Cerpen, Jawa Pos, Silvester Petara Hurit

Koda

Koda - Cerpen Silvester Petara Hurit

Koda ilustrasi Budiono/Jawa Pos

5
(1)

Cerpen Silvester Petara Hurit (Jawa Pos, 06 Januari 2024)

ORANG boleh membunuh raga mencabut nyawa, namun tak kuasa membinasakan koda. Koda menghadirkan dirinya kepada siapa ia berkenan. Orang-orang biasanya menantikan kehadirannya dalam setiap generasi. Kali ini ia mewujud di sekujur tubuh dan kesadaran Eba, anak berusia 3 tahun.

“Koda telah disimpan di dasar hati, di kedalaman sanubarinya. Tinggal waktunya ia akan menyembul ke luar seperti mata air. Mengalir tak habis-habis. Saya sudah melihat cahayanya,” kata Ba Sina tentang Eba.

Ketika hidup susah, kesulitan terus datang, orang mendoakan kelahiran baru dan berharap satu di antaranya diberkahi alam dan leluhur dengan koda.

“Jaga anak ini baik-baik. Jangan bawa dulu ke tempat ramai, apalagi ke kampung orang.” Itulah pesan terakhir Ba Sina beberapa hari sebelum ia menutup mata untuk selamanya. Ba Sina merasa tenang untuk pergi karena telah melihat tanda itu pada Eba. Bahwa telah lahir kekasih alam. Ia yang kepadanya alam berkenan. Padanya segenap kekuatan leluhur membenum.

Orang-orang di masa sebelum masuknya agama dari luar mengenal kehidupan melalui tanda-tanda alam. Ba Sina adalah generasi terakhir yang masih sangat percaya dan memandang suci koda. Orang sekolahan hari ini menyebutnya dengan puisi lisan. Namun, sebutan itu tak memadai. Koda lebih semacam sabda rahasia atau mantra yang diwahyukan alam.

Tipis sekali batas antara koda dan kenyataan. Ama Tueng menyaksikan dengan mata kepala sendiri waktu banjir besar 10 tahun silam. Gemuruh dari arah gunung begitu menakutkan. Ia mengikuti Ba Sina yang bergerak cepat seperti angin mendekat ke kaki gunung. Ba Sina merapalkan koda. Banjir terbelah jadi dua. Mengalir ke sisi terluar kampung. Ia mengambil ruren, sejenis suling ganda, memainkannya. Tak lama volume air turun sehingga tak sampai merusak kebun sayur warga yang membentang di pinggir pantai.

Tidak hanya itu. Ketika gerombolan besar tikus menghabisi ladang jagung milik warga 8 tahun silam, Ba Sina meminta dirinya menangkap hidup sepasang tikus paling besar untuk kemudian dibawa ke rumah adat. Kedua tikus tersebut diperlakukan sebagai raja dan ratu. Sepanjang malam ia minta warga berkumpul dan menari. Koda dikisahkan lewat nyanyian. Begitu fajar menyingsing, keduanya diarak dalam miniatur sampan berisi segala perbekalan menuju laut. Kembali ke tempatnya. Sejak itu tak seekor pun tikus terlihat di ladang warga.

Baca juga  Keluarga-Keluarga Kampang

Ketika menggendong untuk kali pertama bayinya, kepada roh gunung dan bukit-bukit Ama Tueng menyeru, “Semoga Eba tumbuh sekokoh gunung dan kebaikannya meluap sampai ke pantai. Napasnya seperti guntur kilat dan tenaganya gempa bumi.” Doa yang tak henti-henti ia panjatkan.

Setiap mendekap Eba berkelebat bayangan akan sekian kisah pengkhianatan terhadap leluhurnya. Terakhir terhadap Ama Nara kakeknya yang ditawan kompeni dan tak tahu kabar beritanya sampai hari ini. Menjaga dan memegang teguh koda bukan tanpa musuh. Kampung ibarat rumah. Penjaga koda adalah tuan rumah. Kalau ada yang berniat jahat, semisal pencuri atau perampok, tentu tuan rumah jadi target utama untuk disingkirkan.

***

“Anaknya Ama Tueng itu bakal lebih dari Ba Sina,” kata seorang tetua adat.

“Cahayanya menjulang sampai ke langit. Jika ia tumbuh besar dan kemampuannya berkembang sempurna akan sangat berbahaya,” tambah yang lain.

“Akan jadi masalah jika segala yang telah ditutup rapi selama beberapa generasi kelak ketika besar ia nyatakan secara terang benderang. Ia mewarisi keberanian para leluhurnya,” sambung yang lainnya lagi.

“Bagaimana menurut Pater?”

Pastor paroki tak segera menjawab. Ia diam beberapa saat. Ia tahu pembicaraan mereka mengarah kepada niat yang tidak baik. Namun, bagaimanapun ia butuh dukungan mereka. Apa yang bisa dilakukan kalau tanpa dukungan para elite kampung tersebut. Apalagi kongregasinya membutuhkan tanah untuk pembangunan biara dan kapel umat. Juga butuh cerita sukses berkarya di tempat yang dihuni umat yang keras kepala.

“Mana yang lebih baik, Pater, membuang satu orang ke laut atau membiarkan kapal terseok-seok menghambat pelayaran?”

Pastor paroki pernah mendengar bahwa tetua kampung yang menguasai adat dan tatanan tradisional hari ini adalah bagian dari penguasa yang diangkat dan didukung kolonial Belanda untuk melemahkan kepemimpinan tradisional.

Baca juga  Rumi

“Demi keamanan dan keteraturan, kami sudah terbiasa bahkan sejak zaman kakek moyang!”

Pastor menarik napas. Sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.

“Mempertimbangkan risiko terkecil, iya lebih baik mengorbankan satu orang daripada mengacaukan segala kondisi yang sudah baik selama ini atau Bapak Kepala Desa punya pendapat lain?”

“Kalau Pater sudah omong begitu, iya itu sudah,” katanya sambil membungkukkan badan serupa tikus di hadapan kucing.

“Membunuh tidak mungkin karena akan berurusan dengan aparat hukum,” pastor paroki mengingatkan.

“Serahkan segalanya ke kami.”

***

“Kita tak bisa bunuh anak itu. Koda melindunginya. Yang kita lakukan adalah membuatnya tak bisa tumbuh besar.”

“Bagaimana itu?”

“Ayahnya sangat mencintai tanah warisan leluhurnya. Kita jegal ayahnya. Supaya ia tak bisa bersekolah. Tak dapat ruang bergaul dan bertumbuh.”

Melihat kepala desa tambah bingung, Ama Rotok langsung menekan.

“Segera undang ketua suku, tetua adat, dewan gereja, pemerintah desa, badan permusyawaratan desa (BPD) untuk rapat terbatas! Bikin kesepakatan bersama menyerahkan tanah yang digarap Ama Tueng buat pembangunan biara lengkap dengan kapel dan gua Maria tempat ziarah. Kerahkan warga buka lorong melintasi lokasi itu. Di sebelahnya akan kita bangun sekolah dasar dan gedung posyandu. Di depannya akan kita bangun pos jaga.”

“Bagaimana kalau dia melapor?”

“Kita gencet dia dengan dalil tanah milik suku, bukan milik perorangan. Kalau ketua suku dan anggota suku lain sudah bersepakat, ia tak punya kekuatan dukungan.”

“Kalau dia mengamuk?”

“Aparat desa bertindak. Serahkan dia ke polisi sebagai tukang rusuh penghambat pembangunan. Tanda tangan lepaskan sebagian tanahnya di wilayah pesisir pantai kepada investor yang sudah bertemu kita beberapa kali kemarin. Setelah itu, minta Lukas si tukang selingkuh menggoda istrinya. Dia punya riwayat darah tinggi dan jantung lemah. Ketika mendengar itu, ia akan mati dalam tahanan.”

Kepala desa mengangguk-angguk.

“Kita bereskan tanpa harus mengotori tangan.”

“Siapa tanggung ini dosa?”

Baca juga  Batu-Asah dari Benua Australia

“Hahaha. Dosa bersama. Kita pikul ramai-ramai sehingga ringan tanggungannya. Hei, jadi pemimpin itu mesti punya nyali lebih. Masih mau jadi kepala desa di periode kedua ini kan?!”

Kepala desa mengangguk.

Ama Rotok ketua lembaga adat tampak puas.

***

Hanya beberapa bulan semua bisa tereksekusi secara cepat sesuai rencana. Sehari sebelum misa peletakan batu pertama pembangunan biara, pastor paroki menyediakan waktu khusus buat pengakuan dosa agar segalanya menjadi baru.

“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Banyak umat terpesona. Pastor paroki mengutip teks kitab suci yang begitu indah ketika mengawali sambutannya. Ia mengucapkan terima kasih berulang-ulang kepada tuan tanah, ketua suku, ketua lembaga adat, kepala desa, dan seluruh umat. Tak lupa secara istimewa ia sampaikan terima kasih kepada yang mewakili investor sekaligus donatur utama pembangunan biara.

“Hidup memang tak selalu bersih. Awal tak selalu dari yang baik-baik. Intinya kita buat jadi baik. Seperti dua sisi mata uang logam. Yang duniawi dan surgawi memang harus berdampingan. Itulah kenyataan hidup kita di dunia,” pastor paroki mengakhiri sambutannya.

Sebagian umat pulang dengan gembira. Ada yang bingung. Ada pula yang diam seribu bahasa. Sedang dalam tahanan Ama Tueng terus mengerang. Amuk dan mengganas. Mewaspadai semua yang datang. Ia seperti melihat kompeni datang lagi. Kompeni yang dulu membawa pergi Ama Nara kakeknya. ***

.

.

Lewotala, Flores Timur, 2023

Silvester Petara Hurit. Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung. Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di kampung halaman Flores Timur, NTT.

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!