Cerpen Ecep Yuli Sukmara (Pikiran Rakyat, 11 November 2023)
ANAK muda dekil itu baru tersadarkan bahwa Karna itulah namanya. Nama yang diingatkan oleh seorang kakek berjuluk Abah. Orang tua uzur yang selalu terkekeh dalam sakit-sakitan serta lapuk usianya. Seorang sepuh yang ternyata satu dusun dengannya dan lebih dahulu memilih emper kota besar ini sebagai pelarian sekaligus tempat kepulangannya.
Ia mendengus berat ketika mengaduk bak sampah, sepoi angin ujung siang terasa mengiris telapak kakinya yang telanjang menampakkan borok amis, meski awalnya terbungkuskan sepatu kumal nan menganga, robek sana-sini, perih menelisik ke lutut dan betis. Lacur yang didapatinya hanya sekerat roti basi. Entah itu kue berjamur.
Angannya mengendap seperti buntalan embun di seberang tatap nanarnya. Menembus bayangan lalu-lalang kendaraan dan para pejalan kaki. Sepasang mata basahnya menerawang ke tahun kemarin, menatap hamparan kampung halaman yang porak poranda dihantam badai air bah, kala ia tengah mengais rezeki lengkap dengan kail dan jala menuju hilir dusun. Ketika hampir di muara sungai, didapatinya ombak-ombak kecil memerah keruh lalu lambat-laun menebal kecoklatan.
Sesuatu yang buruk telah terjadi di hulu sana. Ia terhenyak dengan perasaan khawatir setengah mati. Ia membalikkan tubuh, melempar segala apa yang ada di genggamannya. Namun baru beberapa depa, langkahnya terhenti memacak. Tatkala terdengar teriakan orang-orang ketakutan. Jerit getir dan tangis menyayat membuat isi kepalanya seakan hendak ambrol.
“Banjir bandang! Longsor, longsor Dusun Hujungriung amblas!” Masih terngiang kembali jerit kepanikan orang-orang. Ia bertekuk lutut, lalu terkulai serasa tercerabut segala tenaga. Dalam kesendiriannya tak ada kekuatan yang menempel kecuali sedu sedan.
Berita bencana itu merebak seiring curah hujan mengguyur tiada henti hingga mentari bergulir meredup memberi ruang celah-celah awan menebar gerimis. Ia menggigil melekatkan jaket dekilnya. Kepal tangannya merogoh ke dalam kantong celana; tak ada apa-apa, jangankan lembar uang seserpih kancing pun luput.
Tampak hanya dirinyalah yang masih terjaga, terlihat olehnya orang-orang tertidur dengan melipatkan kedua tangan pada kedua lutut kakinya yang ditekukan.
Cara yang sama ia lakukan untuk mengurangi cengkraman dingin malam. Meskipun hanya beralaskan kardus, berselimut kain kumal mereka tetap lelap seiring alunan dengkuran sahut-menyahut bak orkestra malam.
Kini hujan berubah lebat menjarum dengan bentakan-bentakan guntur memekakkan telinga. Ia kembali menekukkan tubuh merasakan gumpalan dingin dan lelah tiada ampun.
“Ada yang salah dengan dusunku? Ketika kurasakan bencana besar tiba-tiba merubah segalanya. Kata ayah, kata kakek juga kata para tetua di sana; mengapa pula dusunku terlalu rapuh menghadapi badai padahal ratusan tahun sebelumnya mampu bertahan?”
Meracau dan bertanya entah pada siapa, Mungkin pada titik-titik air. Atau pada lenguhan seseorang yang terbaring di ujung emper kedai reot sebrang jalan. Sebagaimana dirinya.
Ia belum genap di usia lima belas tahun ketika segalanya telah tiada, cinta dan kasih sayang keluarga. Mereka terkubur. Roti terbungkuskan plastik berembun itu seakan menampakkan bayangan adik-adiknya yang kerap berebut makanan kecil di saat awal malam menyapa.
Tangis-tawa mereka berkelebat memenuhi rongga kepedihan. Bayangan ribuan kubik urugan tebing mengubur rata lembah dusun berikut seluruh penghuninya.
Dengan telapak tangan, ia tutupi sepasang telinganya kuat-kuat. Berharap kegetiran itu sesegera mungkin raib. Hujan mereda, namun gulita perut malam kian menelusup menjelma selimut gigil. Kembali angannya beringsut mundur. Di barak pengungsian bersama puluhan anak muda sebayanya ia didera kegetiran bertubi-tubi. Mengapa aku tidak sekalian terkubur di dasar dusun tercinta, rengek bibirnya pula.
Air mata tak jua mengering manakala berita dari tim SAR diputuskan pencarian korban timbunan lumpur pekat serempak dihentikan atas nama kesulitan medan. Ia hanya mampu meratapi hamparan merah pusara raksasa di sekelilingnya. Dalam buaian kegetiran ketika di pagi buta ia keluar dari barak pengungsian untuk berjalan menyusuri tepian bukit.
Tak seorang pun yang tahu, hanya ingin melepaskan buncahan duka-lara. Ia terus berjalan mengikuti arah mata angin. Ia ingin mengadu nasib, merubah nestapa kehilangan orang-orang yang dicintainya.
“Hai! Bisakah kau berdiri dan berjalan ke atas bak mobil itu?” Seseorang berjongkok membuyarkan lamunannya. Berseragam warna coklat, bertopi lengkap dengan sepatu botnya.
“Sudahlah tinggalkan saja ia barangkali telah menjadi mayat. Kita angkut besok siang saja!” Tukas orang satunya lagi dan berlalu beriringan, kembali menghampiri pick up.
“Karna! Kemarilah, Nak!”
Melongoklah ia, diliputi perasaan galau atas nama keterkejutan walau serasa cukup kenal akan suara parau itu. Namun kali ini suara itu seakan geremang tasbih akhir kehidupan. Ya, seseorang yang telah berlipat usia, lagi-lagi ia akrab menjulukinya Abah. Abah sangat perhatian bahkan bukan sekali dua kali kedapatan mencuri-curi tatap ke arahnya dengan wajah menerawang hampa. Abah juga acap kali memberi makanan sisa. Ajakannya sanggup meneduhkan bau mulut umpatan mayat para petugas patroli kepadanya malam itu. Terasa lebih sakit dibandingkan dengan hiruk-pikuk sekumpulan anak-anak kala menyorakinya gelandangan dan memanggil orang gila di setiap untaian siang
“Seperti juga Abah, pasti orang seperti kita dikata-katain gila, kualat atau gelandangan. Yah, begitulah hidup. Karena hidup ini telah memilih kita. Jangan dibalik, kita tak pernah bisa memilih warna hidup dan nuansa kehidupan. Jangankan hidup, dari rahim siapapun, kita tak pernah bisa memilih untuk dilahirkan. Kita ditentukan oleh Sang Penentu.
Dan manakala kau mengeluh, atas apa yang kau dapati, itu pun tak sepenuhnya salah. Tapi, siapakah yang akan membelamu jika kau terus merajuk dan mempertanyakan keadilan? Tidak ada. Tak seorang pun. Oleh karenanya hai anak muda, lebih baik kau nikmati dan kunyah saja kehidupan ini layaknya kita makan secuil roti basi ini, tanpa mempersalahkan siapapun. Abah pun datang ke sini, ke tempat di mana segala sudut-sudutnya penuh dengan kabar dan berita duka sekaligus cengkraman kesombongan.
Dari mulut-mulut lorong udara langit kota ini pula Abah dengar, kini dusun itu telah berubah wajah. Menyebalkan atau rupawankah. Entahlah. Pebukitan di sana yang pasti tanpa rambut itu mungkin berduka atau sebaliknya memendam tawa kemenangan semenjak dieksploitasi orang-orang kota berduit. Kala itu Abah dengan seorang sahabat Abah berusaha meyakinkan mereka akan pentingnya membiarkan pepohonan besar tetap hidup mencakar langit.
Kami berusaha mengingatkan mereka dari ketelanjuran berbuat kemaksiatan, mengurai kemesuman serta kebebasan asusila berdalih agrowisata dan rayuan manis dari para pendatang. Abah dan rekan malah kemudian diusir dengan dalih pembangkang kebijakan penguasa. Namun teman Abah tetap bertahan dengan segala keterpaksaan atas nama cinta keluarga.
Berbeda dengan Abah yang kala itu telah menyendiri. Hingga pada akhirnya Abah mencuri dengar bahwa Husni, Ayahmu sahabat Abah itu, tewas tertimbun.”
Racau Abah, dengan cerocosan mulutnya disertai rentetan batuk setiap habis berujar. Menemani suasana mendayu pilu di keheningan. Tatap matanya seakan tahu apa yang ada di benak Karna.
“Duniaku sudah kiamat, Bah, berbarengan dengan karamnya dusun, demikian juga Ayah, Ibu dan sanak saudaraku. Jika aku mati pun tak akan ada yang menangisi,” tukas Karna lirih.
Abah bertutur lagi kali ini dengan suara mengendur, serak serta batuk yang semakin memburuk. “Bukan saja perusakan pasak-pasak bukit namun keengganan mereka merubah tatanan hidup berlumpur pun adalah pemicu utama, tebing ranah dusun itu murka semurka-murkanya. Abah telah lelah, dan memutuskan untuk segera pulang kampung, lusa, besok atau detik ini. Ada baiknya kau pulang saja untuk kembali membangun dusunmu. Itu pun jikalau kau mau.”
Hening. Tak ada jawaban. Hanya ringkih duka dari segerombolan suara koor serangga malam. Malam kian menukik membentuk serasah basah hanyut. Di pangkuan si anak muda Karna, Kakek berlapis lapuk usia itu, tiba-tiba terlelap sempurna. Lamat-lamat terdengar di telinganya, dengkuran halus menyatu dengan alunan kebekuan bawah tanah.
Ingin ia menjerit sekuat-kuatnya, namun parau di kerongkongan hanyut terbawa lungkang berair pekat. Langit belahan timur mencetak awan putih kekuningan, dua orang petugas membopong Karna. Sedang yang lainnya berjongkokan mengangkat tubuh kaku keatas pick up. ***
.
.
Medallaksanaciparaykabbdg 0923
Ecep Yuli Sukmara, aktif di komunitas penulis Panglawungan 13 Bandung. Cerpennya dalam bahasa Indonesia dan Sunda (carpon) termuat di pelbagai media cetak dan antologi Kumpulan Carita Pondok P13 jilid 1-4 dan Imah Sisi Gawir. Sehari-harinya sebagai guru di SDN Lebakwangi 01, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.
.
Lorong Udara Langit Kota. Lorong Udara Langit Kota. Lorong Udara Langit Kota. Lorong Udara Langit Kota.
Leave a Reply