Puisi Goenawan Mohamad (Koran Tempo, 22 Januari 2012)
NOT
Malam itu ia coba tirukan,/dengan bunyi senar gitar, tetes air/yang saling bertemu/di talang serambi.
.
Tapi yang terbentuk dari langit
hanya lagu.
“Aku tak ingin lagu,”
katanya.
.
Tak seorang pun tahu apa yang ia inginkan. Mungkin
sesuatu yang lepas, not yang tak terkait dengan angin
yang datang ke bubungan ketika hampir fajar.
.
“Kau selalu menghendaki yang sulit”
—itu kesimpulan perempuan yang tidur
di sebelahnya
pada dinihari sebelumnya.
.
Ia mengangguk. “Aku selalu berdoa
kepada Tuhan yang tak sengaja,” sahutnya,
“Tuhan yang sudah lama mati.”
Dan ia kembali memetik senar.
.
Menjelang matahari terbit,
di atas deretan gudang ia lihat langit
memperlihatkan kilat sejenak.
Lampu-lampu menghalaunya.
.
Akan ada petir yang jatuh
pada penangkal di sebuah bukit, pikirnya,
jauh di pedalaman,
tak tahu ia tak akan hilang.
“Bersama sebuah not.”
.
2012
.
.
.
U
.
Surga terletak di telapak kaki ibu, ia selalu ingat itu:
perempuan tua penyapu jalan yang tak dikenalnya
yang memberinya seraut tapal kuda dan berkata,
“Kutemukan ini; coba kau simpan.”
.
Sejak itu di tas sekolahnya ada tapal kuda yang
separuh berkarat. Tiap pagi, sebelum memasuki
kelas, ia merabanya: sesaat, entah di mana, ia
dengar gerit pintu kandang dibuka dan bunyi langkah
ksatria yang belum ia beri nama: seorang kurus yang
meregangkan kakinya di sanggurdi dan berangkat
membunuh Boma di perbatasan.
.
Di kedai tukang kebun, terkadang ia tunjukkan tapal
kuda itu kepada siapa saja yang duduk di dekatnya.
Siapa saja tak pernah tahu apa yang sebaiknya
dikatakan. Beberapa orang hanya berkata, “Wah!” dan
pergi.
.
Beberapa tahun kemudian ia menangis untuk ayahnya
yang menghilang di Semenanjung dan ibunya yang
memahat kayu sampai jauh malam. Digenggamnya
tapal kuda itu di jam-jam sebelum tidur, karena ia
ingin bermimpi Boma tak mengalahkan ksatria yang
tak bernama itu, meskipun kuda itu pulang tak
berpenunggang.
.
Dulu ia pernah percaya besi berkarat yang
disimpannya itu juga terpasang di kuda kavaleri yang
terjun ke jurang dengan leher tertembak. Tapi
kemudian ia menemukan sejumlah cerita lain yang
setelah 25 tahun berlalu ia lupakan.
.
Kini, di studionya, tapal kuda itu terpasang pada tepi
meja gambar: seraut U yang bersahaja, sebuah
desain dengan sederet lobang yang seakan-akan malu
menyembunyikan kesedihan.
.
Tapi mungkin juga bukan kesedihan. Kemarin malam
di atas kertas ia goreskan pensil mengikuti lengkung
U. Lalu ia gambar sebuah candi di sebuah hutan Bali
yang hampir tak kelihatan karena kabut. “Ini cerita
perjalanan yang lama,” demikian ia berkata kepada
anaknya yang menatapnya dengan takjub.
.
“Aku melihat kuda itu, Ayah.”
“Apa warnanya, Isa?”
.
“Ungu, tapi kakinya putih. Di pelananya duduk
seorang ibu yang tua.”
.
“Bukan seorang ksatria yang kurus?”
“Bukan.”
.
Ia diam. Dielusnya kepala anak itu.
.
Di depan jendela studio, kemudian, ketika ia sejenak
melihat ke gelap, ia dengar berisik sebuah jalan yang
tak dikenalnya. Seperti di pagi hari. Seorang ibu tua
penyapu jalan, dengan seragam kuning yang
berlumpur, terbungkuk memungut sesuatu dari
sampah.
.
Di antara asap mobil yang lewat, benda itu berkilau.
Seperti setangkai daun surga.
.
2012
.
.
Dua buku puisi Goenawan Mohamad yang mutakhir adalah Don Quixote dan 70 Puisi—keduanya terbit pada 2011.
.
Leave a Reply