Cerpen Idrus Ismail (Kompas, 15 Juni 1971)
TIAP mulut tiba-tiba terkatup dan setelah sejenak menyimak, semua kepala berpaling mengikuti arah mata pemilik warung. Dari sana terdengar derap kuda yang makin mendekat juga.
Lelaki itu duduk di punggung kudanya dengan kedua tangannya bertelekan pada kuduk tunggangannya. Matanya kuyu dan menyipit mengutarakan kelelahan dan kantuknya. Sekaligus membayangkan kecurigaannya. Bola matanya bergerak dari kiri ke kanan memandang isi warung itu berurutan, seperti tidak satu benda kecil pun dibiarkannya lepas dari pengamatannya. Mukanya agak terangkat, tetapi kepalanya tidak bergerak sedikit pun. Tiap mata yang tertatap segera mengalihkan pandang. Tetapi, di dinding yang berada di hadapan muka mereka, di asap rokok yang mereka embuskan di permukaan air kopo dalam mangkuk, di tengah piring nasi, di atas juadah dan di bukit-bukit di kejauhan terbayang sosok lelaki yang baru saja dihindarkan oleh mata mereka: muda, rambutnya yang ikal tersembul keluar di celah bawah kopiahnya, mukanya yang lusuh berdebu serta berkeringat diperas terik matahari, sarungnya terselempang dari pundaknya, di pinggangnya tergantung parangnya yang hulunya terbuat dari tanduk serta sarungnya yang lebar dari kayu tua semuanya bertatah pertanda barang kesayangan. Kudanya menyembur-nyembur mengembuskan kelelahan dan dahaga, surainya basah dan pinggangnya mengilat oleh keringat. Dari mulutnya menetes lendir putih berbuih. Butiran-butiran keringat membuat jalur-jalur memandang lebar leher binatang itu. Kaki depannya yang sebelah kanan mengais-ngais tanah membayangkan nafsunya dan debu beterbangan karenanya. Pengiringnya seorang lelaki setengah baya yang pinggangnya digantungi parang panjang segera turun dari kudanya.
Sudah dua hari dalam kesibukan hidup sehari-hari mereka, orang-orang di warung itu dikejar pemastian keyakinan warga desa itu: lelaki muda itu mesti datang, siapa pun namanya, bagaimanapun wajahnya, apa pun darahnya. Saudara perempuan selalu bisa berubah jadi kayu kering yang mudah dijilat api. Tidak pun saudara seibu-sebapak, hati saudara si nenek pun bisa menyala karenanya. Sekali pun mereka sesalkan juga mengapa awal kejadian yang mereka bayangkan akan berupa ini harus terjadi. Dan, sekarang datanglah dia.
Lelaki itu melemparkan dirinya turun. Ia berdiri dengan membelakangi warung melayangkan pandangnya jauh ke bukit-bukit gersang yang kelabu, bagian-bagiannya yang menghadap ke arah lintasan matahari berwarna lebih muda dari bagian-bagiannya yang tegak. Musim kemarau sedang berada di puncaknya dan angin kering menggosok gundukan-gundukan tanah itu seolah untuk memperlihatkan keaslian bebatuannya. Di pedataran debu beterbangan dan melayang seperti awan tipis lalu menempel pada sisa daun pepohonan yang meranggas seperti hendak menyembunyikan warna asli dedaunan itu. Kadang-kadang awan itu meliuk-liuk meninggi seperti uap periuk di atas tungku yang dibuka tutupnya tiba-tiba, membawa daun-daun kering membumbung lalu tiba-tiba berhamburan. Semua rumah desa itu seperti hinggap berjajar membentuk sebuah jalan yang membelahnya. Beberapa anak kecil kelihatan bermain di kejauhan, ayam-ayam dan kambing berkeliaran. Terik matahari telah menghalau apa saja. Hanya tiga empat kuda saja berada di kolong-kolong rumah. Kuda pacuan. Yang lain tentunya masih ada di padang, pikir lelaki itu. Matahari sedang berada di puncak lintasannya. Seekor anjing kurus lalu di depannya. Langgar berada di arah sebelah kanannya, di deretan yang menghadapinya. Runah pertama di sebelah kiri langgar itu, ulangnya dalam hati. Keterangan itu didapatnya dari anak gembala yang dijumpainya di jalan.
Diikuti pengiringnya, lelaki itu masuk ke dalam warung. Dipilihnya tempat di sudut dan duduk menghadap keluar. Dimintanya nasi dua piring dan kopi.
***
WARUNG jadi hening. Suasana tiba-tiba kehilangan keramahannya, senda-gurau dan tertawa. Kotek ayam di kejauhan menderanya lebih dalam. Orang-orang yang minta tambahan kopi hanya menyodorkan mangkuknya, tetapi sekali-sekali mereka mencuri pandang ke arah lelaki itu yang makan dengan berdiam diri. Tidak seorang pun beranjak dan mereka kunyah juadah tanpa nafsu. Pemilik warung jadi sibuk didesak kegugupannya sendiri. Semuanya dipaku keinginan tahu sekalipun seorang dua dari mereka mulai berpikir: Mengapa pula si Jake begitu nekat dan apa pula kekurangan gadis-gadis desa mereka?
Dua hari yang lalu pagi-pagi sekali Jake memasuki lawang seketeng desa dengan kudanya. Dekat di belakangnya kuda lain ditunggangi seorang gadis. Mereka segera tahu apa yang telah terjadi. Jake langsung membawa gadis itu ke rumah penghulu. Sampai hari itu anak perempuan itu belum turun dari sana. Wajahnya mirip sekali dengan lelaki muda yang sekarang berada di hadapan mereka. Mereka telah menduga bahwa dia akan datang. Tetapi, munculnya di luar dari persangkaan mereka. Lelaki muda itu tidak menyelinap di gelap malam lalu bersembunyi di rumpun bambu menunggu Jake turun ke kali subuh hari untuk mengajukan tantangannya kepada pelempar aib ke wajah keluarganya untuk mencegat Jake pulang dari lubuk ketika matahari terbenam. Ia tidak langsung ke rumah penghulu dan berteriak memanggil Jake turun untuk menghadapinya. Rupanya ia juga tidak mau menunggu sampai dua tiga hari di tangga rumah itu yang cuma akan membuatnya kesal dan menetakkan parang ke tiang dan tangga rumah orang yang tidak bersalah. Dan, ini yang memberatkan langkah mereka untuk tidak beranjak dari sana.
Lepas makan lelaki muda itu mengeluarkan daun nipahnya dan melinting rokok sebatang. Sesudah tiga kali sedotan panjang dikatakannya sesuatu kepada pengiringnya Orangtua itu segera membenahi sarung dan kopiahnya kemudian ikatan parangnya. Setelah memperbaiki tambatan kudanya ditinggalkannya tempat itu.
Sambil mengisap rokok daun nipah yang berada di tangan kanannya lelaki muda mengetuk-ngetukkan jari tangan kirinya ke atas daun meja. Semuanya menanti dan menanti. Mata, telinga, mulut, rasa, dan semua suara kecuali ketikan itu. Karena itu, waktu jadi terasa terulur. Dengan merayap ketukan yang mulanya berantara panjang itu makin menyempit dan tersimak makin keras. Lalu pada kecepatannya berdiri di ambang pintu warung. Mukanya tidak cerah seperti juga matanya tidak bersinar.
Kedongkolan terbayang pada tulang geraham lelaki muda itu dan tinjunya yang terkepal. Apa isi genggaman yang dijulurkan pengiringnya orang semua sudah tahu: semua perhiasan yang melekat di badan saudara perempuannya ketika meninggalkan rumah orangtua mereka.
Lelaki muda itu tergesa-gesa mengisap rokoknya beberapa sedotan kemudian lama ditatapnya ujung roknya yang terbakar. Lalu tiba-tiba rokok yang masih sejengkal itu dibantingnya ke bawah meja. Pengiringnya pergi lagi.
Lelaki muda itu melemparkan pandangannya ke bukit-bukit di arah matahari bertolak. Dan, waktu pun merayap lagi. Helaan napas panjang jelas terdengar seperti juga gerak-gerak yang tergeser ke bangku atau meja. Tidak seorang pun beranjang. Getaran sayap capung yang terbang seolah mengajak telinga kuda bertanda tertangkap oleh penyimak yang mencari sasaran perhatian. Merah seperti darah, hijau, kuning warnanya.
Tiba-tiba lelaki muda itu tersentak dan dengan sigap cepat meraba hulu tubuh lelaki dan seorang gadis menempel di sisinya. Jake berdiri di sana dengan mata redup seperti permukaan air lubuk, tidak terusik, mengenakan sarung dan kopiah seperti orang yang baru turun dari langgar. Lengan-lengannya tergantung kosong dan di pinggangnya tidak melekat parang.
Tiap urat darah jadi kaku, seolah menyiapkan kaki-kaki dan tangan yang dijalarinya untuk tangkas bergerak, tiap mata jadi nyalang dan liar. Semua suara tiba-tiba lenyap. Di satu pihak mereka melihat mata anjing pemburu yang meronta-ronta melihat mangsa karena selama beberapa hari dipaksa puasa, di pihak lain mata anak kijang yang belum kenal bahaya: tikus yang masih merah mengantarkan diri ke kuku-kuku kucing yang siap menerkamnya. Ujung tombak melayang sudah dekat ke sasarannya, orang memanjat kelapa sudah dekat ke buahnya.
Lelaki muda itu meletakkan sejumlah uang ke atas meja kemudian dengan garangnya berjalan ke luar. Di pintu ia berdiri. Dipandangnya Jake dengan tajam. Kakinya meregang dan tinjunya mengepal. Semut akan segera mati di bawah ibu jari. Jake berdiri di sana dengan tenang, hanya anak gadis itu jadi gelisah dan makin merapatkan diri.
Tiba-tiba lelaki muda itu meludah. Paksaan dan dendam terasa dalam suaranya. Direnggutnya tambatan kekang kudanya lalu dilemparkannya badannya ke atas tunggangannya itu. Dalam waktu seperantara kedipan mata ia sudah memacu pergi.
Pasangan di depan warung itu kemudian pergi membawa tangis pengantin perempuan yang menyembunyikan mukanya ke lengan suaminya.
Pemilik warung mengembuskan helaan napasnya. Mereka tetap berdiam diri sampai beberapa lama. ***
.
,
Idrus Ismail (1937-1999), selain menulis, juga berkarier di Angkatan Udara Republik Indonesia. Terakhir menjadi redaktur majalah Angkasa. Lulusan Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada ini berpangkat Letnan Kolonel TNI AU.
.
Debu Beterbangan. Debu Beterbangan. Debu Beterbangan.
Leave a Reply