Cerpen Ranang Aji SP (Kompas, 07 Januari 2024)
1
SETELAH gagal menjadi anggota dewan dalam pemilu bersama Partai Murba di tahun 1971, ayahku dijemput militer di tempatnya mengajar di sebuah sekolah menengah pertama. Murid-muridnya berjajar di depan kelas mengantarnya dengan rasa bingung. Para guru berdiri di antara pintu kantor dan kelas, dan salah seorang di antaranya menduga ayahku adalah kriminal. Saat itu ayahku berjalan dengan diapit dua tentara menuju Jeep yang menunggu dengan beku. Suara berdesis muncul dari pohon waru dan merontokkan daunnya yang menguning di halaman sekolah. Sehari setelah kejadian itu, seorang teman mengajar ayahku mengabari ibuku yang langsung pingsan. Tapi kemudian, ayahku pulang saat fajar menyembul. “Tak apa-apa,” katanya. “Hanya salah paham.” Ibuku menjadi tenang ketika ayahku kembali mengajar seperti biasa.
2
Ketika lahir di malam bulan Mei 1980, beratku hanya 1,5 kg dengan kulit mengkerut berwarna kuning seperti kulit jeruk kering. Seorang perempuan yang membantu bidan muntah setelah mencium aroma busuk yang berasal dari cairan yang lengket di kulitku. Sementara ibuku pingsan akibat pendarahan parah, aku diletakkan di dalam baskom berisi air hangat. Tak jauh dari rumah bersalin, malam itu, anjing menggonggong keras bersaing dengan tangisku. Di persimpangan jalan, esok paginya, penjual sayur yang lewat usai dari pasar menemukan mayat pria bertato menggeletak di pinggir jalan. Ayahku mengaku mengenal pria malang itu sebagai bandar klotok. Sehari kemudian ditemukan lagi mayat di sudut kota. Tubuhnya telungkup di samping bak sampah dengan darah menggenang dan di atasnya lalat-lalat berputaran. Di tahun itu, kriminal merajalela.
3
Surat keputusan pensiun dini diterima ayahku di tahun 1982. “Kenapa pensiun muda?” Ibuku bertanya, setelah menyuguhkan kopi kental manis. Ayahku tak segera menjawab, tetapi juga tak segera meminum kopinya. Wajahnya kuyu dengan tubuh lunglai dalam balutan kemeja safari abu-abu. Ayahku belum berbicara ketika seorang tetangga datang membawa semangkok sup, dan meminjam uang sepuluh ribu pada ibuku ketika di dapur. Ibuku datang pada ayahku dan meminta uang dua puluh ribu. Katanya, Bu Maryam butuh uang untuk membayar tagihan. “Kasihan,” ujar ibuku. Ayahku tak menjawab, tapi dia berdiri dan mengambil dompetnya. Dia menyerahkan empat lembar uang kertas yang kumal. Setelah itu duduk kembali dengan mata merambang. “Aku dianggap PKI, makanya dipensiun dini.”
4
Usia lima belas di tahun 1995, usai membaca Kho Ping Hoo, karena terpesona oleh pendekar Jai Hwa Cat, “pendekar pemetik bunga”, aku mencoba menarik perhatian seorang gadis. Namanya Fatimah. Pipinya halus dan putih dengan mata seperti bintang fajar yang cermelang. Rambutnya hitam dan panjang hingga nyaris menyentuh pantatnya bila diurai. Tapi rambutnya lebih sering dikepang dua. Setiap pagi, aku berdiri di pinggir jalan. Setelah dia lewat di depanku saat berangkat sekolah, aku segera naik bis menuju sekolah. Setelah sebulan, aku sadar aku telah gagal memahami keadaan. Kejadian pertama, aku melihatnya berjalan melewatiku bersama seorang bocah tampan. Seolah mengejekku, bocah itu melirikku dengan sorotan yang merusak denyut jantungku. Sehari kemudian, kejadian kedua terjadi, dengan napas dan membara oleh perasaan yang rusak, aku memukulnya tepat di mukanya yang tampan. Seminggu kemudian setelah sembunyi dari Fatimah, seorang temanku bertanya, “Kenapa kamu pukul kakak Fatimah?”
5
Suatu malam di musim hujan di bulan Februari 1985, udara terasa dingin, dan suara hujan mengeras di atas genteng. Ketika aku tertidur di pelukan ibu karena lapar, ayahku masuk rumah dalam keadaan tubuh yang basah. Dia menyeka air dari mukanya, dan ibuku segera membawakan handuk. “Dari mana?” tanya ibuku kaget. “Kubelikan makanan,” kata ayahku. Ibuku bangkit dan memeriksa bungkusan yang dibawa ayah. Ibuku tertawa ketika ayahku tengah mengeringkan tubuhnya. Ketika aku terbangun, aku melihat mereka bergumul di lantai. Pagi harinya aku sarapan roti dan susu cokelat. Setelah beberapa tahun, aku sadar, sumber kebahagiaan itu adalah Porkas. Ayah memenangkan undiannya. Sejak itu ayahku semakin gila membeli kupon Porkas. Ayahku juga membuat rumus angka untuk prediksi setiap minggunya. Awalnya untuk sendiri, tetapi kemudian dijual pada orang-orang. Angka-angka yang ajaib itu dibeli dengan angka-angka yang direstui.
6
Ketika ayahku wafat di tahun 1997, ibuku tak menerima satu sen pun sebagai warisan. Tapi orang hidup harus terus bergerak, dan yang mati harus dikuburkan. Ibuku masih hidup, tapi dia merasa mati karena tak mampu bergerak untuk tetap hidup. Waktu itu, aku, mewakili ibu menyerahkan amplop berisi uang sholawatan pada orang-orang yang terlibat dalam penguburan ayah. Jumlahnya hampir lima puluh. Setiap amplop berisi sepuluh ribu rupiah. Setelah semua selesai, ibuku bicara padaku. Katanya, kamu harus bekerja untuk membayar utang. “Utang sama siapa, Bu?”
***
Malam itu, setelah diumumkan bahwa ayahku meninggal, para tetangga yang baik berdatangan untuk membantu atau mengucapkan belasungkawa. Pak Yasin bicara pada ibu untuk menentramkan.
“Semua sudah takdir Allah. Setiap manusia pasti akan mati. Bersabar dan berdoa saja agar kuburnya diluaskan seluas langit dan bumi.”
“Iya, terima kasih, Pak Yasin,” ujar ibuku.
“Paling penting harus diantar dengan sholawatan agar perjalanannya lancar.”
“Baik, Pak Yasin, terima kasih.”
“Sudah disiapkan amplopnya?”
“Saya tidak ada uang….”
Pak Yasin diam memandang ibu yang mukanya berkabut oleh duka dan rasa malu yang putus asa. “Tak apa,” kata Pak Yasin sesaat kemudian. “Tak usah terlalu dipikirkan. Nanti aku beri pinjaman satu juta.” Saat itu ibuku tidak menjawab. Wajahnya menunduk dan menangis.
7
Lek Parman datang menjemputku di rumah saat menjelang sore di bulan Januri 1998. Dia menemui ibuku dan mengatakan akan membawaku ke Jakarta. “Terima kasih sudah mengajak anakku bekerja,” kata ibuku senang. “Ini pekerjaan yang berat,” kata Lek Parman. “Tapi karena anakmu bersedia, aku minta izinmu.” Ibuku menangis ketika mengantarku di halaman. Dia banyak memberi nasihat yang membuatku bersedih. Aku tak ingin menangis, tapi mataku panas dan berlinang. Ini perpisahan pertamaku dari sisinya, dan tak bisa kubayangkan akan berapa lama. Ketika di dalam bus, tubuhku gemetar, bukan saja oleh mesin bis yang menyala, tetapi juga oleh bayangan tanah yang asing.
***
Rasa takjubku akan gedung-gedung bertingkat dan ramainya jalan oleh kendaraan bermesin menghilang ketika di hadapanku adalah tanah merah seluas lapangan bola yang di pinggirnya berdiri bedeng beratap terpal berwarna biru dan kotor. Di sepanjang garis pinggir lokasi tanahnya telah berlubang untuk fondasi gedung yang akan dibangun sepuluh lantai. Melihat itu jantungku berdetak cepat. Tubuhku tiba-tiba lemas. Langit menyala biru dan gedung-gedung di seberang seperti raksasa yang molek dan angkuh. “Tugasmu membantu menggali fondasi,” kata Lek Parman. Aku diam tak menjawab. Lek Parman menatapku melas. Kemudian dia menepuk pundakku dan bilang:
“Istirahatlah dulu di bedeng. Masuk angin kamu.”
8
Setelah pensiun dini, ayahku bekerja di sebuah perusahaan agrokultur di luar daerah. Sebagai supervisor, ayahku mengawasi seluruh pengepakan terong yang akan diekspor ke Jepang. Pekerjaannya tidak berat, kecuali bau pupuk kandang yang sering merusak selera makannya, dan gajinya yang kecil. Ayah pulang tak tentu waktu. Kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali. Setiap pulang, ibuku akan menyambutnya dengan masakan yang enak. Tapi uangnya hanya mampu bertahan seminggu. Karena itu, ayah mencoba mencari tambahan. Setahun kemudian, penghasilannya meningkat. Ayah setiap pulang membawakan majalah dan buku yang aku inginkan. Ibu juga menjadi lebih makmur. Tubuhnya berisi dengan pipi yang memerah. Setahun kemudian, di bulan November 1985, ayahku ditangkap polisi dan masuk penjara. Mereka menuduhnya telah menjual bibit padi ilegal. Kata ayah, bibit itu diciptakan petani sendiri, kenapa ilegal?
9
Di bulan April 1998, Jakarta memuai karena panas. Aku sudah bekerja selama sepekan. Karena tak biasa bekerja, tubuhku selalu demam akibat rasa lelah dan otot tubuh yang kaget. Para kuli tidur di bedeng seperti jemuran dendeng. Semuanya ada dua puluh orang. Fandi adalah salah satu temanku yang paling dekat. Usianya lima tahun lebih tua dariku. Dia selalu membantu dan suka mendengar ceritaku sambil memijitku. Di tempat ini, upah kuli dibayarkan setiap hari Sabtu. Koh Mekel yang biasanya membayar langsung. Fandi punya rencana mengajakku pergi ke Monas setelah bayaran. Tapi, Sabtu pagi itu, Koh Mekel didampingi Lek Parman, mengatakan minta maaf karena upah belum bisa diberikan. “Gini ya, ini masalahnya negara baru krisis, Bos lagi cari cara.” Para kuli berteriak protes, tapi ditenangkan Lek Parman. Seminggu kemudian hal yang sama terjadi. Sabtu ketiga, Koh Mekel tak berani datang. Lek Parman menjadi sasaran amarah para kuli yang menuntut bayar. Untungnya dia bisa memberi alasan dan menyadarkan mereka kalau dirinya bernasib sama. Aku sendiri terpukul dan putus asa karena tak sempat menerima bayaran. Malam itu Fandi mengajakku pergi tanpa pamit pada Lek Parman.
10
Saat kerusuhan terjadi di bulan Mei 1998, Fandi mengajakku berjalan kaki dari Depok ke Bogor. Sebelumnya aku mengatakan ingin pulang. “Kasihan ibuku,” kataku. “Tapi bagaimana caranya? Aku tak punya uang.” Fandi tertawa. Bibirnya yang hitam dan kering mengelupas bergerak-gerak menarik otot pipinya yang bergetar. Setelah dua jam berjalan, aku masih tak paham tujuan Fandi dan meminta untuk istirahat. “Kita mau ke mana?” “Saudaraku,” jawabnya sambil mengambil putung rokok di trotoar. Setelah menyalakan rokoknya, Fandi melihatku sekilas. “Tunggu sini,” katanya. Hampir satu jam Fandi meninggalkanku di bawah pohon akasia. Aku nyaris pergi ketika Fandi berlari ke arahku. Wajahnya basah oleh keringat yang berbau tanah. Dia menyeret tanganku ke seberang jalan dan menghentikan taksi. Dia minta sopir taksi pergi ke Terminal Depok. Di dalam taksi Fandi menyerahkan sejumlah uang. “Bawalah, naik bis apa saja nanti,” katanya. Aku ragu, tapi menerimanya. Dua hari kemudian, ketika aku sudah berada di rumah, televisi mengabarkan perampokan disertai pembunuhan. Pelakunya Fandi. ***
.
.
Ranang Aji SP, menulis fiksi dan nonfiksi. Cerpen ini ditulis dengan “Teknik Fraksionasi”. Memecah kesatuan cerita dalam fragmen-fragmen. Teknik ini diciptkan oleh penulis sendiri sebagai upaya menemukan bentuk baru.
Fatih Jagad Raya Aslami, lulusan Seni Rupa Universitas Pendidikan Bandung yang menggeluti animasi tiga dimensi. Sedikitnya telah berpameran 26 kali di dalam maupun luar negeri.
.
Sepuluh Kejadian. Sepuluh Kejadian. Sepuluh Kejadian. Sepuluh Kejadian. Sepuluh Kejadian. Sepuluh Kejadian.
Leave a Reply