Cerpen, Pramoedya Ananta Toer

Sunat

Sunat - Cerpen Pramoedya Ananta Toer

Sunat ilustrasi Istimewa

4.4
(7)

Cerpen Pramoedya Ananta Toer

SEBAGAI anak-anak kampung lainnya, kalau malam aku pun datang ke langgar untuk mengaji. Tak ada kesenangan kanak-kanak yang begitu besar daripada di langgar. Untuk dapat mengaji, kami membayar dua setengah sen seminggu guna pembeli minyak pelita. Mengaji ini mulai pada jam setengah enam sore hingga jam sembilan malam. Dan mengaji ini adalah kesempatan satu-satunya buat kami untuk menghindarkan diri dari kewajiban belajar malam.

Apa yang kami namai mengaji itu tidak lain daripada bercanda-canda, berahasia-rahasia mempercakapkan masalah-masalah kejenisan, mengganggu orang yang bersembahyang magrib dan isa, sambil menunggu giliran. Inilah dunia kami di waktu aku berumur sembilan tahun.

Aku—sebagai kawan-kawan yang lain-lain juga—ingin jadi pemeluk agama Islam yang sejati, sekalipun pada waktu itu rata-rata di antara kami belum disunati. Walaupun dalam lapangan keagamaan kerja kami cuma mengganggu orang bersembahyang, meninggalkan pelajaran sekolah, beramai-ramai bersembahyang di mesjid di tiap hari Jumat walaupun tak sepatah pun kami mengerti apa yang kami doakan waktu bersembahyang itu, dan walaupun kami belum disunati, —ya, kami pemeluk agama Islam sejati.

Kemudian salah seorang di antara kawan-kawan disunati. Peralatan besar diadakan. Dan di kala itulah aku berpikir: betulkah aku orang Islam walaupun belum disunati? Dengan diam-dia hal ini kupikirkan. Aku harus jadi pemeluk Islam yang sejati. Tapi mungkinkah ini bila belum disunati? Tapi pikiranku itu tak kukabarkan pada siapa pun juga di dunia ini.

Sudah menjadi kebiasaan di daerah kami di kota kecil Blora anak-anak disunati pada umur delapan sampai tiga belas tahun. Dan biasanya ini dirayakan sebaik-baiknya. Anak-anak perempuan disunati pada umur lima belas hari dengan tiada dirayakan sama sekali.

Pada suatu malam datanglah ayah. Dari mana aku tak tahu. Waktu itu pelita-pelita rumah sudah dipadamkan dan tinggal sebuah saja dinyalakan di tengah-tengah rumah. Aku lihat ayah sedang dalam keadaan gembira. Di kala itu aku sedang mendengarkan dongeng ibu tentang seorang haji yang gila kawin. Sangat mengagumkan dongeng itu. Dan karena kedatangan ayah, dongeng itu pun matilah.

“Nak, engkau sudah berani disunati?” tanya ayah.

Pada mulutnya tergambar senyum minta hati.

Bukan main takutku mendengar tawaran itu. Tapi aku mau jadi orang Islam sejati. Dan selamanya aku takut pada ayahku—ketakutan yang tak kuketahui mengapa. Tapi kali itu, oleh senyum minta hati itu hilanglah semua ketakutanku.

“Berani, ayah!” kataku.

Dan ayah melebarkan senyumnya jadi tertawa yang sangat ramah. “Apa yang kau sukai kalau disunat nanti? Kain atau sarung?”

“Kain, ayah.”

Kemudian ayah menanyai adikku Tato yang berumur tujuh tahun.

“Dan engkau, Tato—beranikah engkau?”

“Tentu, ayah, tentu,” sahut Tato gembira.

Ayah tertawa puas. Nampak dalam cahaya pelita itu giginya yang putih dan gusinya yang merah jambu. Ibu bangun dari kasur yang digelar di lantai.

“Kapan engkau sunatkan mereka?” tanya ibu.

“Secepat mungkin,” ayah berkata.

Kemudian ayah berdiri dan pergi, hilang dalam kegelapan malam, ibu masuk ke dalam kamarnya.

Ibu bertiduran lagi. Tetapi tak diteruskannya ceritanya tentang haji yang gila kawin itu.

“Mamuk, dan engkau Tato, bersyukurlah pada Tuhan karena telah digerakkan hati ayahmu untuk menyunatkan engkau.”

“Ya, Bu,” kami menyahuti.

“Almarhum nenekmu dan nenek-moyang yang lain, yang sudah berbahagia di surga akan sangat bersenanghati bila mengetahui engkau semua sudah disunat.”

“Ya, Bu,” kami menyahuti.

Malam itu susah betul aku bisa tertidur. Kubayangkan kesakitan dipotong yang akan kuderita. Kubayangkan kain, dan sandal yang mungkin dibeli untuk keperluan itu, baju baru, ikat kepala, pici, tidak bersekolah, tamu-tamu yang banyak, hadiah-hadiah yang besar sekali kemungkinan akan kuterima kelak. Alangkah senang bila punya kain dan ikat kepala, karena selain ingin jadi pemeluk agama Islam yang sejati aku pun ingin jadi orang Jawa yang sejati. Dan alangkah senang mendapat sarung, punya sarung dua atau tiga. Nanti kawan-kawan yang belum disunati pasti akan mengiri melihatnya.

Keesokan harinya riang betul aku bangun. Pagi-pagi betul aku dan Tato berangkat ke sekolah. Kaki yang seakan-akan menolak dipakai berjalan ke sekolahan kini terasa ringan. Semua anak murid mendengar belaka. Dan anak-anak yang belum lagi disunati memandangi kami berdua dengan hormatnya, terutama anak-anak yang umurnya lebih tua daripada kami. Tiap pasang mata memandangi kami dengan pandang yang tak pernah kami terima sebelumnya. Juga para guru nampak memanjakan kami dengan pandangnya. Dan sebentar lagi—sebentar lagi kami jadi orang Islam yang betul-betul: orang Islam yang sudah disunati. Dan kemudian lagi—dan inilah yang paling penting di atas segala-galanya—kami mempunyai hak menempati surga seperti yang diajarkan oleh kiai kami. Kalau kami sudah disunati, kami kelak akan hidup senang di surga. Kami, tak perlu lagi pada barang-barang bagus yang kami ingini pada waktu itu, yakni barang-barang yang tak mungkin kami sebut kepunyaan kami.

Baca juga  Tak Ada yang Lebih Hangat.... *)

Di langgar, kabar ini pun disambut dengan kagum oleh kawan-kawan. Pak kiai pun memanjakan kami dengan pandangnya seperti para guru di sekolahan. Dan aku sendiri merasa jadi lebih tinggi dan lebih penting daripada kawan-kawan yang lain. Pintu surga telah nampak-nampak terbuka di depanku. Juga para bidadari yang dijanjikan oleh kiai kami, bidadari yang teramat cantik, yang dalam bayangan otakku cantiknya sama dengan kawan perempuan di sekolahan yang pada waktu itu jadi buah bibir semua murid lelaki.

“Kalau aku sudah disunati, aku jadi orang Islam sejati,” kataku pada kiaiku. “Dan aku punya hak menempati surga.”

Kiai kami tertawa senang dan menyambung: “Engkau akan mendapat bidadari empatpuluh empat orang.”

“Tapi aku tak suka pada bidadari yang teteknya enam atau delapan seperti tetek anjing,” kataku.

Kiai kami tertawa.

“Aku ingin mendapat bidadari yang seperti Sriati, kawan sekolah kami yang cantik.”

Kiai kami tertawa lagi.

“Dan aku akan memancing di kali susu sehari-harian,” kata Tato.

Kiai kami tertawa lagi. Dan giginya yang tak pernah digosok itu nampak terlampau buruk. Dan kawan-kawan kami yang umurnya jauh lebih tua daripada kami dan belum disunati mendengarkan percakapan kami itu dengan diam-diam. Pada mata mereka nampak ketakutan tak kebagian tempat di surga, ketakutan kehabisan bidadari, dan ketakutan mendapat neraka sebagai gantinya.

Sejak sore itulah kami mengaji dengan sungguh-sungguh. Pelajaran sekolah pun kami buru betul-betul. Dan di samping itu aku dan adikku berpuasa senen-kemis hingga tutup tahun pelajaran. Hasil dari semua itu aku naik kelas.

Setengah bulan sebelum tutup tahun pelajaran, ayah merencanakan mengadakan sandiwara yang akan dimainkan oleh anak-anak sekolah sendiri. Dan sandiwara ini diikuti oleh penyunatan pada keesokan harinya. Dan ayah pun merencanakan akan mengadakan ini tiap-tiap tahun dan memberi kesempatan pada kawan-kawannya yang miskin untuk bersama-sama menyunatkan anaknya. Tetapi tak ada sambutan yang memuaskan dari penduduk kota kecil kami. Orang-orang di tempat kami merasa malu bila anaknya sendiri disunatkan oleh orang lain. Jadi untuk percobaan pertama itu hanya enam orang saja yang akan disunati, yakni aku sendiri, Tato, seorang kemenakan ayah yang berumur sepuluh tahun, seorang anak-angkat ayah yang berumur delapan belas tahun dan sudah punya anak dengan babu kami, tak mau disunati. Dia bilang, dia akan disunatkan oleh bapaknya sendiri. Dua orang lagi ialah anak-anak miskin yang tinggalnya di pinggir kota.

Sepanjang yang dapat kuingat, rencana ayah akan membuat perayaan tutup tahun sekolahannya dengan sandiwara dan penyunatan anak-anak miskin itu tak dapat berjalan seperti yang diharapkannya.

Waktu itu aku duduk di kelas empat di sekolahan ayahku sendiri. Dan adikku Tato duduk di kelas dua. Kami berdua naik kelas pada tutup tahun pengajaran itu. Lima hari sebelum diadakan perayaan tutup tahun kami yang akan disunati harus menghafalkan nyanyian panembrama. Kami harus menyanyi di panggung, memperkenalkan kepada khalayak, bahwa keesokan harinya kami akan disunati, dan memohon doa pada khalayak agar penyunatan itu berjalan dengan selamat.

Guru kami telah mengarangkan sebuah sandiwara tentang kambing hilang. Semua yang memainkan ialah murid-murid lelaki.

Maka datanglah hari yang kami harap-harapkan itu. Malam sebelum disunati, aku dan Tato mendapat hadiah sarung sutera dari nenek, sandal perlak dan baju baru dari ibu, cemara dari murid-murid perempuan, delapan buah buku kanak-kanak dalam bahasa Belanda dari ayah sendiri. Hadiah-hadiah itu membuat kami lupa, bahwa kami akan mengalami kesakitan pada keesokan harinya.

Baca juga  Dua Cangkir Kopi

Malam itu sekolahan kami penuh-sesak oleh penonton. Makanan dihidangkan, terdiri dari ubi dan kacang rebus, tape, gemblong dan juadah-juadah lainnya. Waktu permainan hampir dimulai, kami yang besok akan disunati berjajar di panggung. Aku berkain dan berikat kepala. Juga Tato, dan anak-anak lainnya telanjang kepala. Berbareng dengan dibukanya layar, gamelan mulai dipukul. Kami membungkuk menghormati hadirin. Aduh, alangkah besar hatiku waktu itu. Aku lihat semua penonton terpikat pada kami yang sedang bernyanyi, menyanyikan perkenalan bahwa besok kami akan disunati. Dan gadis-gadis melihat kami dengan kagum: jejaka akan bertambah enam orang. Selesai bernyanyi, kami membungkuk memberi hormat. Dan penonton menyambut dengan tepuk tangan yang meriah. Kemudian layar pun tutuplah. Lepaslah kami dari kewajiban yang maha berat.

Di kota kami yang kecil itu, jarang sekali ada tontonan. Karena itu sandiwara Kambing Hilang itu dibanjiri oleh penonton dari seluruh sudut kota kami. Ruang sekolahan yang empat kelas banyaknya dan lebar dan luas itu penuh sesak oleh manusia.

Sebentar-sebentar, bila gamelan mati, musik pun menyusulkan suaranya, melagukan lagu-lagu Kembang Kacang, Rose Mary, lagu-lagu koboi, lagu stambul Konstantinopel, dan lagu-lagu kroncong lainnya.

Waktu sandiwara habis, kami yang akan disunati banyak mendapat tepukan pada bahu, —tepukan yang memberanikan hati. Dan itu sangat menggembirakan hati kami. Semalam itu Tato terus saja menyanyi di tempat tidurnya hingga suaranya kian lama kian lemah dan mati. Dia tertidur sudah.

Hari sunat termasuk dalam hari-hari besar di kampung kami, seperti juga halnya dengan hari kelahiran, hari perkawinan, hari kematian dan hari raya. Dan kabar-kabar mengenai itu selamanya cepat sekali melebar ke seluruh kota. Dari mana-mana ibu menerima sumbangan, sekalipun tak ada surat undangan diedarkan. Dan seperti pada hari-hari besar lainnya, kami tidur malam-malam dan bangun pagi-pagi. Pada jam setengah lima pagi, rumah kami sudah sangat ramai. Anak-anak yang akan disunati sudah mandi dan berkain baru, berpici atau berikat kepala. Adik-adikku yang perempuan berpakaian serba baru. Ibu berkain parang rusak baru, berkebaya bordiran berkutubaru yang diterimanya sebagai hadiah dari bibi yang jadi guru sekolah gadis di kota R. Selembar pelangi hijau dikenakannya. Ayah berpakaian pakaian sekolah, yakni kain parang rusak dan baju tutup. Ayah selamanya telanjang kaki. Hanya bila di rumah dia memakai bakiak atau gamparan.

Seperti dijalari penyakit, para tetangga yang dekat-dekat, turut pula bangun pagi, berpakaian serba baru dan berangkat ke sekolahan bersama-sama kami. Sekolahan kami terletak limaratus meter dari rumah kami.

Di sekolahan telah dibangunkan gubuk tempat penyunatan. Dan gubuk itu didindingi dengan kelambu tule. Kami yang akan disunati duduk di barisan kursi dekat pada gubuk itu. Lama-kelamaan orang tua-tua yang akan menghadiri penyunatan itu kian banyak. Anak-anak pun tak ketinggalan merubung gubuk itu. Dan anak-anak perempuan menjauh sedikit. Akhirnya calak pun datang membawa bungkusan saputangan yang berisi tiga buah pisau cukur.

Datanglah seorang orang tua pada kami dan berkata: “Jangan takut. Tak sakit disunati. Rasanya cuma seperti digigit semut merah. Aku dulu tertawa saja disunati.”

Dan banyak lagi suara-suara menyenangkan seperti itu. Tapi betapa jua pun manisnya suara itu, kami tak kuasa menghilangkan kecemasan dan ketakutan kami.

Kemudian datanglah saat disunati itu. Ayah dan bunda yang duduk di kursi besar di tengah-tengah para tamu berdiri dan mendekati gubuk penyunatan. Pada paras mereka nampak kebanggaan dan kebesaran hati.

Mula-mula yang dimasukkan ke dalam gubuk itu ialah anak angkat ayah karena dialah yang tertua di antara kami. Anak angkat ayah yang seorang lagi, yang sudah mempunyai anak, hari itu tak menampakkan dirinya di upacara penyunatan itu. Dan anak-anak yang datang untuk melihat tambah mendekati gubuk itu hingga orang tua-tua terpaksa menghalaukan mereka.

Bukan main takutku pada waktu itu. Tetapi aku ingin jadi orang Islam sejati. Namun ketakutan itu tak juga gampang dihilangkan begitu saja. Terutama waktu calak meneriakkan doa, debaran dadaku bertambah keras lagi rasanya. Sebentar terdengar teriak itu, kakak angkatku itu pun dituntun orang keluar dari gubuk. Jalannya jadi payah. Mukanya pucat. Bibirnya putih. Dan nampak juga dia kehilangan tenaganya. Ia didudukkan di kursinya yang tadi. Dan di antara kedua kakinya ditaruh orang piring tanah berisi abu dapur guna menadahi darah yang masih juga menitik dari kemaluannya.

Baca juga  Yai

Seorang demi seorang masuk ke dalam gubuk itu dan keluar lagi dengan pucatnya, dan dengan jalannya yang tak betul lagi. Kemudian datanglah giliran yang kutunggu-tunggu. Dua-tiga orang memegangi bahuku, seperti takut kalau aku melarikan diri. Dituntunnya aku masuk ke dalam gubuk penyunatan itu. Calak sudah menunggu kedatanganku itu dengan kejamnya. Ya, kejam nampaknya di mataku. Aku didudukkan di kursi dan kepalaku di tengadahkan. Kedua bahuku dipegangi erat-erat, dan sepasang tangan orang tua menekan keningku supaya aku tak bisa menunduk. Di bawahku sudah disediakan orang piring tanah yang diisi abu. Kemudian terasa kemaluanku di raba-raba, akhirnya selaputnya diputar kencang-kencang hingga terasa panas sekali. Dan kemudian daging selaput itu dirantaskan oleh pisau cukur. Aku habis disunati sudah. Sepasang tangan orang tua itu dilepaskan dari keningku. Sekarang kulihat darah bertetesan dari ujung kemaluanku.

“Jangan bergerak dulu,” kata salah seorang di antara mereka.

“Ya, jangan bergerak dulu. Tunggu sampai darah-rantai habis.”

Dan aku lihat darah-rantai—darah kental yang kehitam-hitaman dan seperti benang—jatuh dengan pelannya menghilang dalam abu di piring tanah.

Yang paling akhir sekali ialah Tato, karena dialah yang paling muda di antara kami. Kami didudukkan berjajar. Sebentar-sebentar darah jatuh bertitik di piring tanah. Semua mata memandang kami. Ibu datang padaku dan mencium pipiku. Terasa betul kecintaannya padaku. Dan oleh kecintaan itu menitiklah air-mataku. Juga Tato dicium pada pipinya. Ayah datang dan bilang: “Selamat. Selamat.”

Anak-anak mulai bubar. Dan yang tinggal di ruang kelas enam, tempat kami disunati, hanyalah orang tua-tua. Mereka pun pulanglah seorang demi seorang setelah minta permisi.

Kami yang disunati pulanglah ke rumah berjalan kaki. Hari itu, kami diperlakukan seperti raja-raja. Semua orang yang kami perintah mau belaka mengerjakan perintah itu. Famili dari anak-anak miskin yang disunati dengan kami datang ke rumah membawa ayam dan beras.

“Bagaimana, Muk, adakah engkau merasai perubahan sesudah disunati?”

“Aku senang sekali sekarang, Ibu,” kataku.

“Dan sudahkah engkau merasa jadi orang Islam sejati?” ibu bertanya lagi.

Aku kaget mendengar pertanyaan itu. Dan nyatalah olehku, sesungguhnya aku tak merasai sesuatu perubahan bahwa aku kini jadi orang Islam sejati.

“Aku merasa seperti kemarin dan kemarin dulu. Aku belum merasa jadi orang Islam sejati,” kataku.

“Barangkali sembahyangmu tidak pernah lengkap?” tanyanya.

“Lengkap. Selalu lengkap, Ibu.”

“Kakekmu dulu naik haji. Barangkali kalau engkau naik haji, engkau akan mengalami perubahan—jadi orang Islam sejati.”

“Naik kapal, Bu?” tanya Tato.

“Ya, naik kapal ke negeri Arab,” kata ibu.

“Kalau begitu harus kaya dulu, Bu?” tanyaku.

“Ya,” kata ibu.

Sekaligus hilanglah harapanku untuk jadi orang Islam sejati. Aku insaf akan kemiskinan orangtuaku. Kami tak punya apa-apa untuk mampu naik haji. “Mengapa ayah tak naik haji, Bu?” tanyaku.

“Karena ayahmu miskin, Muk.”

Kami, walaupun keinginan jadi kaya itu ada, tak pernah percaya bahwa pada suatu kali bisa jadi kaya. Sesudah sembuh, tak pernah lagi keinginan akan jadi orang Islam sejati itu datang ke pikiranku. Dorongan kemiskinan itu mematikan cita-cita di kampung kami. Dan lama-kelamaan aku dan Tato pun jadi anak seperti anak-anak kampung lainnya—anak-anak yang segala-galanya yang ada padanya direnggutkan oleh kemiskinan. ***

.

.

Jakarta, iii-1950

.
Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat. Sunat.

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Dendy

    Terimakasih,setelah membaca cerpen P.A Toer ini jadi tahu bagaimana proses Sunat pada periode sebelum tahun 50an dan serba serba-serbi cerita yang menyertainya.

Leave a Reply

error: Content is protected !!