Cerpen, Joni Syahputra, Media Indonesia

Sikerei Terakhir

Sikerei Terakhir - Cerpen Joni Syahputra

Sikerei Terakhir ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

3
(2)

Cerpen Joni Syahputra (Media Indonesia, 03 Desember 2023)

BAJAK Joel terbangun setelah mendengar bunyi alarm. Ia sengaja memasang alarm agar bisa bangun lebih pagi dan tidak telat ke pelabuhan. Ia bergegas ke kamar mandi kemudian buru-buru mengganti pakaian dan segera menuju ke pintu sambil memesan ojek online.

Hari ini hari yang sangat penting baginya, ia harus segera buru-buru ke pelabuhan dan pulang ke kampung halamannya di Siberut, Mentawai. Tentu saat ini puluhan anggota keluarganya sudah menunggu di pelabuhan.

“Saya akan pulang dan harus pulang. Ini sudah menjadi keputusan saya,” gumamnya.

Tidak berapa lama kemudian ia dikejutkan dengan cahaya lampu motor.

“Bang Raimundas?” tanya tukang ojek itu.

“Iya, saya. Cepat sekali datangnya, Pak?” tanya Joel.

“Kebetulan saya lewat di depan, dapat orderan, langsung saya ambil,” ujarnya.

Namanya sebenarnya Raimundas, tetapi sering dipanggil Joel, dan bajak adalah panggilan umum untuk laki-laki di Mentawai.

Joel bergegas ke halaman sambil menyandang sebuah ransel. Tas jinjingnya diberikan ke tukang ojek itu untuk ditaruh di depan.

“Ke Pelabuhan Muara, ya, Bang?” tanya tukang ojek itu memastikan.

“Iya. Cepat, ya, Bang,” jawab Joel singkat.

Pengojek itu hanya menurut tanpa banyak tanya lagi walau terlihat ragu. Ia memacu kendaraannya dengan cepat, mengambil rute melewati Pantai Padang yang masih sepi di pagi hari. Memasuki kawasan Pelabuhan Muara, barulah ia bisa bernapas lega. Kapal tujuan Tua Pjejat terlihat masih bersandar di pelabuhan.

Namun, tidak demikian halnya dengan Joel. Kapal tersebut bukan yang dikejarnya. Ia mengempaskan tasnya ke salah satu kursi warung di pelabuhan itu dan duduk di kursi sebelahnya dengan lemas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kapal tujuan Siberut sudah berangkat satu jam yang lalu. Ia terlambat.

Joel teringat ketika dipanggil ke ruangan kepala sekolah, lima tahun silam. Waktu itu ia merasa cemas. Ini baru pertama sekali ia dipanggil kepala sekolah. “Apakah aku membuat kesalahan?” pikirnya. Beberapa orang temannya menatap dengan penuh selidik. Joel semakin merasa tertekan.

Akan tetapi, baru saja ia masuk ke ruangan kepala sekolah, lelaki berkumis itu langsung menyalami dan memeluknya.

“Selamat, Joel. Selamat, kamu sudah mengharumkan nama sekolah,” ujarnya.

Baca juga  Sembahyang Makan Malam

Kabar gembira yang didengarnya dari kepala sekolah itu seakan tidak bisa dipercayainya. Beberapa orang guru yang mengetahui hal itu ikut menyalami Joel. Joel sangat terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka.

Joel tidak sabar ingin segera mengabarkan berita itu kepada keluarganya. Siang itu juga, ia pulang ke kampungnya di Buttui yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari sekolahnya. Rasa lelah berjalan kaki tidak dirasakannya. Ia baru sampai di kampungnya ketika matahari hampir tenggelam.

Dari sekolahnya ke Buttui bisa ditempuh melalui dua jalur, jalan darat dan sungai. Jika melalui jalur sungai, bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dengan menaiki perahu pompong, perahu sederhana tanpa cadik. Akan tetapi, ongkosnya sangat mahal, sekitar 500 ribu rupiah untuk pulang pergi. Hanya orang-orang tertentu yang mampu membayarnya. Joel belum pernah sekali pun naik perahu itu. Ia selalu memilih berjalan kaki dengan jarak tempuh sekitar empat atau lima jam perjalanan.

Berita kelulusan Joel disambut gembira keluarganya. Tidak hanya keluarga dekat, keluarga jauh pun berdatangan untuk mengucapkan selamat. Mereka berkumpul di rumah Joel, mengucap syukur. Joel menjadi orang pertama di keluarga mereka yang akan kuliah di Kota Padang. Selama ini, belum satu pun dari mereka yang bisa menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Rata-rata dari mereka bahkan hanya tamatan sekolah dasar.

Joel memang pantas mendapatkan semua itu. Berkat semangatnya, perjuangannya, kemauannya yang sangat tinggi, ia berhasil. Setamat SD di kampungnya, Joel mesti melanjutkan ke bangku SMP di Matottonan. Ia mesti menempuh perjalanan kaki satu jam lebih untuk sampai ke sekolahnya. Setamat SMP, ia melanjutkan ke bangku SMA. Satu-satunya SMA yang terdekat berada di pusat kecamatan, Muara Siberut.

“Kita mesti mengadakan syukuran,” ucap ayahnya.

“Ya, kita harus mengadakan pesta,” sambut anggota keluarga yang lain.

Mereka pun mengadakan pesta semalaman, mengundang semua keluarga dan penduduk desa. Malam itu betul-betul menjadi malam yang sangat istimewa untuk keluarga Joel.

Beberapa orang Sikerei dari suku lain juga berdatangan. Mereka menari dengan memakai kabit, pakaian berupa cawat yang terbuat dari kulit kayu. Mereka menari Turuk Uliat Bilou, tarian tradisional Mentawai. Bunyi gajeuma, alat musik Mentawai, berdentang sepanjang malam.

Baca juga  Aku pun Mengerti, Mengapa Rumah Ini Selalu Sepi

Pagi hari, sebelum keluarga mereka kembali ke rumah masing-masing, beberapa orang kerabat berbicara serius dengan ayahnya.

Aman Pauma, ayah Joel, hanya menghela napas panjang setelah pertemuan itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, setelah itu, Aman Pauma selalu terlihat murung walaupun ia selalu berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikannya dari Joel.

Aman Pauma adalah Sikerei yang sangat dihormati di kampung itu. Ia tidak hanya sebagai kepala suku, tetapi juga seorang dukun yang sangat disegani. Kini umurnya sudah semakin larut. Harapannya satu-satunya adalah Joel akan menjadi penerusnya kelak.

Bahkan bukan hanya ayah dan ibunya. Anggota keluarga yang lain juga berharap sangat besar kepada Joel. Setelah Joel menamatkan kuliahnya, mereka berharap ia akan kembali dan menjadi pemimpin di suku mereka.

Selama ini, sudah ada beberapa orang dari kampung lain yang juga kuliah ke Padang. Setelah selesai, mereka kembali. Mereka kembali ke tanah Mentawai. Namun, Aman merasa Joel tidak akan kembali. Putranya akan tinggal selamanya di Kota Padang. Ia bisa menerawang itu. Aman risau, ia seperti akan kehilangan anaknya.

Tekad Joel sendiri sudah bulat. Begitu menamatkan kuliah, ia akan kembali ke kampung halamannya, membangun desanya, menjadi perisai budayanya, menjadi pemimpin di dalam sukunya.

Tekad itu begitu menancap di dalam dadanya. Tahun pertama dan kedua ia masih sangat memegang teguh tekad itu. Tahun ketiga dan keempat, ketika ia sudah mulai bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan, ketika ia sudah mulai terbiasa berdiskusi dari satu tempat ke tempat lain, Joel mulai merasakan dilema.

Kecintaannya yang begitu besar terhadap keluarganya, sukunya, kampungnya, bahkan budayanya sendiri, membuat matanya semakin terbuka. Apakah ia akan kembali ke Buttui, membangun Mentawai dari kampungnya. Ataukah ia justru sebaiknya mencari pekerjaan di kota dan membangun Mentawai dari luar?

Ketika perusahaan-perusahaan kayu dan sawit mulai mengincar hutan-hutan perawan Mentawai, mustahil baginya untuk mempertahankan semua itu jika berjuang dari dalam. Jika ia berada di luar Mentawai, ia akan bisa membangun jaringan dengan berbagai lembaga untuk berjuang bersama. Peluangnya untuk menyelamatkan dan membangun kampungnya akan semakin terbuka lebar.

Joel tidak ingin anak-anak Mentawai di masa depan, anak-anaknya, terus mengalami seperti dirinya dulu, berjalan kaki berkilo-kilometer, menuruni bukit, mendaki gunung, untuk bisa bersekolah. Joel tidak ingin melihat kampungnya tertinggal. Ia mesti berbuat sesuatu dan itu akan didapatkannya jika ia berada di luar Mentawai.

Baca juga  Dari Mana Datangnya Mata

Akan tetapi, bagaimana dengan janjinya? Ia tidak sampai hati mengkhianati kepercayaan ayahnya, ibunya, serta anggota keluarga yang lain. Ia harus pulang ke kampungnya, menjadi pemimpin mereka, menjadi seorang Sikerei, menjadi kebanggaan bagi keluarganya.

“Baik, Ayah. Pesan Ayah akan saya jaga. Harapan besar anggota suku yang ditumpangkan kepada saya akan selalu saya ingat,” janjinya saat itu kepada ayahnya.

Kata-kata itu, janji-janji itu, selalu ingin ia pegang. Janji itu yang kemudian membuat dirinya semakin terbenam ke dalam dilema. Ketika kuliahnya tinggal beberapa bulan lagi, benaknya kian dipusingkan dua pilihan, kembali ke kampung halamannya atau bertahan dan bekerja di Kota Padang.

“Apakah kamu akan meninggalkanku?”

Kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu pun semakin membuat ia tidak bisa tidur berhari-hari. Santi memberikan sebuah pilihan yang teramat berat bagi Joel.

Semakin dekat hari wisuda, semakin berat beban yang dirasakannya. Ia harus mampu mengambil keputusan yang tepat. Keputusan yang akan menentukan masa depannya sepanjang hidup.

Kembali ke kampungnya, ia bisa bekerja menjadi guru atau sekretaris desa, berladang, berkebun, dan menjadi Sikerei yang memimpin anggota sukunya. Atau ia bertahan, bekerja, menikah, dan menetap di Kota Padang, paling tidak ia akan bisa membawa beberapa anggota sukunya untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan lebih baik.

Lamunan Joel buyar ketika sebuah mobil berkali-kali membunyikan klakson. Ia menengok dan bertatap pandang dengan seorang perempuan cantik yang tengah menurunkan kaca jendela mobilnya.

Santi tersenyum. Ia melambaikan tangan, dan Joel masuk ke mobil. Mobil lalu berderu meninggalkan pelabuhan yang mulai sepi, meninggalkan janji yang tidak bisa Joel tepati. ***

.

.

Joni Syahputra. Pemenang II Sayembara Cerpen Media Indonesia 2023.

.
Sikerei Terakhir. Sikerei Terakhir. Sikerei Terakhir. Sikerei Terakhir. Sikerei Terakhir. Sikerei Terakhir.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!