Goenawan Mohamad, Koran Tempo, Puisi

NOT U

NOT U - puisi Goenawan Mohamad

NOT U ilustrasi Goenawan Mohamad

4.5
(2)

Puisi Goenawan Mohamad (Koran Tempo, 22 Januari 2012)

NOT

Malam itu ia coba tirukan,/dengan bunyi senar gitar, tetes air/yang saling bertemu/di talang serambi.

.

Tapi yang terbentuk dari langit

hanya lagu.

“Aku tak ingin lagu,”

katanya.

.

Tak seorang pun tahu apa yang ia inginkan. Mungkin

sesuatu yang lepas, not yang tak terkait dengan angin

yang datang ke bubungan ketika hampir fajar.

.

“Kau selalu menghendaki yang sulit”

—itu kesimpulan perempuan yang tidur

di sebelahnya

pada dinihari sebelumnya.

.

Ia mengangguk. “Aku selalu berdoa

kepada Tuhan yang tak sengaja,” sahutnya,

“Tuhan yang sudah lama mati.”

Dan ia kembali memetik senar.

.

Menjelang matahari terbit,

di atas deretan gudang ia lihat langit

memperlihatkan kilat sejenak.

Lampu-lampu menghalaunya.

.

Akan ada petir yang jatuh

pada penangkal di sebuah bukit, pikirnya,

jauh di pedalaman,

tak tahu ia tak akan hilang.

“Bersama sebuah not.”

 .

2012

 .

 .

 .

U

.

Surga terletak di telapak kaki ibu, ia selalu ingat itu:

perempuan tua penyapu jalan yang tak dikenalnya

yang memberinya seraut tapal kuda dan berkata,

“Kutemukan ini; coba kau simpan.”

.

Sejak itu di tas sekolahnya ada tapal kuda yang

separuh berkarat. Tiap pagi, sebelum memasuki

kelas, ia merabanya: sesaat, entah di mana, ia

dengar gerit pintu kandang dibuka dan bunyi langkah

ksatria yang belum ia beri nama: seorang kurus yang

meregangkan kakinya di sanggurdi dan berangkat

membunuh Boma di perbatasan.

.

Di kedai tukang kebun, terkadang ia tunjukkan tapal

kuda itu kepada siapa saja yang duduk di dekatnya.

Siapa saja tak pernah tahu apa yang sebaiknya

Baca juga  Senyum Karyamin

dikatakan. Beberapa orang hanya berkata, “Wah!” dan

pergi.

.

Beberapa tahun kemudian ia menangis untuk ayahnya

yang menghilang di Semenanjung dan ibunya yang

memahat kayu sampai jauh malam. Digenggamnya

tapal kuda itu di jam-jam sebelum tidur, karena ia

ingin bermimpi Boma tak mengalahkan ksatria yang

tak bernama itu, meskipun kuda itu pulang tak

berpenunggang.

.

Dulu ia pernah percaya besi berkarat yang

disimpannya itu juga terpasang di kuda kavaleri yang

terjun ke jurang dengan leher tertembak. Tapi

kemudian ia menemukan sejumlah cerita lain yang

setelah 25 tahun berlalu ia lupakan.

.

Kini, di studionya, tapal kuda itu terpasang pada tepi

meja gambar: seraut U yang bersahaja, sebuah

desain dengan sederet lobang yang seakan-akan malu

menyembunyikan kesedihan.

.

Tapi mungkin juga bukan kesedihan. Kemarin malam

di atas kertas ia goreskan pensil mengikuti lengkung

U. Lalu ia gambar sebuah candi di sebuah hutan Bali

yang hampir tak kelihatan karena kabut. “Ini cerita

perjalanan yang lama,” demikian ia berkata kepada

anaknya yang menatapnya dengan takjub.

.

“Aku melihat kuda itu, Ayah.”

“Apa warnanya, Isa?”

.

“Ungu, tapi kakinya putih. Di pelananya duduk

seorang ibu yang tua.”

.

“Bukan seorang ksatria yang kurus?”

“Bukan.”

.

Ia diam. Dielusnya kepala anak itu.

.

Di depan jendela studio, kemudian, ketika ia sejenak

melihat ke gelap, ia dengar berisik sebuah jalan yang

tak dikenalnya. Seperti di pagi hari. Seorang ibu tua

penyapu jalan, dengan seragam kuning yang

berlumpur, terbungkuk memungut sesuatu dari

sampah.

.

Di antara asap mobil yang lewat, benda itu berkilau.

Seperti setangkai daun surga.

 .

2012

.

.

Dua buku puisi Goenawan Mohamad yang mutakhir adalah Don Quixote dan 70 Puisi—keduanya terbit pada 2011.

.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!