Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 24 Desember 2023)
SELURUH moncong senjata sudah membidik ke arah musuh. Tinggal muntah, menunggu sedikit gerakan kecil, sehalus langkah semut pun, aba-aba tembak tak perlu dinanti lagi. Pelatuk senapan dan knop rudal sudah otomatis akan bertindak. Sebelum musuh sempat bernapas, seluruh kepungannya akan habis kikis kita sikat ludes. Dan persada kita akan kembali aman.
Kecuali kalau mereka, di luar perhitungan kita, telah siap mementahkan serangan teknologi mutakhir kita, dengan teknologi yang paling tidak dua digit di atas penemuan terbaru kita yang hanya diketahui oleh Panglima dan Baginda. Dengan kata lain, lebih dari perang-perang sebelumnya, perang kali ini sudah pasti kita menangkan sebelum terjadi. Itu fakta.
Karena itulah, tak tercegah lagi, di beberapa titik api front pertempuran, di mana kemenangan telak akan kita rebut, sudah ada persiapan pesta syukuran dengan mengundang seribu superstar paling heboh dari seluruh mancanegara. Tinggal beberapa detik lagi.
Tapi sialan, entah kenapa menjelang saat klimaks yang ditunggu, waktu terasa dengan malasnya mengayun langkah seakan-akan ingin ngeledek kita agar mati kaku karena tak sabar lagi menunggu.
Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, tigaaaaaa, duaaaaaa….
Tiba-tiba Baginda beteriak: “Stopppp!”
Seperti dentuman geledek aba-aba Baginda membunuh ketegangan. Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa stop? Seluruh prajurit yang sudah siap mengorbankan jiwa-raga kaget.
“Mengapa Baginda menunda kemenangan telak yang sudah tinggal ditelan? Takut kalah?”
Semar menjawab: “Sorry, Bung, Baginda itu kesatria sejati. Kalah pun beliau tidak takut. Apalagi menang. Hanya seperti dalam epos Mahabharata yang dibawa keliling dunia oleh Peter Brook, dalam episode Bharatayudha ternyata kalah jadi arang menang jadi abu. Perang membawa kemuliaan bagi pemimpin, tapi menyengsarakan rakyat. Itulah sebabnya, Baginda lebih suka damai. Supaya rakyat jangan jadi korban, apalagi formula damai itu ternyata murah dan mudah.”
“Masak?”
“Lho, belum buka Youtube, ya?”
“Ada apa?”
“Barusan diumumkan putra Baginda dan putri musuh kita bertunangan!”
“Masak?”
“Ya! Itu sudah viral!”
“Jadi tak jadi perang?”
“Untuk apa lagi perang sama besan! Kita kan cs. Rakyat tidak boleh dikorbankan hanya untuk kepentingan pemimpin.”
“Jadi berdamai kita dengan musuh?”
“Musuh apaan! Kan sudah besanan. Tunggu!”
“O. Takut kalah, lalu buruan pakai diplomasi syahwat. Supaya enggak malu…? Kuno!”
Semar tersenyum.
“Memang kelihatannya kuno. Tapi coba disimak di balik kekunoannya itu ada kemuliaan yang sangat luhur. Tunggu sebentar sampai Eyang selesai bicara! Baginda tak peduli akan dituduh kuno karena bagi beliau keselamatan, kenyamanan bukan hanya untuk sebagian, tapi mutlak harus seluruh rakyat yang menikmatinya. Soalnya dan artinya apa gunanya menang kalau puluhan ribu rakyat terbunuh, luka, cedera, menderita, terganggu jiwanya seumur hidup? Apa gunanya menang kalau pembangunan dan pengorbanan yang dipersembahkan puluhan tahun untuk bangsa negara dan rakyat rontok jadi puing oleh perang? Tunggu sebentar lagi. Apa gunanya menang kalau setelah menang kita mati jiwa untuk meneruskan pembangunan yang dikoyak-koyak perang,” terang Semar.
Ia kemudian melanjutkan, “Kekuatan apa lagi yang tersisa kalau amunisi batin sudah terkuras. Kita akan layu, ingin pensiun dini. Lupa menjaga negara, lupa, ini yang paling penting, lupa bahwa di sekitar kita penuh serigala raja-raja kecil yang haus kekuasaan yang sudah bertahun-tahun ngiler netes air liurnya, melihat negeri kita yang kaya raya, sementara mereka makan batu dan tai. Mereka yang selama ini menekan perasaan irinya, begitu mereka melihat kita teler karena baru habis berperang, mereka akan langsung mencaplok kita habis-habisan. Mereka akan menyerbu dan dengan buas rakus kejam keji, mengunyah kita hidup-hidup, melampiaskan dendam kesumatnya. Jadi karena itulah menurut Baginda, serigala-serigala itulah sejatinya musuh kita terkeji dan paling berbahaya. Tak ubahnya seperti musuh dalam selimut. Ketika kita kuat, mereka menghindar pura-pura ketakutan, tapi begitu kita lemah, mereka kontan menelan kita tanpa dikunyah lagi…. Jadi dengan apa arrh dan lanteng mereja sjsn.hangav.enkntin kita berlaga merebhut tsng membhat tebsga kuta terkuras dan lakau. Nah. Di saat itulah mereka tikus tikyus cerurutijtu akan seebsk perutnya mesksp kita… huss.”
“Apa? Jangan ngedumel Eyang Semar!”
“Maaf keselek. Jadi itulah yang ingin Baginda cegah terjadi. Sama sekali bukan untuk apa yang disinyalir sebagai melestarikan dinasti. Bukan! Jauh dari hasrat kemaruk itu. Tetapi karena masa lalu kita tercontreng gelap oleh praktik penegakan dinasti yang prosesnya tidak peduli berapa banyak darah tumpah, berapa besar citra keadilan kebenaran dilukai dan demokrasi ditipu sehingga banyak dari kita bengong, bingung, bego, marah kecewa, meringis dan menangis sedih heran pada Baginda idolanya kok mendadak ngerem, ngetem, mendadak berbelok? Ono uopo iki, Tole? Tapi Baginda, tetap kalem karena saat ini yang penting adalah mengunci semua jalan tikus yang memungkinķan segala macam, macan serigala dan tikus berpeluang masuk yang pasti akan membawa penderitaan bagi rakyat kabeh. Artinya Baginda mempertaruhkan…. Tunggu beberapa kalimat lagi. Dengan cara seakan ingin melestarikan dinastinya dengan mengawinkan putranya dengan putri musuh itu kamuflase, supaya musuh bebuyutan dan para tikus dan serigala terkunci…. Jadi….”
Aku terbangun. Istri dan anakku sudah pulang dari PI Mall.
“Bang, bangun, udah siang, ini tak bawain ketoprak!
Tanganku ditarik untuk menerima pesananku.
“Cepat makan, langsung minum obat. Belum makan apa-apa? Ayo makan dulu. Sudah tahu kan pembunuh misterius di Subang itu? Sudah ketemu. Ternyata betul kata yang kesurupan. Suaminya sendiri. Hebat sekali aktingnya!”
Aku masih teler. Belum bisa fokus pada ketoprak favorit. Aku mencoba mencari kelanjutan cerita Semar yang terpotong tadi.
Istriku menghampiri.
“Gimana? Tak enak ketopraknya? Si mamang langganan kita, kata mereka, masih pulang kampung. Ini dari tempat lain. Enak.”
“Aku baru ketemu Semar….”
“Apa?”
“Dia bilang….”
“Siapa? Semar?”
“Ya. Dia bilang bukan begitu, meskipun tampaknya seperti itu, tapi sebenarnya bukan!”
“Bukan! Apa yang bukan?”
“Ya, bukan!”
“Apa yang bukan!?”
“Yang tampak itu sebenarnya hanya kamuflase untuk mengecoh mereka, menunggu kita kecewa pada putusan Baginda terpecah belah dari dalam. Pasti mereka hanya akan menunggu tidak lagi rese merepotkan seoerti biassnya. Terkunci. Musuh bebuyutan terkumci. Para serigala pun setali tiga ussng. Semua terkunci! Itulah kemenangan akbar yang indah yang dahsyat tanpa menyakiti tanpa kehilangan pejuang dan zonder kesengsaraan. Bekal llmendarat di tahun 2045 yang serba emas 24 karat. ….Itu kata Pak Semart!”
Istriku bengong. Dia menatapku, suaminya yang pasti disangkanya disergap serangan pendarahan otak kembali. Lalu dia menggapai tangan anak kami sambil menunjuk ke arahku.
Dede yang sudah berpengalaman menjagaku di RS ketika dirawat intensif selama 2 bulan penuh langsung bertindak.
“Aku juga tadi ketemu dia di PI Mall ketika mengantar Ibu beli obat.”
“Ketemu siapa?”
“Yang bapak sebut tadi itu!”
Aku terkejut.
“Semar?”
Istriku menggapai tangan Dede, tetapi Dede sudah menjawab tegas.
“Ya! Semar!”
Aku tak percaya.
“Masak?”
Istriku kembali mencolek, tapi Dede menjawab lebih tegas lagi.
“Untuk apa aku bohong!”
Aku bingung. Lalu bercanda.
“Dia bilang apa?”
Anakku tertegun. Aku mulai mau tertawa. Tapi kemudian dia menjawab tenang sekali.
“Jangan percaya pada apa yang kamu percaya saja, karena kamu tak tahu selengkapnya. Tetapi percayailah apa yang nanti dicatat oleh sejarah sendiri, yang ditulisnya sendiri bukan lewat tangan siapa pun yang pasti berpihak pada kepentingannya sendiri….”
Aku terkejut. Itu kalimat yang sering aku lempar pada dia. Tetapi ketika kalimat itu meloncat balik keluar dari mulutnya pada saat yang jitu, jadi kalimat gaib yang menskak mati aku.
Tanpa menjawab lagi aku kembali meloncat ke tempat tidur. Istriku berteriak.
“Bang! Jangan tidur lagi! Makan dulu terus minum obat! Supaya jangan halu terus!”
“Nanti saja! Aku harus bilang sama Semar: Jangan percaya… pada apa yang kamu percaya saja, karena kamu tak tahu selengkapnya. Tetapi percayailah apa yang nanti dicatat oleh sejarah sendiri yang ditulisnya sendiri bukan lewat tangan siapa pun yang pasti berpihak pada kepentingannya sendiri…, untuk sementara, tapi!” ***
.
.
Putu Wijaya, bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya asal Puri Anom, Tabanan, Bali. Penulis karya-karya teror mental, dengan konsep kerja Bertolak dari yang Ada. Sutradara teater, film, dan sinetron. Lulusan Fakultas Hukum UGM yang dapat Dr HC dari ISI Yogya. Karya-karya barunya: tetralogi DangDut, Jprut, Hahaha, Jreng (penerbit Basa Basi Yogya). Baru saja dapat penghargaan dari Ubud Writer Festival, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Komunitas Satu Pena.
Tjandra Hutama, lahir di Gianyar, 12 April 1981. Dia mengawali hobinya bermain visual saat menjalani kuliah Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di tahun 2000. Tak kurang dari 58 kali dia ikut pameran. Puluhan kali memenangi lomba foto dan logo antara lain juara pertama ICNT Herritage Photo Contest 2017, serta juara pertama Lomba Desain Logo “Badung Bersih Hijau dan Berbunga” Kabupaten Badung, 2011.
.
.
halub©
Boleh boleh, kakap tetap produktif!
Anonymous
ini cerita apaan, saya tidak mengerti ! sangat buruk