Mardi Luhung

Keluarga “Z”

0
(0)

Cerpen Mardi Luhung (Jawa Pos, 27 Mei 2012)

I
AKU kini berumur empat puluh enam tahun. Sudah berkeluarga. Sudah punya tiga anak. Dan satu istri. Satu istri? Ya, aku punya satu istri. Padahal, semasa muda dulu, aku berkeinginan punya istri lebih dari satu. Tapi, ketika aku melihat ada tetanggaku punya istri dua, dan kebetulan keduanya bersamaan hamil,  aku jadi mengkeret. Ternyata punya istri lebih dari satu itu minta ampun susahnya.
Kenapa? Karena, pada saat itu, tetanggaku begitu terpontang-panting. Sore ke istri muda, agak malam ke istri tua. Larut malam balik ke istri muda. Dan agak pagi balik lagi ke istri tua. Tentu saja, tetanggaku jadi payah. Dan itu berulang hampir setengah tahun. Sampai kedua istrinya melahirkan. Sampai tetanggaku (setelah kedua istrinya melahirkan) jatuh sakit. Untung saja tidak mati.
Lalu, tentang tiga anakku, hmm… mereka adalah anak-anak yang aneh. Bahkan kadang-kadang aku merasa jika ketiga anakku ini punya hobi yang tidak masuk akal. Yang besar, nomor satu, perempuan (misalnya) kini sudah kuliah. Kerjanya setiap waktu menghitung. Apa saja dihitung. Termasuk menghitung uban yang tumbuh penuh di kepalaku.
“Ayah, bagaimana jika dicabut?”
“Jangan.”
“Sehelai uban seratus rupiah.”
“Apa?”
“Sehelai uban seratus rupiah, Ayah!”
Gila, begitu sentakku. Karena aku tahu, kalau itu kusetujui maka aku akan gundul. Dan itu belum termasuk berapa rupiah yang harus kubayarkan padanya. Ya, ya, coba dihitung, berapa jumlah uban di rambutku. Lalu kalikan per helainya seratus rupiah. Banyak bukan? Dan mana mungkin aku mau membayarnya. Apalagi hasilnya adalah gundul!
Dan meski anakku itu merajuk, aku tetap tak mau. Dan agar hobinya menghitung itu tidak selalu menyasar ke ubanku, maka aku pun meminta bantuan pada anakku yang nomor tiga. Anakku yang bungsu, masih kelas sepuluh SMA, juga perempuan, dan punya hobi melukis. Terutama melukis pemandangan. Tapi ingat, pemandangan yang dilukis juga aneh. Bayangkan saja, tiba-tiba dia melukis matahari besar. Buminya kecil. Warnanya? Ya, warnanya hampir semuanya hijau. Hijau menyala. Hijau tua. Hijau semu kuning. Bahkan ada juga yang hijau kehitam-hitaman.
“Kok, gini?” tanyaku.
Tapi anakku yang bungsu itu tak menjawab. Cuma melirik.
“Kok, gini?” tanyaku lagi.
Kembali anakku tak menjawab. Terus membalikkan lukisannya itu. Di balik lukisannya itu ada tulisan: Jangan ditanya judulnya, sebab ini kita! Ya, ya, aku paham. Aku tak akan bertanya. Sebab ternyata judul lukisannya itu adalah seperti itu. Yaitu tak boleh ditanya. Aku pun menggeleng-gelengkan kepala. Dan sambil melirik mejanya yang awut-awutan, aku melihat beberapa buku. Dari judulnya, aku tahu, jika buku-buku itu berisi tentang lingkungan hidup, cara bertanam tembakau, juga, astaga, ramalan tentang hari kiamat. Hari kiamat, yang di kulit muka buku itu digambarkan dengan bumi yang porak-poranda. Langit yang gelap. Dan tangan-tangan yang bergelayutan. Ngeri!
“Jadi, Ayah minta rambutnya disemir?”
“Ya, yang pas dengan umur Ayah. Asal jangan terlalu hitam. Malu.
Anakku pun terdiam. Terus mengamati aku.
“Baiklah. Besok malam saja. Biar setelah disemir Ayah bisa tidur. Dan paginya kering.”
Aku menerima tawaran anakku itu. Dan besok malamnya anakku yang bungsu menyemir rambutku. Saat menyemir, anakku yang nomor dua, lelaki, duduk di kelas dua belas SMA, itu cengar-cengir. Tapi apa yang tak beres? Aku tak tahu. Yang jelas pagi-pagi sekali ketika aku bangun, aku terkejut. Sebab rambutku yang semula putih, putih uban, kini telah menjelma jadi hijau. Hijau menyala. Persis rambutnya makhluk luar angkasa.
“Loh kok jadi begini?” kataku.
“Katanya tak mau terlalu hitam.”
“Tapi?”
“Ya, aku pilihkan warna hijau. Hijau yang akan menyuburkan bumi,” jawab anakku yang menyemir itu ringkas.
Aku terperangah. Sedangkan anakku yang nomor dua, lelaki, yang sedang bersiap-siap sekolah, cuma ketawa. Sedangkan istriku yang baru tahu jika rambutku telah berubah warna menjadi hijau menyala pun ikut-ikutan ketawa. Dan pagi itu, aku merasa adalah pagi yang paling ganjil yang aku alami. Coba bayangkan, bagaimana tidak ganjil, seorang lelaki, berumur empat puluh enam tahun, kepala rumah tangga, tiba-tiba berambut hijau menyala. Akhirnya nasib pun membawaku pada situasi yang tidak aku suka. Situasi di mana aku terpaksa gundul!
II
Aku gundul? Ya, aku kini gundul. Dan selama aku gundul, aku mengalami tiga peristiwa yang mengejutkan. Pertama, aku ditegur oleh kepala kantorku.  Kata kepala kantorku: “Kenapa Bapak kok gundul. Masa sebagai kepala bagian gundul?” Tentu saja, aku mesti mencari alasan yang tepat untuk menjawab. Dan tentu saja aku juga tak menceritakan peristiwa rambut hijauku. Aku hanya bilang: “Maaf, Pak, rasanya belakangan kepalaku terus-menerus pening. Aku takut ada penyakit yang tak aku ketahui jika tak segera aku gundul.”
“Sudah diperiksakan?”
Aku menggeleng.
“Ayolah, tak apa kok. Segera nanti malam diperiksakan,” potong kepala kantorku. Sambil menyodorkan amplop. Aku tahu isi amplop itu adalah uang. Uang yang memang hak diriku jika sakit.
“Jika sudah periksa, tolong notanya diberikan kepada bendahara. Sekarang, silahkan Bapak bekerja lagi. Dan hari itu aku bekerja dengan gembira. Ternyata kegundulanku membawa berkah. Dan pastilah nanti malam aku akan mendatangi temanku yang dokter itu. Seperti biasa, aku akan kontrol. Meminta resep untuk membeli vitamin. Juga nota kosong yang akan aku isi sendiri. Yang besar kecilnya akan aku atur agar tak mencolok.
Malamnya, setelah pergi ke dokter. Dapat nota. Dan mengisinya. Aku pun sudah duduk di warung gule kesukaanku. Aku memesan seporsi sate, gule, dan nasi putih. Setelah semua habis ke perutku, aku meminum kopi dan merokok. Nah, saat inilah, peristiwa yang kedua itu pun mendatangiku. Yaitu, entah darimana datangnya, tahu-tahu anakku yang nomor dua, lelaki itu, telah ada di hadapanku. Dia cengar-cengir. Matanya pun penuh tanda tanya.
“Hayo, lagi ngapain?” katanya.
Aku melongo.
“Ayah kok melongo?”
“Kau dari mana?”
“Alah, Ayah kok jadi begini. Bagilah, daripada…?”
“Ssstt!” segera aku sela dia. Dan aku sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Aku mengambil selembar sepuluh ribuan.
“Masak segitu?”
“Maumu berapa? Ayah tak punya uang.”
“Ha ha ha… atau?”
Kembali aku mengambil sepulu ribuan. Jadi genap dua puluh ribu. Aku berikan pada dia.
“Ini baru beres. Dan aku pasti tak bercerita pada ibu,” tandas anakku. Terus pergi. Hilang di keramaian jalan. Aku pun menghela nafas. Dan memang, di umur empat puluh enam tahun ini, aku mesti mengurangi makanan dan minuman yang membahayakan kesehatanku. Terutama yang gampang untuk menyulut kolesterol. Seperti sate dan gule. Dan juga, karena setahun yang lalu aku pernah batuk darah, maka tentu saja rokok dan kopi pun menjadi pantanganku.
Dan biasanya, yang paling bawel untuk mengingatkan tentang pantangan maka dan minumanku itu adalah istriku. Dan jika sudah mengingatkan, alamak, minta ampunlah aku. Suaranya yang keras, yang tak berhenti itu, berebutan seperti tak kenal akhir. Habis yang ini pasti mengambil yang itu. Dan habis yang itu pasti akan mengambil yang lainnya. Dan ini, bagi anakku yang nomor dua, yang lelaki itu, perlu ditimpali dengan cengar-cengir. Malah-malah, tanpa sepengetahuan istriku, diacung-acungkan jempolnya ke arahku. Aku gemas. Mau marah. Tapi kok malah tersenyum. Jadinya, dengan kebat aku pun keluar rumah. Dan ketawa dengan keras setiba di tikungan gang.
“Mas, Mas, selama masih gundul, jangan tidur di kamar ya?” itu kata istriku sesampai aku di rumah. Dan lewat perkataannya ini maka peristiwa ketiga yang menghampiriku genap sudah. Tentu saja aku melongo. Dan anakku yang nomor satu, yang kebetulan ikut mendengarnya, pun terkejut. Tapi cepat-cepat melengos. Terus kabur ke kamarnya. Menahan sesuatu.
“Kok begitu, Dik?” tanyaku.
“Iya, karena aku tak mau tidur dengan tuyul. Tuyul besar.”
Dan memang aku tak bisa menolak atau mendebatnya. Karena aku tahu jika istriku sudah berkata begitu pasti akan melaksanakannya. Dan malam itu, juga malam-malam yang hampir tiga mingguan, aku pun tidur di ruang tamu. Tentu saja aku jengkel. Apalagi tiga anakku yang aneh-aneh itu kerap mengeluarkan godaan-godaan yang menjengkelkan.
“Aduh, rumah kita kan ada penjaganya,” seloroh si nomor dua.
“Tuyul besar kan,” sahut si bungsu.
“Tuyul yang berdosa pada rambut hijaunya,” jawab si nomor satu.
“Bukan, bukan tuyul. Tapi…,” potong si nomor dua, sambil melirik padaku. Tentu saja aku melotot. Dan brrrhhh, tiga anakku pun berlesatan. Berlesatan dengan tawa masing-masing. Antara jengkel dan lucu aku cuma berlagak marah. Brrrhhh! Gawat!
III
Malam ini adalah malam kesekian aku tidur di ruang tamu. Tidur sendiri. Istriku tidur di kamarnya. Juga tiga anakku. Entah kenapa, ketika aku tidur di ruang tamu ini, perasaanku kok jadi lapang. Apakah karena aku tak terganggu dengan dengkur istriku yang seperti gergaji listrik itu. Atau karena aku lebih gampang untuk berkhayal? Sekali lagi aku tak tahu. Yang jelas, setiap malam aku (selama tidur di ruang tamu) selalu berkhayal tentang hidupku. Hidup yang telah berumur empat puluh enam tahun, punya tiga anak dan satu istri. Hidup yang begitu fantastis dan tak masuk akal.
Sebab, bayangkan saja, bagaimana bisa masuk akal jika tiba-tiba saja apa yang aku hadapi jadi berbeda dengan apa yang aku pikirkan semasa muda. Jika dulu berkeinginan punya istri lebih dari satu, kini malah mengkeret. Sebab, untuk istri yang satu ini saja bawelnya kelewatan. Sedangkan untuk anak-anak? Aku dulu ingin punya anak yang baik, sopan, dan patuh. Tapi nyatanya, kalian tahu sendiri bukan, semua anakku adalah anak-anak yang aneh. Yang masing-masing punya hobi yang tak masuk akal.
Tapi, ya sudahlah. Aku pikir ini sudah jalan hidupku. Jadi aku syukuri saja. Lagian, aku lihat, istri dan tiga anakku pun mencintaiku. Mencintaiku dengan cara mereka sendiri. Bahkan, lewat cinta cara mereka itu, aku merasa trenyuh. Kenapa? Karena tanpa sepengetahuanku, setiap malam (ketika aku tidur di ruang tamu itu juga), tiga anakku bergantian mengontrol tidurku. Dan jika selimutku melorot pasti dibetulkannya. Dan jika ada nyamuk yang menggigit tubuhku pasti diusirnya. Dan itu baru aku ketahui ketika aku tidak lagi gundul. Istriku kembali membolehkan aku kembali tidur di kamar. Dan kami pun berbicara seperti ini:
“Mas, kau tahu siapa yang membetulkan selimutmu ketika itu?”
Aku menggeleng.
“Yang memasang obat nyamuk di bawah kursi?”
Aku menggeleng.
“Yang mengusir nyamuk ketika menggigitmu?”
Aku menggeleng.
“Hmmm…,” istriku mengelus mesra rambut ubanku, “itu semua dilakukan tiga anakmu secara bergantian.” Aku tercekat. Tapi terus diam-diam tersenyum. Sebab, barangkali itu adalah jawaban dari mimpiku ketika tidur di ruang tamu. Yaitu, sering bermimpi tentang bulan yang terbelah jadi tiga. Dan ketika bangun tidur, uang recehan yang aku letakkan di atas meja pun selalu saja hilang entah kemana. (*)
.
.

Loading

5 Comments

  1. Mantap…
    Daya humor tingkat tinggi, senyum2 sendiri dibuatnya
    😛

  2. Mantap….di bikin ketawa aku di buatnya :))

  3. Cerprn terlucu yang berlapis makna….

  4. Waaahhh…aku suka kepolosan dalam kata-kata Mas Mardi ini. Serasa obrolan yang ringan dan renyah. Sedikit senyum tersungging berkali-kali di bibirku ini. Yahuuuddd! 😀

  5. Renyah banget cerpennya.. lucunya alami. Bikin ketawa sendiri.

Leave a Reply

error: Content is protected !!