Cerpen Achmad Rohani Renhoran (Radar Banyuwangi, 01 April 2023)
TAHUN-TAHUN subur mulai masuk ke Dukuh Miring. Para petani bersukacita menyambut masa panen raya pertama. Sawah menguning semua, laiknya emas. Kerbau, kambing, hewan ternak lain terus bersenandung di dalam kandang.
Di kaki Gunung Merapi, warga yang masih memeluk agama tanah, berdedai-dedai menuruni bukit, masuk ke hutan untuk melakukan ritual pemujaan. Wujud rasa terima kasih kepada ruh yang mahakuasa, yang bermurah hati memberi mereka nikmat kecukupan pangan. Ruh yang sejak lama mendiami alam sekitar, bersemayam di tanah, batu, aliran air, dan pohon-pohon berumur ratusan tahun yang senantiasa menjaga pedukuhan.
Simbol dari rasa syukur itu diwujudkan dalam ragam sesaji, tertata rapi di atas wadah penampi yang dibawa tiga gadis belia. Di tengah hutan nan perdu, tempat biasa mereka melakukan upacara, asap kemenyan merayap lewati sela-sela rimbun rerumputan, lalu kelindan ke seluruh penjuru. Cuaca memang sedang bersahabat. Tidak terlalu terik. Dalam suasana berbahagia itu, tampak seorang resi memimpin upacara dengan khidmat. Ayat-ayat ibu begitu syahdu ia rapal. “Terpujilah tuhan bumi, tuhan matahari, tuhan air, tuhan hujan, tuhan kesuburan!” teriaknya.
Lain dari situ, segala jenis makanan ada di sana, bisa disantap setelah upacara. Warga Dukuh Miring terkenal murah hati, tidak pelit berbagi. Meskipun hidupnya melarat, makan sehari sekali, namun solidaritas antarsesama wong cilik tetap terjaga. Dulu, jauh sebelum masa panen raya ada, warga hanya bisa makan makanan daur ulang, seperti nasi aking dan lauk yang dipanaskan beberapa kali, setiap hari.
Namun, keadaan berubah setelah Juragan Karto masuk ke pedukuhan. Juragan Karto sangat kaya. Ia punya pabrik tembakau dan punya banyak sawah juga. Dengan uangnya yang banyak itu, ia dengan mudah berhasil menjadikan Dukuh Miring sebagai desa pertanian yang makmur. Warga tak sungkan meminjam uang padanya. Sampai usaha mereka berkembang. Bisnis pinjam-meminjam uang itulah kelak yang membuat ekonomi warga berubah stabil. Berkat budi baiknya itulah, warga lantas membuat hari khusus untuk mengenang kebaikan sang juragan. Pesta panen tentu juga merupakan satu penghormatan untuknya.
Juragan Karto datang bak Dewi Sri, bahkan beredar mitos pula bahwa setiap tanah yang dijejaki kakinya pastilah akan ditumbuhi bunga-bunga. Ia gagah. Padahal usianya sudah hampir lima puluh. Namun, masih terlihat tampan. Dadanya busung, tegap serta mempunyai sorot mata yang runcing. Begitu ia sampai di tempat jalannya upacara, semua orang gegas berseru melantunkan pujian kepadanya.
“Panjang umur Juragan Karto, panjang umur pemimpin kami!”
Suasana semakin meriah, gelak tawa, dan senda gurau menghiasi acara. Pak Resi dan para warga menyambut kedatangan Juragan Karto dengan penuh penghormatan. Istri Pak Resi kemudian mengalungkan bunga di leher juragan, disertai pula dengan doa-doa.
Upacara berjalan lancar, lalu berlanjut dengan pesta rakyat, pagelaran seni yang dipersembahkan oleh pemuda-pemudi. Malam itu adalah malam panjang bagi sebuah dukuh kecil di kaki Merapi. Malam yang ditemani bulan kuning lesih serta angin yang mendesis pelan pada selaput kulit. Mereka berpesta hingga pagi. Sinar mentari dan kokok ayamlah yang akhirnya mengantar orang-orang kembali ke peraduannya masing-masing.
Tapi semua berubah nahas seketika. Belum genap seminggu usia perayaan itu, pedukuhan dibuat geger oleh kebakaran besar yang melanda lumbung beras hingga kandang ternak. Banyak hewan mengamuk. Sapi, kerbau, kambing, celeng, dan anjing mendadak terlepas dari kandang dan tiba-tiba menghantam rumah penduduk. Ada kobaran api yang menyala-nyala di mata kawanan hewan itu. Seperti dirasuki ruh jahat. Mereka menyerang membabi buta siapa saja yang ada di depan. Suasana pedukuhan semakin gaduh. Tidak ada yang bisa menghentikan amukan kawanan hewan itu. Warga lantas melaporkan bencana itu kepada Juragan Karto.
“Hewan-hewan itu sudah banyak memakan korban, Gan. Kita harus ambil tindakan segera!” keluh warga.
“Pergilah ke orang sakti itu. Ki Sapto. Cuma dia yang bisa menolong kita, saya kira,” titah juragan.
Ki Sapto kemudian meminta benda paling berharga yang dimiliki Juragan Karto. Ia berdalih, dengan karisma Juragan Karto yang melekat pada benda itu, Ki Sapto mampu menaklukkan serangan iblis. Menyelamatkan hewan ternak warga, utamanya.
“Berikan arit kesayanganmu padaku, Karto! Karismamu yang manunggal pada arit itu akan membantuku membereskan semua,” tegas Ki Sapto.
“Baiklah. Ambil arit ini dan selesaikan masalah di kampung kami, Ki.”
Akhirnya, dengan berbekal arit titipan Juragan Karto serta kebiasaannya menggembala ternak, Ki Sapto membantu pemuda membabat tanaman liar untuk membuka jalur evakuasi warga, kemudian menggiring semua ternak itu kembali ke kandang, meski beberapa kali harus terlibat dalam duel hebat dengan dua ekor kebo gede yang lumayan menguras tenaga. Sedangkan para pemuda desa bahu-membahu memadamkan kebakaran. Malam itu, Ki Sapto menjelma seketika bak pahlawan warga. Mereka berulang kali mengucap terima kasih padanya.
Keadaan akhirnya mulai kembali tenang, api mulai padam, warga mulai lega, badai baru saja berlalu. Hanya saja mereka terus bertanya-tanya, angin apa yang menyebabkan malapetaka itu? Benarkah ada orang yang punya niat jahat kepada warga pedukuhan?
Usut punya usut, telah didapat informasi dari para saksi, bahwa kebakaran itu berawal dari asap sebuah puntung cerutu bermerek Gurkha yang dibuang di sekitar lumbung. Tapi siapa pemilik benda itu sebenarnya? Penduduk Dukuh Miring miskin semua, mustahil mereka membeli jenis cerutu mahal macam itu.
“Siapa lagi kalau bukan si juragan! Dia itu suka mengoleksi barang mahal macam minuman keras dan cerutu,” teriak Tresna, ketua pemuda Dukuh Miring.
“Ah, mana mungkin,” bantah yang lain.
“Ya sudah, coba kau kelilingi rumah warga satu per satu dan buktikan kalau betul ada yang punya cerutu macam itu selain Pak Juragan!” Tresna kembali berkilah.
“Tapi, apa alasannya juragan membakar dukuh kita?”
Suasana mulai hening. Warga terbagi ke dalam dua kelompok. Sebagian masih bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa juraganlah pelakunya. Sedangkan, sebagian besar yang lain tetap mengamini perkataan Tresna tanpa memedulikan alasan yang dipertanyakan sebelumnya. Mereka gelap mata.
Sejurus kemudian, kelompok warga yang menuduh si juragan sebagai pelaku utama, kemudian bergerak menemui Juragan Karto dan meminta pertanggungjawaban darinya. Sungguh nahas, ternyata Ki Sapto juga ikut-ikutan mendukung mereka. Ia bahkan turut bergabung dengan kelompok massa yang menuju ke rumah Juragan Karto.
Setibanya di rumah juragan, tanpa berpikir panjang, tanpa kata-kata, arit pemberian Juragan Karto tempo hari, dengan dingin Ki Sapto tancapkan ke tubuh sang empunya. Arit itu menembus dada dan bersarang di jantung juragan Karto. Pemimpin yang gagah itu lunglai, raganya rubuh, jatuh menghunjam tanah. Matanya terus memandangi warga. Tatapan yang penuh arti. Ia mati oleh senjatanya sendiri, oleh orang kepercayaannya, dan oleh orang-orang pedukuhan. Hanya karena luka semalam, kebaikan Juragan Karto yang berlimpah dilupakan begitu saja. Mereka lupa akan jasa Juragan Karto dalam pesta panen tempo hari. Ia diadili tanpa bukti, tanpa proses persidangan.
Jasad Juragan Karto yang bersimbah darah itu diseret ke tengah desa. Darahnya tempias ke sawah di pinggir jalan dan seketika yang menguning berubah merah. Selang beberapa waktu setelah Juragan Karto dimakamkan sekadarnya, terdengar suara Tresna dari dalam kerumunan, dengan lantang ia berteriak memuja keberanian Ki Sapto. Lalu semua warga yang ada di sana pun ikut bersorak serentak di depan pusara Juragan Karto, di pinggir sawah yang hasil buminya baru saja dipanen beberapa hari lalu.
“Panjang umur Ki Sapto, panjang umur pemimpin kami yang baru!” teriak mereka.
***
Sementara itu di tempat lain, tampak seekor anjing sedang mengais tumpukan sampah di mayoran depan rumah. Di antara daun kering dan sisa makanan, tampak banyak sekali puntung cerutu merek Gurkha di sana. Tak berselang lama, istri Pak Resi muncul dari dalam rumah dan gegas mengusir anjing itu. Sedangkan di dalam kamar rumah itu, terlihat Ki Sapto sedang tidur bertelanjang dada.
“Huuss… minggat koe, dasar asu!” usir istri Pak Resi. ***
.
.
Sleman, 11 Maret 2023
Achmad Rohani Renhoran, penulis dan dosen di FST Universitas Ingratubun Kota Tual, Maluku. Kumpulan cerpennya Ketika Tuhan Dikhianati terbit pada Agustus 2017. Saat ini ia tengah melanjutkan studi di Makassar dan aktif sebagai pegiat Taman Bacaan Nuhu Evav (TBNE) dan Dapoer Literasi Kota Tual.
.
Pesta Panen Warga Dukuh Miring. Pesta Panen Warga Dukuh Miring. Pesta Panen Warga Dukuh Miring.
Leave a Reply