Cerpen, M Raudah Jambak, Riau Pos

Cerita dari Kampung Petalangan

Cerita dari Kampung Petalangan - Cerpen M Raudah Jambak

Cerita dari Kampung Petalangan ilustrasi Adi Bagong/Riau Pos

4.7
(3)

Cerpen M Raudah Jambak (Riau Pos, 12 Februari 2012)

HUJAN masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu melangkah berkendara engah. Lelaki itu berjalan mengikis pongah. Hujan seperti bersimpati padanya. Tak henti membasuh luka sekujur tubuh yang mulai ringkih itu. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bukan. Bukan karena perih tubuhnya. Bukan lantaran guyur hujan dan deru angin. Tetapi, ada yang lebih pedih dari itu, hatinya.

Hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang nadi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lelaki itu hanya tak menyangka. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala makna. Sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah defenisi-defenisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Mardiah, istrinya.

Pagi-pagi sekali, setelah menyusun botol jamu, Mardiah menitip pamit padanya. Setelah melabuhkan bakul berisi otak-otak di punggungnya, Mardiah segera menapak langkah. Lelaki itu pelan-pelan mengutip kembali jejak yang ditinggalkan. Biasanya Mardiah selalu mengusung pulang sebelum Maghrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, meski otak-otak hanya sedikit yang berkurang.

“Hati-hati di jalan, ya….”

“Ya, Abangda….”

Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa dan momongan tak pernah singgah di gendongan, tak pernah ada kata luka dalam diksi puisi cinta mereka. Kalau dihitung mungkin hanya sekali pertanyaan mengejutkan terlontar. Pertanyaan itu langsung terasa begitu mengganggu. Mencemari kisah hari-hari mereka.

“Tadi siang aku melihatmu di pelabuhan….”

“Ya, tadi aku sempat singgah….”

“Siapa bujang yang kerap memelukmu dari belakang itu?”

“Hanya pelanggan.”

“Pelanggan?”

Baca juga  Hamzah dari Fansur

“Ya, pelanggan.”

“Hanya demi sebungkus otak-otak kau biarkan jantan itu berbuat sesukanya?”

“Itu di luar kendaliku….”

“Kebetulan hanya satu itu yang sempat terlihat….”

“Maksudmu?”

“Mungkin yang tidak terlihat lebih dari itu….”

“Ooo, berarti kau sudah berpikiran, bahwa aku perempuan murahan begitu!?”

“Aku tidak berpikiran seperti itu.”

“Tetapi kata-katamu menuduhku seolah-olah aku bukan perempuan baikbaik.” Mardiah menarik napas, “Abangda, dengar. Seburuk apapun aku di pikiranmu, aku tidak akan menodai mahligai perkawinan kita.”

“Aku percaya.”

“Kalau kau percaya mengapa kau menuduhku seburuk itu.”

“Aku hanya cemas.”

“Percayalah, Abangda. Kalau kau percaya itu lebih cukup bagiku untuk tetap setia.”

“Aku percaya.”

“Ya, aku juga percaya padamu. Aku percaya kau tidak akan pernah berkhianat padaku….”

Setelah pembicaraan itu memang tak ada lagi kata-kata. Kata-kata sepertinya hanya pengantar ke puncak gairah. Katakata berganti irama desah. Berganti lumatan, pagutan dan rangsang gelinjang. Hujan pun seperti telah ditakdirkan mengambil perannya sendiri. Menghadirkan orkestra romantik yang begitu puitik.

***

Sebagai seorang pengangguran, lelaki itu selalu menimbun malu. Harga dirinya sebagai seorang lelaki sering terusik. Ia ingin mendapatkan pekerjaan tetap, tetapi hanya pekerjaan semrawutan yang bisa ia dapat.

Ada rasa sedih, marah, kecewa, bercampuraduk dalam benaknya. Ingin rasanya ia menjadi suami seutuhnya. Kepala keluarga yang sebenarnya. Suami yang mencari nafkah, istri yang menjadi ratu di rumah. Tetapi, hal itu belum mampu diwujudkannya. Istrinya yang mencari nafkah, ia sebagai suami hanya melukis sesal di rumah.

“Kita belum punya anak….” Lelaki itu mulai mengeja cerita, suatu kali di balaibalai.

“Abangda, jangan mulai lagi….” Mardiah menyeka air mata.

“Maksudku, sebagai seorang lelaki, aku ingin kau menjadi istri seutuhnya,” lelaki itu menyalakan sebatang rokok di tangannya, “aku hanya tidak sampai hati melihatmu yang harus luntang-lantung mencari nafkah. Sementara aku hanya penjaga rumah yang tidak memiliki daya.”

Baca juga  Anak Arloji

“Abangda, aku ikhlas menjalani ini semua. Aku hanya ingin membantumu….”

“Dan aku tidak sampai hati melihat semua itu….”

“Abangda, dengarkan aku. Tidak ada setitik pun dalam pikiranku merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Sebagai seorang pahlawan aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual otak-otak. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.”

Kembali lelaki itu tersengat tak berdaya. Di matanya Mardiah adalah sosok perempuan yang betul-betul sempurna. Selalu saja siraman-siraman sejuk yang terlontar dari bibir mungil Mardiah. Keyakinannya semakin cadas. Rasa percayanya kepada Mardiah sepadat logam. Lelaki itu semakin pasti. Pasti akan kesetiaan Mardiah.

***

Pagi-pagi sekali lelaki itu pergi, setelah merapikan bungkus otak-otak Mardiah. Mardiah berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Mardiah, lelaki itu segera menapak langkah. Lelaki itu diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan.

Kali ini lelaki itu seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum Maghrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang.

Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.

Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, lelaki itu menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah defenisi-defenisi setia.

Baca juga  Mimpi Sebuah Istana

Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang mengelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tanganya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah.

Belati di tangannya memerah. Melukis Kampung Petalangan sewarna darah. ***

.

.

Komunitas Home Poetry, Tanjungpinang-Medan, 11-10

M Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjungpinang. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar/majalah Indonesia-Malaysia. Saat ini bertugas sebagai guru sastra dan dosen filsafat Panca Budi Medan.

.
Cerita dari Kampung Petalangan. Cerita dari Kampung Petalangan. Cerita dari Kampung Petalangan.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Ongkurau

    bisa untuk scenario film bermuatan lokal

  2. Cerpen

    CERPEN YANG CUKUP TELITI DAN CERMAT

  3. andira jelek

    wah keren pak

Leave a Reply

error: Content is protected !!