Aliurridha, Cerpen, Jawa Pos

Hiroshi

Hiroshi - Cerpen Aliurridha

Hiroshi ilustrasi Budiono/Jawa Pos

3.8
(5)

Cerpen Aliurridha (Jawa Pos, 16 Desember 2023)

“AKU pernah bercinta dengan orang China, Jepang, Korea—dan semua itu kulakukan dalam satu waktu. Jika suamiku mengetahuinya, dia mungkin akan membunuh semua orang China, Jepang, dan Korea yang dia temui di jalan. Tidak, dia pasti akan membunuh Hiroshi!”

Lagi-lagi perempuan ini melantur. Dia benar-benar jenis manusia paling menyebalkan. Jika saja bukan karena ini mungkin hari terakhirnya, aku sudah meninggalkannya dari tadi. Aku berusaha bersabar dan menahan diriku, lalu kuulangi lagi pertanyaanku.

“Tunggu saja. Kita akan tiba di sana,” balasnya. Kemudian dia kembali melanjutkan ceritanya. Cerita itu tentang lelaki bernama Hiroshi, seseorang yang katanya membuat kisah hidupnya menjadi rumit.

***

“Wah aku tidak menyangka bar ini sekarang dimiliki orang China,” kata Robert saat melihat Hiroshi sedang melayani pelanggan. Robert memang tidak pernah suka dengan orang China. Ia membenci mereka sampai ke sumsum tulang. Ia pernah menjalin sebuah bisnis dengan gangster China. Namun, bisnisnya tidak berjalan lancar.

“Aku bukan orang China, aku orang Korea!” bantah Hiroshi.

Mendadak suasana bar menjadi hening. Para pengunjung langsung memperhatikan Robert dan Hiroshi. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau Hiroshi berani membalas perkataan Robert, seorang pimpinan geng paling berkuasa di kota itu. Melihat gelagat buruk itu, Javier, pemilik bar, segera merangkul Hiroshi membawanya menjauh dari Robert.

Robert menghentikan langkah mereka. “Namamu siapa?” tanyanya.

“Hiroshi.”

“Itu nama China, goblok!” kata Robert menunjuk wajah Hiroshi. Kemudian ia tertawa diikuti oleh anak buahnya yang entah benar-benar menganggap itu lucu atau sekadar takut pada Robert.

“Itu nama Jepang!” bantah Hiroshi. “Apa kamu sebegitu bodohnya sampai tidak bisa membedakan nama Jepang dan China?”

Seketika itu juga orang-orang berhenti tertawa. Semua mata pelanggan bar tertuju ke arah kedua orang itu. Robert tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Baru kali ini ada yang berani membantahnya sekasar itu. Tak ingin kehilangan muka, Robert mengeluarkan belati yang segera ia tempelkan ke leher Hiroshi. Sebuah garis merah muncul di leher Hiroshi.

“Kalau begitu kamu bukan orang Korea.”

“Ayahku orang Jepang, tapi ibuku orang Korea. Aku lahir dan dibesarkan di Korea,” kata Hiroshi lantang.

“Orang China sekarang berani-berani rupanya,” lanjut Robert berolok-olok.

“Kau benar, aku tidak memerlukan belati untuk menakuti orang.”

Robert mendengus kesal. Ia menekan belatinya ke leher Hiroshi lebih dalam. Jika saja Javier tidak menarik dan memisahkan mereka berdua, tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya.

***

“Cerita itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku,” kataku memotong ceritanya. “Tidak bisakah kau langsung saja menjawab pertanyaanku?”

Baca juga  Mata Dibalas Mata

“Kamu ini dari dulu tidak pernah sabar. Kita akan tiba di sana,” katanya mengulang lagi jawaban yang tadi. Kemudian ia melanjutkan lagi ceritanya, dan aku tidak punya pilihan kecuali mendengarkan.

***

Sejak kejadian di bar itu, hubungan Robert dan Hiroshi memanas. Meski Robert tidak melakukan apa pun selain mengejek secara verbal, itu sudah cukup membuat Hiroshi ingin mematahkan batang leher Robert. Jika saja bukan karena hormatnya pada Javier, mungkin Hiroshi benar-benar melakukannya. Hiroshi sudah menganggap Javier seperti kakaknya sendiri. Begitu juga dengan Robert. Ia benar-benar menghormati Javier yang merupakan teman lamanya. Jika tidak ada Javier, mungkin Hiroshi akan dibuatnya menjadi mayat-mayat tak dikenal yang dimasukkan ke dalam karung dan ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Saat itu suasana sedang tegang oleh perang antargeng, dan nyawa manusia tidak lebih berharga dari anjing.

Hubungan Robert dan Hiroshi bagaikan proton bermuatan positif dengan elektron bermuatan negatif yang kerap menghasilkan listrik bertegangan tinggi. Keduanya tak bisa berada dalam sebuah ruangan yang sama tanpa membuat orang-orang di dalam ruangan itu menjadi tegang.

Namun, segalanya berubah sejak kejadian itu.

Di sebuah gang sepi, salah seorang kaki tangan Robert, Mario, dikeroyok oleh lima orang bersenjata pisau dan pemukul bisbol. Mario sudah benar-benar terdesak dan mungkin akan mati jika saja Hiroshi tidak kebetulan lewat dan ikut campur dalam perkelahian itu. Hiroshi yang ahli tiga jenis bela diri; kungfu, karate, dan taekwondo; sukses menyelamatkan Mario dan menghajar kelima anak buah Jony Esmod, saingan bisnis Robert.

Robert yang sangat peduli pada semua anak buahnya segera mendatangi Hiroshi dan berterima kasih atas apa yang ia lakukan pada Mario. Robert pun mengajak Hiroshi untuk bergabung dengan gengnya. Robert benar-benar tertarik untuk memanfaatkan kemampuan bela diri Hiroshi, dan Hiroshi tidak menolak. Tentu saja ia tidak menolak. Tawaran itu membuka peluang untuk dirinya bisa lebih dekat dengan perempuan itu.

***

Aku berpura-pura menguap mendengarkan ceritanya. Begitu melihatku menguap, dia berkata, “Sepertinya kamu butuh kopi.”

“Daripada aku butuh kopi, mungkin kamu lebih butuh istirahat,” balasku. Meski aku kesal dengannya, aku kasihan juga mendengar suara napasnya yang tersengal-sengal seperti nenek-nenek yang dipaksa lari keliling lapangan. Sebentar lagi dia mungkin kehabisan napas. “Bagaimana kalau kamu langsung ke inti cerita dan jawab pertanyaanku.”

“Kita akan tiba di sana,” katanya dengan santainya.

***

Sejak saat itu, hubungan Robert dan Hiroshi lebih dari sekadar rekan bisnis. Robert benar-benar tidak menyangka bisa menyukai Hiroshi setelah berkali-kali berpikir untuk membunuh lelaki lancang itu. Hiroshi pun berpikir hal yang sama. Keduanya jadi sering terlihat bersama. Mereka terlihat akrab seperti saudara beda ibu. Meski begitu, Robert tetap saja memanggil Hiroshi dengan sebutan China. Namun, Hiroshi tidak lagi marah seperti dulu. Ia menerima panggilan itu seperti juga ia menerima nasibnya jatuh cinta pada wanita yang salah.

Baca juga  Camat Kedungsewu

“Anak siapa ini, Rosa?” tanya Robert begitu mendengar istrinya hamil.

“Ini anakmu sayang, anakmu.”

“Jangan bohong!” Robert menodongkan moncong pistolnya ke pelipis Rosa. “Rudalku mungkin besar, tapi isinya kosong!”

Rosa memasang wajah tidak mengerti.

“Aku tidak bisa punya anak, Goblok!”

Rosa tidak menyangka Robert akan mengatakannya. Ia sudah lama curiga kalau Robert mandul. Hampir sepuluh tahun mereka bersama tanpa dikaruniai anak, namun Robert selalu menyangkal dirinya mandul. Meski ia tidak pernah menuduh Rosa secara langsung, gelagatnya seolah menimpakan kesalahan itu pada Rosa, sampai Rosa benar-benar berpikir dirinyalah yang mandul. Seandainya Rosa tahu bukan dirinya yang mandul, tragedi itu mungkin tidak pernah terjadi.

“Jadi, aku tanya sekali lagi, anak siapa di perutmu itu?” kali ini suara Robert lebih keras dan mengancam. Namun, tetap tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Rosa. Wanita itu hanya diam menatap lantai dengan pikiran dipenuhi bayang-bayang kematian. Ia takut mati. Ia juga takut anaknya tidak akan diberi kesempatan mencicipi hidup. Tetapi, dari semua rasa takutnya itu, rasa kesal yang paling mendominasi. Ia benar-benar kesal pada lelaki sialan yang dengan bodohnya menumpahkan spermanya ke saluran peranakannya.

Robert yang gelap mata mungkin telah membunuh Rosa jika saja Hiroshi tidak datang menyelamatkannya dan menembakkan peluru yang menembus kepala belakang Robert.

***

“Aku tidak menyangka Hiroshi benar-benar menembak Robert! Aku pikir dia hanya omong besar ketika mengatakan akan membunuh Robert jika memang diperlukan,” tiba-tiba wanita ini menghentikan ceritanya. Air matanya menghambur keluar. “Aku mencintai Robert, bagaimanapun dia pria baik, dan aku tahu dia juga mencintaiku.”

Kalau kamu mencintainya, kenapa kamu tidur dengan pria lain. Sampai hamil pula!

Aku tidak jadi mengatakan apa yang kupikirkan karena aku tidak ingin membuatnya tambah sedih. Lagi pula aku mulai menikmati ceritanya.

***

“Kamu baik-baik saja?” tanya Hiroshi ketika Rosa terpaku menatap mayat Robert. “Kita harus keluar dari sini, anak buah Robert akan datang. Jika terus di sini, kita pasti mati.”

Saat itu Rosa tahu bahwa tidak ada jalan keluar lagi. Mau lari ke ujung dunia pun anak buah Robert akan memburunya. Di tengah kekalutan itu, tanpa berpikir panjang ia mengambil pistol yang terlepas dari tangan Robert dan melepaskan tembakan yang menembus kepala Hiroshi.

Baca juga  Dia yang telah Kubunuh

Begitu anak buah Robert tiba, Rosa dengan berurai air mata mengatakan kalau anak buah Jony Esmod telah membunuh suaminya dan Hiroshi. Perang pun tak terhindarkan. Rosa berharap kedua geng itu hancur agar ia tidak perlu lagi didera ketakutan setiap saat. Ia tidak pernah menyukai hidup seperti ini, tapi ia tidak bisa memilih, seperti halnya ia tidak bisa memilih pria-pria yang membuatnya jatuh cinta.

Ternyata perang dimenangi oleh anak buah Robert, meski dengan korban yang tidak sedikit. Itu berarti Rosa harus menerima lagi kehidupan yang dibencinya. Bisnis yang telah dibangun Robert mau tidak mau harus dilanjutkan, dan tidak ada yang pantas melanjutkannya selain dirinya, dan Rosa pun tidak sudi orang lain mengambilnya. Rosa kemudian menikahi Mario dan melanjutkan bisnis kotor Robert.

Waktu berlalu. Anak Rosa semakin besar, wajahnya terlihat lebih mirip orang Asia alih-alih Eropa. Tidak sedikit pun ras kaukasia tampak pada si anak, dan itu membuat orang-orang bertanya. “Pertanyaan mereka persis seperti apa yang kamu tanyakan di awal,” katanya.

“Lantas apa jawabanmu, Ibu?” tanyaku.

“Aku pernah bercinta dengan orang China, Jepang, dan Korea. Semuanya kulakukan dalam waktu bersamaan,” jawabnya dengan senyum menjijikkan.

“Sialan!” umpatku kesal. Dia hanya mengulangi apa yang dikatakannya di awal ketika aku bertanya siapa sebenarnya ayahku?

“Kamu kenapa?”

“Ibu lagi-lagi tidak menjawab pertanyaanku.”

“Kamu ini benar-benar bodoh. Melihat sebodoh apa kamu, seharusnya kamu itu anaknya Robert. Tapi, Robert mandul.”

Ibu marah-marah sampai terbatuk-batuk. Aku menatapnya dengan wajah bingung, juga kesal.

“Masak kamu harus disuapi terus-terusan!”

Batuk ibu semakin parah dan tidak berhenti. Sekalinya batuknya berhenti, jantungnya juga ikut berhenti.

Sialan. Sampai akhir pun dia tetap tidak menyebut nama!

Dengan perasaan dongkol, aku menyalakan sebatang rokok. Tepat ketika itu lewat seorang perawat. “Pak, mohon maaf, dilarang merokok di rumah sakit,” kata perawat itu menegurku. “Apalagi di dalam kamar pasien.”

Bukannya mematikan rokok, aku malah mengisapnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Asap mengepul memenuhi kamar rawat ibu. “Tak usah khawatir, pasienmu sudah mati!” kataku kesal. Lalu aku pergi meninggalkan kamar sialan itu. Aku punya bisnis untuk diurus. ***

.

.

Blencong, 2022–2023

Aliurridha. Pengajar bahasa dan sastra Inggris di Universitas Terbuka. Diundang sebagai emerging writer dalam Makassar International Writers Festival 2023. Tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon.

.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!