Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 31 Desember 2023)
mi-ré-do-sol …
sol-mi-ré-do!
ITULAH nada yang selalu terdengar di stasiun. Kereta listrik datang. Kereta listrik pergi. Waktu melebur nasib dan menebarkannya ke mana-mana. Nasib baik, nasib buruk, siapa bisa menghindarinya?
Ada yang setiap hari naik kereta listrik itu, dan pada suatu hari tidak pernah muncul lagi.
Ada yang baru pertama kali naik kereta listrik itu, tetapi juga tidak pernah kembali.
Padahal seseorang telah menunggunya di stasiun itu, dari sore sampai malam, ketika kereta listrik menumpahkan orang-orang yang pulang.
Benarkah semua orang ingin pulang, meskipun tetap pulang, tetapi meninggalkan jiwanya di dalam kereta listrik itu, mengembara sampai rel itu berakhir atau tidak pernah berakhir di suatu tempat entah di mana.
Tubuh yang mengembara bisa dilacak. Jiwa yang mengembara, bagaimanakah cara melacaknya?
Maka ia pun hanya bisa datang setiap hari ke stasiun itu untuk menunggu.
Disaksikannya semua orang yang berangkat dan kembali. Setiap orang yang diperhatikannya berangkat memang akhirnya kembali.
Namun yang ditunggunya belum juga pulang. Kapan dia mau pulang. Kapan.
***
Di setiap stasiun dia selalu turun, tetapi dia selalu keliru.
Stasiun-stasiun memang bermiripan. Namun tidakkah nama tempat stasiun itu berbeda-beda? Dia memang mempunyai tujuan, tetapi dia tidak tahu di mana tempat tujuan itu berada.
Setiap kali turun dia memang merasa stasiun itu seperti tempat yang menjadi tujuannya, meskipun ternyata bukan.
Pada semua stasiun itu terdapat kafe, tempat orang bisa menunggu sambil minum kopi, seperti tempat yang menjadi tujuannya, tetapi orang-orang yang minum kopi dan barangkali juga menunggu di setiap kafe pada setiap stasiun itu tidak dikenalinya.
Mereka memang juga menunggu, tetapi barangkali menunggu seseorang yang lain.
Tentu bisa saja orang-orang yang menunggu sambil minum kopi dalam senja yang memerahkan langit itu sekadar menunggu kereta listrik yang akan datang.
Selalu ada kereta listrik yang akan berhenti untuk menurunkan orang-orang dan berangkat lagi setelah orang-orang menaikinya untuk menuju ke suatu tempat tujuan di sepanjang rel. Namun dia sendiri tak tahu di mana tempat tujuannya itu.
Ada kalanya dia pun menunggu di sebuah kafe pada suatu stasiun. Siapa tahu orang yang semestinya menunggu itu memang terlambat dan dirinya datang lebih dulu.
Biar aku saja yang menunggu, pikirnya.
Maka dia pun menunggu. Kereta listrik tiba. Orang-orang turun. Orang-orang naik. Kereta listrik berangkat.
Dia terus menunggu, sambil memandang gambar di permukaan kopinya yang belum juga diminum.
Apakah orang-orang itu sadar, pikirnya lagi, betapa mereka melakukan kegiatan yang selalu sama setiap saat setiap hari setiap minggu setiap tahun?
Berangkat. Pulang. Berangkat. Pulang. Bisakah kita berangkat tanpa pernah pulang? Bisakah kita pulang tanpa pernah berangkat lagi?
***
“Apaan sih?”
“Apanya yang apaan?”
“Pokoknya aku nggak mau yang satu itu terpilih, aku memilih yang lain bukan karena aku lebih suka doi, tapi supaya si méhong nggak kepilih aja! Jelazzzz?”
“Émang itu mangsud daripada demokrasi?”
“Hmm….”
Pada kloset yang pintu biliknya terkunci, seseorang duduk tanpa nyawa lagi. Belum ada seorangpun yang tahu, termasuk dirinya sendiri. Orang ini tidak akan pernah berangkat lagi. Tidak akan pernah pulang ke mana pun lagi.
***
“Kopinya enak ya?”
“Enak….”
“Mending ngopi ketimbang patah hati kan?”
“Émang nggak bisé ngopi bari patah hati?”
“Ya bisé, tapinyah pan kurang kerjaan kalau kopinya udé énak atinyé paké paté lagéh.”
“Lhah pegimané kite ngaturnyé kalow pas ngopi ntu orang nggak lagi paté atinyé?”
“Héhéhéhé. Jangan terlalu serius, Bung!”
***
“Kopinya enak ya?”
“Enak.…”
“Toraja?”
“Bukan.”
“Papua?”
“Bukan.”
“Sidikalang?”
“Bukan.”
“Bali?”
“Bukan.”
“Flores?”
“Bukan.”
“Temanggung?”
“Bukan.”
“Timor Leste?”
“Bukan.”
“Aceh kalau begitu?”
“Bu-hu-kan.”
“Kopi apa dong? Kopi luwak?”
“Nggak tau.”
“Lho!”
***
“Kopinya enak ya?”
“…………………………..”
“…………………………..”
Ke dalam stasiun masuk sejumlah orang membawa keranda jenazah. Semua orang punya kartu, jadi semua orang bisa masuk.
“Bentar, bentar, bentar …” Satpam mencegat, “itu keranda ada isinya?”
“Ada dong? Kan jelas ditutupi kain.”
“Itu bukan jaminan kalau pasti ada jenazahnya.”
“Silakan dibuka kalau mau.”
“Nggak usahlah. Jenazah tidak boleh masuk gerbong!”
“Apa kami mesti jalan kaki ke kuburan di tempat tujuan?”
“Memangnya tidak bisa sewa ambulans?”
“Uang kami tidak cukup, Pak!”
“Kan bisa patungan sekampung!”
“Tidak bias, Pak!”
“Kenapa?”
“Almarhumah dikatakan punya dosa yang besar.”
“Busyèt, segedé apé?”
“Kata orang kampung sangat besar sampai tidak ada yang sudi datang melayat dan mendoakan.”
“Kalian ini siapa?”
“Saya bapaknya, yang tiga ini saudara-saudaranya, Pak.”
“Bapak sebagai bapaknya apakah tahu kesalahan almarhumah?”
“Tidak tahu juga, Pak.”
“Jadi mau dikubur di mana? Kenapa nggak di kampung sendiri saja? Dilarang juga? Maaf minggir dulu Pak, ini orang-orang mau lewat.…”
***
“Kopinya enak ya?”
“Itulah paradoks kopi.”
“Apé?”
“Pahit, tapi enak.”
“Héhéhéhé. Kalau hidup yang pahit, enak nggak?”
“Héhéhéhé!”
***
Malam menghapus langit merah menjadi kehitaman terpekat tanpa bintang. Hanya lampu listrik di stasiun itu, dan seseorang yang menunggu. Siapakah yang ditunggunya? Adakah orangnya? Orang-orang yang turun dari kereta listrik mengalir seperti air. Setiap kali ia berdiri dan keluar dari kafe, agar orang yang ditunggu bisa melihatnya.
Orang-orang mengalir. Orang-orang melihatnya. Namun tiada seorang pun yang berhenti dan menyapanya.
Wajahnya tidak seperti kecewa. Seperti kekecewaannya sudah habis, sama seperti air mata yang mengering tanpa kedukaan harus berhenti. Ia kembali ke tempat duduknya dan menunggu.
Selama menunggu ia teringat laut, hempasan ombak di pasir pantai yang keemasan memantulkan langit, dalam deru angin yang bagai tidak akan pernah berhenti bertiup, walau yang selalu didengarnya adalah suara kereta listrik.
Malam gelap, langit yang diingatnya sungguh cemerlang.
***
Beberapa tahun kemudian, pada malam yang sama pekatnya, dari kereta listrik terakhir, setelah orang-orang yang turun dan mengalir keluar stasiun habis, dia memasuki kafe itu.
Sepi. Untuk beberapa jam tidak ada lagi kereta listrik yang akan lewat.
Di dalam kafe, dia duduk di tempat ia selalu duduk. Sudah beberapa lama ia tidak muncul di kafe itu.
Setelah kafe itu tutup dia akan datang lagi besoknya. Dia memutuskan untuk menunggu.
Apakah dia memang menunggunya, dan bukan seseorang yang lain?
Apakah ia memang menunggunya, dan bukan seseorang yang lain?
***
Ada croissant dijual di sejumlah kafe di stasiun-stasiun sepanjang rel itu. Penganan itu remah-remahnya selalu mengotori baju, seolah-olah cita rasanya ditentukan oleh banyak tidaknya remah-remah itu.
Rasanya jarang terdengar orang mengeja kata croissant ini dengan baik dan benar, termasuk penjualnya.
mi-ré-do-sol …
sol-mi-ré-do!
Itulah nada yang selalu terdengar di stasiun … ***
.
.
Pondok Ranji-Cikini-Bintaro, Juni-Oktober 2023.
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan tahun 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977, kini tergabung bersama panajournal.com. Menulis fiksi maupun nonfiksi, dalam media massa, media sosial, maupun jurnal ilmiah; mendapat sejumlah penghargaan sastra, mengajar di berbagai perguruan tinggi.
Hari Budiono, lulusan Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, tahun 1985. Selain sebagai pelukis, ia pernah menjadi wartawan Majalah Jakarta-Jakarta di Jakarta, dan Redaktur Foto di Harian Bernas, Yogyakarta. Kini menjadi Redaktur Artistik Majalah Budaya Basis di Yogyakarta. Menjadi kurator Bentara Budaya, Lembaga kebudayaan Kelompok Kompas-Gramedia, dalam kurun waktu antara 1982 hingga 2020.
.
Mi-Ré-Do-Sol … Sol-Mi-Ré-Do! Mi-Ré-Do-Sol … Sol-Mi-Ré-Do! Mi-Ré-Do-Sol … Sol-Mi-Ré-Do! Mi-Ré-Do-Sol … Sol-Mi-Ré-Do! Mi-Ré-Do-Sol … Sol-Mi-Ré-Do!
Dom
Kalau bukan ditulis Seno, apakah cerpen ini bakal dimuat Kompas?
Hy
Bener juga ya, kira” dimuat gak ya wkwkwk
MZ
makna dari cerpen ini apa sih? kok pusing mencernanya