Cerpen Firman Fadilah (Suara Merdeka, 14 Desember 2023)
DI dalam kepalaku tumbuh sebatang pohon. Pohon itu ditanam oleh raksasa yang lahir dari kebencian. Ia suka makan amarah dari hatiku. Semakin aku marah, tubuhnya semakin besar. Ia suka berteriak ketika aku mulai menitikkan air mata. Bukan, ia bukan berteriak karena takut, tetapi ia senang karena dengan air mata itu ia menyirami pokok pohon. Lambat laun, kambium mencetak garis pokoknya menjadi besar dan mengukuhkan akar-akarnya.
Setelah pohon tumbuh besar, raksasa itu membangun sebuah gubuk di atas dahannya dari patahan-patahan ranting yang rimbun. Ia berdiam di sana sambil memakan buah-buahan. Tak pernah sekali pun ia meninggalkan gubuknya karena pohon itu selalu berbuah yang dipupuk dengan air mata dan kesedihanku.
Raksasa itu sangat pelit. Ia enggan berbagi tempat dengan makhluk-makhluk lain di kepalaku. Raksasa itu terlalu angkuh dan besar kepala seolah-olah kepalaku adalah sebuah kemudi yang bebas ia arahkan ke mana saja.
Matanya berubah merah ketika aku hendak melakukan pekerjaan yang tidak ia sukai. Misalnya, ketika aku membantu seorang lelaki tua yang kesulitan buang air kecil. Raksasa itu seakan-akan berkata, biarkan saja dia pipis di kasur dan biarkan semut-semut menggerogoti bagian-bagian tubuhnya yang penuh dosa. Namun, hatiku tak bisa berbuat jahat meskipun sangat ingin. Raksasa itu pun lebih setuju kalau kursi roda lelaki itu kudorong hingga terpelanting ke jurang atau mencampurkan arsenik ke dalam minumannya.
Ketika tak kuturuti permintaan raksasa itu, ia murka. Dinding-dinding kepalaku ia pukul sekuatnya. Ia mencakar dan mencabik saraf-saraf dan jalan oksigen sampai napasku tersengal. Ia mendobrak cagar batas kesabaranku hingga lebam mataku dan seluruh tubuhku berkedut. Aku pun turut membenturkan kepalaku ke dinding atau pojok dipan untuk menghentikan amukan raksasa itu, mencelupkan kepalaku ke dalam kolam, dan bahkan aku ingin sekali memisahkan tubuh dari kepala supaya raksasa itu berhenti mengamuk. Akan tetapi, itu hanya sia-sia. Aku lagi-lagi kalah dan seutuhnya menghambakan diri kepada kebencian.
Aku terduduk dan terisak di sudut kamar. Pohon di dalam kepalaku mulai berbunga, tetapi yang kuhirup hanya bau anyir dari hidung dan pelipisku. Raksasa itu tenang dari amukannya ketika aku menangis sebagai tanda atas kekalahan.
Aku mulai mengingat-ingat kapan raksasa itu lahir. Barangkali sejak lelaki tua itu gemar bermain judi kala aku masih kecil. Atau kala ia sering mabuk-mabukan dan muntah-muntah di depan pintu. Aku mulai merasakan ada yang berdiang dalam kepalaku; seekor raksasa yang kini membuatku enggan menyebut lelaki tua itu sebagai seorang ayah.
Lelaki itu mempertaruhkan apa pun di meja judinya. Dalam kepalanya hanya ada satu tujuan, menang dan membawa banyak uang untuk membangun rumah yang nyaman. Rumah yang tak lagi berdinding pokok kayu dan atap daun kering. Rumah yang berlantai sejuk bukan tanah yang lengket.
Raksasa itu lahir tengah malam kala seorang yang tak kukenal menarikku ke luar rumah. Ibu sesenggukan luar biasa. Ia mengamuk, menendang, memukul lelaki tua itu yang hanya diam pasrah seperti pengecut. Setelah semua uangnya habis, dirikulah yang ditaruhkan di atas meja judinya tanpa kuketahui.
Raksasa itu mulai menanam pohon untuk berteduh ketika aku menjadi satu-satunya barang bernyawa yang menjadi taruhan judi. Mata-mata dengan tatapan setan dari neraka menelisik tubuhku penuh napsu hewan yang menjijikkan. Wajah-wajah itu membuatku muak dan ingin sekali menamparnya keras-keras.
Malam itu, aku jatuh ke tangan orang lain. Aku sedikit tenang kala tangan lelaki itu menggandengku. Tatapan yang jinak tidak seperti kebanyakan lelaki pecandu judi. Ia membawaku ke sebuah rumah besar yang sepi. Daun-daun pohon dalam kepalaku mendadak berguguran dan raksasa itu seperti ketakutan saat hatiku merasa tenteram.
Degub jantungku mulai teratur ketika aku disuguhi berbagai makanan. Beberapa menit kemudian, aku terlelap. Sekujur tubuhku terasa kaku. Nyeri yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Rasa takut, linglung, dan cemas ketika kudapati tubuhku tak terbungkus sehelai kain. Aku menjerit sekencang-kencangnya.
Lelaki itu tergeragap dan raksasa dalam kepalaku kembali tertawa memunguti air mata untuk menyirami pohonnya yang layu. Ia menang. Aku kalah. Namun, aku enggan berdiam diri. Kuraih gelas kaca di atas nakas. Kuhantamkan ke kepala lelaki yang kaunggap baik itu. Aku menerima pukulan keras di pipi sampai tubuhku teronggok ke sudut ruangan. Ia meremas tubuhku dan membaringkannya ke atas kasur untuk yang kedua kalinya sebelum pada akhirnya aku ditaruhkan di atas meja judi lagi.
Kukira aku menang. Aku malah semakin kalah. Raksasa dalam kepalaku terus membesar. Setiap waktu ia selalu memicu dendam dari ingatan-ingatan jalang tentang lelaki tua itu. Daun-daun yang berserak ia pantik hingga berasap dan berapi membara ke dadaku.
“Kau itu anak pungut! Tak usah berharap lebih,” umpatnya.
“Kau sudah tidak punya harga diri!”
Raksasa itu jadi memiliki cakar yang panjang, taring yang runcing, dan rambut ikal berbau apak yang terus memancing untuk memaki jalan hidupku yang buntu.
Dalam kepalaku tidak ada suasana yang bisa menghadirkan kicau burung, tawa anak-anak, kepak kupu-kupu, dan siul angin. Sinar matahari bahkan tak mampu menembus awan kelabu yang kian pekat selama sepuluh tahun ini. Mungkin wilayah yang tak ada matahari tidak terlalu baik untuk sebatang pohon tumbuh subur. Akan tetapi, raksasa itu tak perlu sinar matahari. Ia hanya perlu air mataku.
Aku ingin sekali menebang pohon itu supaya raksasa kelaparan sebab tidak ada buah yang layak dimakan. Maka ia akan memakan ulat-ulat dan lumut yang membuatnya sakit perut, lemas, kemudian mati. Namun, tubuhku sejatinya sudah tak layak disebut hidup. Aku hanya kerangka tanpa jiwa yang berjalan tanpa tujuan pula. Kemana pun langkah kakiku mengayun, raksasa itu selalu memantik amarah dari kejadian masa lalu yang sulit untuk dimaafkan.
Sepuluh tahun terlunta-lunta di meja judi, akhirnya aku kembali lagi ke rumahku yang dulu; berdinding kayu, beratap daun kering, dan berlantai tanah yang lengket. Rupanya Ibu telah pergi dengan lelaki lain dan lelaki tua itu telah lama menderita penyakit hati.
Tubuhku pun sudah tak layak untuk dijadikan barang taruhan di meja judi setelah beberapa lelaki terpapar penyakit aneh dariku. Raksasa dalam kepalaku kembali berpesta pora ketika aku menjerit kesakitan merutuki nasib yang tak kunjung berkawan karib. Awan di dalam kepalaku menghujani pohon itu yang membuatnya berbuah lebat. Raksasa itu semakin besar, sementara aku makin kesakitan tak kuasa menghentikan polah raksasa itu yang tak henti-henti mengirim bisikan gaib untuk menghabisi nyawa lelaki tua yang tak berdaya di depanku. Yang bergerak-gerak hanya ujung matanya. Sisanya hanya kaku seperti mayat.
Berkali-kali raksasa itu memukul-mukul dinding kepalaku, membakarnya dengan api, dan menusuk-nusukkan taringnya ke otakku. “Cepat sekap lelaki itu! Dialah awal mula kesengsaraanmu!” perintahnya.
Kuraih bantal kapuk, kuangkat perlahan, kemudian kuarahkan ke muka lelaki yang bau tanah itu. Matanya seolah-olah memohon belas kasih dan berkata bahwa ia ingin berumur panjang dan memperbaiki masa lalu yang suram. Lalu untuk apa hidup jika demikian? Tubuhku telanjur berkubang dalam dosa. Begitu kata hatiku. Raksasa itu seolah-olah memperoleh kemenangan, tapi aku tak mau kalah.
Kuletakkan bantal kapuk itu di samping lelaki tua yang kini hanya menggantungkan hidupnya kepadaku. Kubuang jauh-jauh waktu yang tak pernah bisa kembali. Kukubur juga kesalahannya dan anggap saja itu hanya sebuah cara untuk menjadikan sisa hari-hari ke depan lebih berarti seperti yang sudah disekenariokan Tuhan, meskipun penuh cacian dan kebencian. Kumaafkan semuanya. Kumaafkan semuanya.
Mendadak awan dalam kepalaku menitikkan air yang membuat pedih di mata, tapi hatiku seketika merasa tenang. Gejolak jantungku redam. Amarahku tenteram. Kurasakan daun-daun pohon dalam kepalaku layu dan raksasa itu terduduk lesu. ***
.
.
Tanggamus, 24 Agustus 2022
—Firman Fadilah adalah cerpenis yang kini tinggal di Lampung.
.
Raksasa dan Sebatang Pohon dalam Kepalaku. Raksasa dan Sebatang Pohon dalam Kepalaku. Raksasa dan Sebatang Pohon dalam Kepalaku.
Leave a Reply