Cerpen, Media Indonesia, T Agus Khaidir

Ihwal Kebun Bunga yang Disembunyikan Stephen Hawking

Ihwal Kebun Bunga yang Disembunyikan Stephen Hawking - Cerpen T Agus Khaidir

Ihwal Kebun Bunga yang Disembunyikan Stephen Hawking ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

2.2
(6)

Cerpen T Agus Khaidir (Media Indonesia, 19 November 2023)

MINGGU menjelang sore dan Marjili Samsuri mengendarai sepeda motornya menuju Kebun Bunga dan mendapati stadion itu tidak ada lagi.

Marjili sempat mengucek mata. Kira-kira dua jam sebelumnya ia menyantap semangkuk besar daging kambing masak kari bikinan menantunya dan berpikir jangan-jangan tensi darahnya melejit dan ini membuat penglihatannya jadi tak beres. Nyatanya, penglihatannya baik-baik saja, tapi stadion memang tidak ada. Di hadapan Marjili hanya hamparan terbuka tanah merah tanpa rumput. Tak ada tribune penonton. Tak ada motor yang diparkir bersusun tak beraturan dengan para penjaganya yang selalu memasang tampang siap perang. Tak ada pedagang aneka makanan. Namun, eh, ada Narain Subramanian berjalan tertunduk-tunduk menenteng bungkusan.

“Ne!” seru Marjili memanggil.

‘Ne’ dari ‘Ane’, abang dalam tuturan India Tamil di Medan. Marjili mengenalnya sejak ia mulai merasa benar-benar menyukai sepak bola dan jatuh cinta pada PSMS.

Narain bekerja di Kebun Bunga. Saban hari dia memeriksa tribune penonton bagian tengah, apakah ada kayu lapuk atau terlepas pakunya. Dia juga membabat rumput dan membersihkan kamar mandi, termasuk di mes pemain. Saat PSMS memberlakukan pemusatan latihan, jika petugas binatu tak datang, dia juga yang mencuci perlengkapan.

“Ne!” panggil Marjili lagi.

Kali ini Narain menoleh. Marjili mendekat dan langsung mencecarnya.

“Stadion kita, kok, tidak ada, Ne?”

Narain menatap Marjili. Tajam dan menyiratkan keheranan. “Kau tak tahu?”

Marjili menggeleng. Ia mengikuti Narain yang berjalan ke sisi lain hamparan tanah merah dan berhenti di bawah rindang pohon mangga. Daun-daunnya yang mengering berserakan di antara akar bertonjolan. Sebagian membentuk tumpukan-tumpukan kecil di atas sepasang meja dan kursi panjang berwarna cokelat kusam. Marjili mengenali pohon ini. Mengenali meja dan kursi panjang yang seingatnya bercat hijau dan jumlahnya lebih dari sepasang. Selain di tribune penonton, ia juga kerap duduk di tempat ini. Ada penjual teh dan kopi dan goreng-gorengan. Tiap kali datang Marjili akan memesan kopi lalu duduk di sudut yang agak terpisah. Membaca koran atau menonton orang-orang bermain catur atau kartu Leng. Namun, apa pun yang dilakukannya, Marjili sesungguhnya selalu dalam posisi siaga. Ia memasang telinga, menguping percakapan para legenda PSMS. Iya, mereka, legenda-legenda ini, memang selalu berkumpul di sini, dari siang hingga petang mempercakapkan masa lalu mereka yang gemilang.

Dari percakapan-percakapan ini Marjili jadi tahu sejarah sepak bola Indonesia dimulai di Medan. Akhir 1893, di Lapangan Espalande, digelar pertandingan kesebelasan Deli yang berisi orang-orang Belanda di Medan melawan kesebelasan Penang yang terdiri dari orang-orang Inggris. Juga cerita-cerita hebat di balik kemenangan-kemenangan hebat PSMS, dari dua final monumental versus Persib sampai laga melawan Ajax Amsterdam pada 1975 dan Grasshopper 20 tahun sebelumnya. Ada kisah Rony Paslah yang digdaya menepis penalti Pele saat tim nasional Indonesia beruji coba kontra Santos di Senayan pada 21 Juni 1972. Ada Nobon si tukang libas. Ada Tumsila sang kepala emas.

Baca juga  HARUM CENGKIH DI CANGKIR TEH

Ke mana mereka semua? Kenapa sepi sekali? Kenapa meja dan kursi panjang ini tinggal sepasang dan warnanya berubah jadi cokelat kusam?

“Sudah berapa lama kau tidak ke sini?” tanya Narain.

“Aku tidak ingat persis. Mungkin sepuluh hari lalu. Kenapa?”

“Kebun Bunga dicuri orang.”

“Astagfirullah! Dicuri? Siapa yang curi?”

“Stephen Hawking. Dia membentangkan tangan lebar-lebar kemudian langit tiba-tiba berubah gelap dan berlubang dan stadion kita tersedot ke dalamnya.”

“Ane mabuk?”

“Maksudmu?”

“Waktu itu, saat melihat Stephen Hawking, Ane mabuk?”

“Seingatku tidak.”

“Sekarang?”

Narain menggeleng. “Sejauh ini masih rencana,” katanya seraya menunjukkan bungkusan yang sejak tadi ditentengnya. Ada dua botol kecil berbentuk gepeng di sana.

“Ane yakin dia Stephen Hawking?”

“O, yakin kali, lah! Aku pernah lihat laki-laki berkursi roda itu di televisi.”

“Stephen Hawking sudah mati, Ne!”

“Eh, kapan itu?”

“Lima tahun lalu.”

Narain berkeras. Bilangnya, Hawking bisa saja cuma pura-pura mati karena ingin menepi dari hiruk-pikuk duniawi seperti dilakukan Michael Jackson dan Elvis Presley.

Tentang teori pura-pura mati ala Narain Subramanian ini memang sudah beberapa kali didengar Marjili. Banyak kisah. Banyak seri dan versi. Dari Bob Marley sampai Freddie Mercury, John Lennon, hingga John F Kennedy, Marilyn Monroe, Saddam Husein, Khaddafi, dan masih banyak lagi. Paling sohor ialah teori tentang Michael Jackson. Menurut Narain, sang raja pop melakukan operasi wajah lalu pergi ke Indonesia, persisnya ke Medan, membuka kedai tuak di kawasan simpang Sei Wampu dan mengganti namanya menjadi Mikael Rajagukguk.

Ini kali pun Narain punya teori. Boleh jadi merupakan versi paling awal dan terbilang langka lantaran dia mengemukakannya saat masih merencanakan mabuk. Namun, Marjili sama sekali tak merasa beruntung. Ia justru kesal dan ocehan Narain membuatnya bertambah kesal. Marjili bangkit dari duduk lalu melangkah menjauh.

“Eh, kau tak mau tahu di mana dia menyembunyikan stadion kita? Aku tahu di mana dia menyembunyikannya!”

Baca juga  Bapak hanya Ingin Mati di Sepaku

Marjili terus menjauh. Sayup didengarnya teriakan Narain.

“Dia menyembunyikannya di lubang hitam, Marjili! Kita harus ke sana untuk mengambilnya!”

***

MARJILI sungguh tak percaya Narain, tapi ia penasaran dan oleh sebab itu pergi menemui Charles Bronson. Nama ini sudah barang tentu sekadar alias. Marjili pernah mendengar selentingan nama aslinya Abdul Majid. Sekarang usianya 62, atau barangkali 63, dan lebih separuhnya dihabiskan mengurus PSMS. Memulai karier sebagai tukang catut karcis, Charles Bronson pelan-pelan menapaki berbagai jabatan sampai akhirnya tiba pada yang paling prestisius, direktur eksekutif.

Tidak sembarang orang bisa menemui Charles Bronson. Rumahnya dijaga satpam dan tiap yang hendak bertamu mesti membuat janji lebih dulu. Namun, bagi Marjili Samsuri, aturan ini tak berlaku. Ia bisa datang tiap saat. Mereka sudah kenal lama. Saat Charles Bronson masih jadi tukang catut, Marjili ialah polisi yang sering mendapat tugas jaga di Stadion Teladan. Pertandingan-pertandingan PSMS, Pardedetex, Mercu Buana, dan Medan Jaya. Selain membiarkan operasi pencatutan karcis Charles Bronson berjalan, hampir tidak ada yang tahu, mereka juga bekerjasama meloloskan penonton-penonton ilegal ke dalam stadion.

“Kau dengar dari siapa? Narain?” kata Charles Bronson sesaat setelah Marjili mengulang kalimat-kalimat Narain Subramanian. Marjili mengangguk. Charles Bronson tertawa. “Masih saja kau percaya bual pemabuk sontoloyo itu,” ucapnya.

“Inilah sebab aku datang kemari. Kupikir kau pasti lebih tahu dari Narain.”

Charles Bronson mengangguk, lalu berdehem sembari membetulkan posisi duduk. “Begini, Marjili,” katanya setelah menghempas napas. “Ada banyak sekali masalah yang mengiringi sepak bola di negerimu ini. Tawuran, suap, pengaturan skor, pencurian umur. Mafia merajalela. Di lain sisi, pemerintah sejak berpuluh tahun lalu sebenarnya sudah menyadari kita tak berbakat dalam sepak bola. Segala macam pembinaan dan pelatihan hanya berakhir sebagai kesia-siaan. Berapa triliun uang terbuang untuk proyek-proyek itu? Garuda, Primavera, Baretti, dan entah apa lagi. Kalau saja uangnya dibelikan beras barangkali karung-karungnya bisa dijajarkan berderet-deret dari Sabang sampai Merauke. Masalahnya, pemerintah selalu gagal menemukan cara menyampaikannya tanpa menimbulkan gejolak. Kau tahulah, orang-orang kita ini. Gampang kali terbakar emosi.”

Charles Bronson meneruskan bicara. Bilangnya, bukan cuma Kebun Bunga yang tak lagi ada, tapi juga Teladan dan semua stadion sepak bola di Indonesia. Ada yang dirobohkan sepasukan buldoser. Ada yang dibom atau ditembak dengan rudal dari tank atau pesawat tempur.

Baca juga  Lantai 9, Malam-malam

“Kau jangan mengada-ngada,” sergah Marjili. “Kita sekarang sedang menuju ke arah lebih baik. Kita cuma kalah 0-2 dari juara dunia. Tapi katakanlah betul begitu. Katakanlah memang semua stadion dihancurkan. Kenapa tak ada kabarnya? Mustahil peristiwa besar begini luput dari wartawan. Tidak mungkin juga tak ada media sosial. FIFA juga tak mungkin tidak bereaksi.”

Charles Bronson terbahak. Perutnya yang bulat seperti semangka terguncang-guncang. “Ini kongkalikong tingkat tinggi, Marjili, kau jangan kelewat lugu. Semua terlibat, termasuk media. Termasuk FIFA juga. Kau kira mereka peduli pada ocehan politikus-politikus ambisius yang cuma berpikir bagaimana caranya bisa jadi pejabat itu? Tidak, Bung. Mereka sudah lama muak mendengar kabar-kabar perihal sepak bola tak bermutu yang isinya ribut melulu. Prestasi jauh. Menang ngamuk, kalah juga ngamuk. Maunya apa? Ratusan nyawa telah melayang sia-sia. Tak ada untungnya memelihara kita sebagai anggota. Kukira diam-diam mereka senang dan berterima kasih pada politisi-politisi konyol itu.”

Marjili belum surut. “Terus, bagaimana nasib pemain dan pelatih? Bagaimana nasib orang-orang yang selama ini hidup dari bola? Bagaimana nasib rencana besar Indonesia Emas 2045?”

“Apa? Indonesia emas?”

“Ya. Momentum Indonesia bangkit dan jadi pemimpin dunia.”

Charles Bronson tertawa. Kencang. Jauh lebih kencang dari sebelumnya.

“Kenapa kau tertawa?”

Charles Bronson tak menjawab. Tawanya belum berhenti. Dia bangkit dari duduk, lalu meraih telepon selular dan menggeser-geserkan jempolnya ke layar. Marjili paham gelagat dan segera minta diri.

***

TIBA di rumah Marjili Samsuri disambut cucunya, bocah laki-laki lasak yang sedang sangat bersemangat main bola. “Atok tadi nonton PSMS latihan?” tanyanya.

Marjili menggeleng. Di telinganya terngiang suara tawa Charles Bronson.

“Kenapa, Tok?”

“Tak ada yang latihan, sedang libur.”

“Sampai kapan?”

Marjili menggeleng lagi. Tawa Charles Bronson makin keras.

“Atok sempat ketemu Ferdinand Sinaga?”

“Dia bukan pemain PSMS.”

“Paolo Sitanggang?”

“Dia juga bukan.”

“Egy Maulana Vikri?”

“Apalagi dia. Tapi, Atok dengar ada pemain baru yang paten.”

“Wah, asyik! Siapa namanya, Tok?”

“Stephen Hawking.” ***

.

.

Medan, 2022-2023

T Agus Khaidir. Pemenang I Sayembara Cerpen Media Indonesia 2023.

.
Ihwal Kebun Bunga yang Disembunyikan Stephen Hawking. Ihwal Kebun Bunga yang Disembunyikan Stephen Hawking. Ihwal Kebun Bunga yang Disembunyikan Stephen Hawking.

Loading

Average rating 2.2 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!