, kelasnya dipegang oleh Kepala Sekolah yang terkenal keras.

Liburan panjang pun tibalah.

Suaminya mengirim surat mengatakan bahwa akan bisa pulang selama sepekan. Kemudian akan kembali lagi ke tempat belajarnya karena mendapat pekerjaan penting bagi kelanjutan kariernya.

Seminggu bersama-sama dalam waktu liburan itu, Warsiah hampir melupakan masa perpisahan yang lalu. Tetapi akhirnya dia harus menginsyafi bahwa suaminya memang masih akan meneruskan kuliah. Perundingan keluarga diperbarui dengan usul barangkali Warsiah akan bisa mengajukan permintaan pindah ke Jawa Barat. Tetapi anehnya justru suaminyalah yang menentang. Karier dan kebiasaan istri tentang daerahnyalah yang selalu ditonjolkan. Katanya lagi, dia tidak akan bisa belajar dengan tenang jika Warsiah selalu mendampinginya.

Demikian sebulan berlalu. Lebaran datang, tapi suami berada di tempat jauh. Bulan-bulan yang lain menyusul tanpa kehadirannya. Surat-surat yang datang pun semakin lama semakin berkurang. Pada waktu Warsiah tidak sabar dan dengan tegas bermaksud tidak akan menulis surat kepada suaminya, orang tuanya atau keluarga cepat-cepat campur tangan.

“Bersekolah di perguruan tinggi tidak mudah. Sabarlah! Kau yang harus menyurati, memberitahukan bagaimana keadaanmu,” kata orang.

“Barangkali dia sakit. Kasihan di rantau orang,” kata lainnya.

Dan hati Warsiah menjadi lumat kembali.

Memang benar. Seandainya suami itu sakit, alangkah merananya. Lalu dalam suratnya yang kemudian, lemah lembut ia menulis dan meminta agar sudi mengirimkan kabar barang sebaris pun. Kalau mungkin malahan datang menjenguk ke desa.

Lima bulan tanpa kabar berita.

Keluarga mertua mulai gelisah bercampur khawatir, marah dan malu terhadap menantunya. Untuk ke sekian kalinya mereka menulis sendiri, di samping menanyakan apakah kiriman-kiriman uang sampai dengan selamat? Ditambah anjuran supaya segera menulis berita sebagaimana layaknya.

Warsiah mengajar di sore hari juga untuk mengisi waktunya yang semakin sukar dihabiskan tanpa merenung. Sepekan tiga kali ke kota untuk belajar bahasa Inggris. Karena akhir-akhir itu merupakan bahasa terpenting setelah bahasa nasional.

Ketika segala upaya surat-menyurat tidak membawa hasil, bapak mertua memutuskan berangkat ke Jawa Barat. Sebagai menantu yang semestinya, Warsiah mengantarkan ke stasiun.

Tetapi dia sendiri tidak mengharapkan sesuatu pun. Dalam dirinya terkandung perasaan yang membisikkan bahwa semuanya telah berakhir. Bahwa satu kesalahan terjadi seperti yang telah dia rasakan sejak semula. Naluri kewanitaan pulalah yang mendorongnya semakin giat bekerja, tekun berusaha mempelajari sesuatu yang baru. Dia mulai menghargai kesendirian yang dialaminya. Pada mulanya, dia bersusah payah menghabiskan malam-malamnya yang panjang dan sedih. Tetapi sejak dua bulan ini, Warsiah merasa lebih tenang. Sedikit demi sedikit, ia mulai berpikir bahwa perkawinannya dengan pemuda tampan itu merupakan masa yang telah lalu. Demikian pula waktu-waktu penungguan yang penuh lamunan serta menyakitkan. Karena memang betul-betul menyakitkan. Warsiah memerlukan masa lebih panjang supaya hal itu bisa sekaligus terhapus. Yang perlu selanjutnya adalah dia merasa lebih ringan supaya tidak lagi merana dalam penungguan.

Seorang perempuan tidak semudah itu benar melepaskan diri dari hari-hari yang lewat. Dengan cerdik Warsiah melipat serta menyembunyikan sinar kecil harapan yang mencuat di bawah sadarnya, yang kadang-kadang muncul mengatasi perasaan-perasaan lain. Tanpa kepastian, dia sendiri tidak mengerti apakah yang dia harapkan. Agar mertua kembali bersama laki-laki itu? Ataukah suatu kesimpulan? Suatu kata akhir kebenaran dan tegas, yang bisa dianggap sebagai titik penutup ketidakpastian?

Baca juga  Pindah Rumah

Bagaimanapun, sepuluh hari kemudian mertua itu kembali. Malamnya, ditemani istri, berkunjung ke rumah keluarga menantu.

Tampak wajahnya muram. Keriput di dahi seakan-akan bertambah dalam. Garis lengkung di bawah mata pun bagaikan jurang yang mengerikan. Dengan terbata-bata dia menceritakan bahwa alamat yang dipergunakan anaknya bukanlah tempat bermukim yang sesungguhnya. Berhari-hari bapak itu mencari rumah anaknya. Akhirnya, dapat bertemu.

Tetapi suami Warsiah telah berumah tangga dengan wanita Priangan serta beranak satu. Konon inilah yang selalu dikhawatirkan ibu mertua. Sebagai seorang ibu dan perempuan, sekali lagi nalurinya berbicara dengan tepat. Selama suaminya menuturkan peristiwa tersebut, dia tak berkata sepatah pun, terisak di pojok tanpa berani menatap mata menantunya.

Warsiah juga berdiam diri.

Akhirnya, bapak itu berkata bahwa bersama istrinya ia merasa malu terhadap Warsiah dan kepada orang sekampung. Karena perkawinan yang disangkanya untuk pertama kali itu, tidak lain dan tidak bukan ternyata yang kedua kalinya. Tidak dikatakan olehnya bagaimana penyelesaian urusan pernikahannya yang pertama dan pernikahan yang kedua.

Lalu kedua besan pun berunding. Dikemukakan hukum agama. Para istri membungkam. Warsiah terdiam mendengarkan pembicaraan tersebut. Di dalam dadanya terasa suatu bongkahan yang keras dan berat. Tetapi matanya tidak berlinang, kering.

***

“Kalau Nak Warsiah bersedia menjadi istri yang kedua, suaminya akan segera pulang dan dapat tinggal beberapa hari di sini. Kebetulan sekarang mendekati waktu senggang di sekolahnya,” kata mertuanya.

Warsiah tidak segera menjawab. Bapaknya menoleh kepadanya. Warsiah sebentar menoleh ke arah ibunya, lalu berkata,

“Telah berbulan-bulan kami tidak hidup bersama. Juga telah berbulan-bulan saya hidup dengan mempergunakan nafkah saya sendiri. Jadi, kalau saya minta cerai, hukum akan membenarkan saya maupun keluarga saya.”

“Warsiah!” seru bapaknya.

“Lebih baik engkau tunggu beberapa hari. Saya tahu, hal ini merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan,” kata bapak mertuanya.

Apakah menjadi istri kedua merupakan pengalaman yang menyenangkan?

Dengan selemah-lembut mungkin Warsiah mengulangi kehendaknya yang sebenarnya. Ibu dan bapaknya sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi begitu kunjungan berakhir, mereka bergantian membujuknya supaya menerima kedudukan sebagai istri kedua. Agar muka dapat diselamatkan dari cemoohan dan ejekan sekampung.

Namun, Warsiah tidak berubah pikiran. Dari semula ada ketidakcocokan dalam pergaulannya bersama pemuda itu. Kemudian dia telah belajar mencintainya, merindukannya.

Jodoh yang selalu disebut-sebut orang sebenarnya hanya ada karena diadakan. Mereka merupakan pasangan yang kebetulan terjalin disebabkan karena berbagai hal dan peristiwa. Dan jika terjadi perpecahan seperti yang dia alami, orang pun akan berseru lagi mencari dalih: karena ia bukan jodohnya! Seorang wanita kebanyakan merasa dirinya sebagai belahan dari lelaki yang menyentuh dan menidurinya. Bagi Warsiah yang tidak mengenal laki-laki lain, suaminya adalah tujuan hidupnya, puncak keberhasilan yang diinginkan oleh keluarga dan dirinya sendiri. Seorang muda tampan sekaligus bernafsu di tempat tidur. Sejenak tubuh Warsiah merasakan aliran listrik. Naluri kebinatangannya tergugah. Tetapi harga dirinya segera menenggelamkannya kembali.

***

Warsiah menyingkapkan kain jendela dan menjenguk ke luar.

Tukang becak yang tinggal tidak jauh dari pondoknya harus datang menjemput sore itu. Ia akan mampir ke rumah seorang rekan di jalan yang menuju ke tempat pertemuan. Bersama-sama menghadiri undangan atau rapat lebih menyenangkan daripada seorang diri.

Selama beberapa bulan ia sendiri mengurus permintaan cerainya. Alasan cukup kuat dan terbukti untuk memenangkan haknya. Setelah selesai, dia mengajukan permintaan meneruskan pelajaran ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Pada waktu itu, tata pemerintahan mulai teratur. Di kota-kota besar dibentuk sekolah-sekolah kejuruan yang diarahkan sebagai pengajar Sekolah Lanjutan. Warsiah mengambil pendidikan bahasa Inggris. Dan seperti pada masa silam, ia belajar baik dan selalu berhasil pada waktu ujian.

Juga seperti pada masa yang lalu, kawan wanita dan pengagum lelaki pun tidak pernah kosong dari sampingnya. Sekarang dia mempergunakan nama bapaknya di belakang nama Nyonya Warsiah. Oleh sebutan itu, dia sering kali merasa dijauhi atau bahkan didekati, tergantung apa maksud sebenarnya pihak laki-laki yang mengenalnya.

Sebagian menganggap tambahan “Nyonya” sebagai tanda keamanan. Namun, seketika mereka mengetahui bahwa Warsiah janda, beberapa di antara mereka berubah sikap. Seakan-akan itu menjadi merek, tanda mutu dagangan. Seorang wanita yang pernah bercerai dianggap mempunyai cela atau cacat, sehingga patut dijauhi. Janda karena perceraian lain mutunya dari janda yang ditinggal mati suami. Warsiah dengan sabar menanggung akibat sikap dan pandangan lingkungannya.

Sekali lagi, dia menyibukkan diri menggali ilmu dan mendekati kaum muda yang dia didik.

Bagaimanapun juga, ia tetap manusia biasa. Dia merasa peka terhadap perbedaan tanggapan rekan, baik lelaki maupun wanita kepada dirinya. Semakin hari semakin dia merasakan kekurangannya bergaul dengan orang-orang muda sebayanya. Umurnya baru dua puluh lima tahun. Tetapi yang dia erati kebanyakan keluarga yang lebih tua. Pada waktu tamasya serta pertemuan, Warsiah berkesempatan berkenalan dengan pemuda-pemudi teman baru. Meskipun dia akan kembali ke pengalaman lama, untuk beberapa saat dia bersenang hati merasakan pergaulan tanpa pamrih yang bebas dan berudara cerah. Pemuda lebih memilih berdekatan dengan wanita yang tidak mempunyai sebutan “Nyonya” di depan namanya. Orang semakin mabuk menuliskan gelar dan tingkat kesarjanaan yang dimilikinya. Sedangkan Warsiah dengan jujur mencantumkan kata “Nyonya” dalam ijazah dan surat-surat resmi lainnya. Justru itu dianggap sebagai momok yang menakutkan para lelaki muda.

Setiap kali, segalanya berulang. Setiap kali, harapan Warsiah menipis. Tidakkah hadir di luasan negeri ini seorang laki-laki muda yang sudi memperhatikan dia sebagai wanita muda pula, yang mengajak dia keluar menonton atau makan di restoran secara wajar?

Warsiah wanita muda yang oleh suatu kesalahan ataupun kemalangan nasib, tergantung dari segi mana orang memandang, telah memasuki dunia perkawinan dan kehilangan keperawanan. Yang terakhir ini pun dengan “pertolongan” seorang laki-laki!

Warsiah tidak berhenti tetap mengharap.

Setiap kali ada pertemuan serta perhelatan, dengan rapi dan teliti ia berdandan. Kekenesan wanita merupakan satu di antara daya tarik yang dapat diandalkan.

***

Suara dering bel becak terdengar dari depan pondokan. ***

.

.

Catatan kaki

[1] Daniris = udan riris, motif hujan gerimis dalam batik

.

.

Cerpen Janda Muda ditulis NH Dini sekitar tahun 1970-an untuk merekam betapa sikap umum masyarakat terhadap kaum janda. Di kemudian hari dikembangkan lagi di dalam novelnya Jalan Bandungan (1989).

.
Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda. Janda Muda.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!