Cerpen Sasti Gotama (Media Indonesia, 31 Desember 2023)
MESIN silindris itu langsung mendesing lembut dan mengedip-ngedipkan warna merah begitu kudekatkan gelang logam elektronikku ke pemindai. Palang pintu menuju supermarket tetap tertutup rapat. Petugas pintu melirikku sekilas, tetapi bisa kulihat sorot matanya yang mengasihaniku. Ia menunjuk ruangan yang berada di sebelah lorong kasir.
“Setelah Anda selesai menyaksikan pesan layanan masyarakat, palang di sebelah sana akan terbuka.” Aku mendengus kesal. Waktu istirahatku yang hanya 30 menit bakal terpangkas, padahal aku hanya ingin membeli satu flakon Indosaji, konsentrat sayur dan biji-bijian rasa pisang untuk makan siang.
Semenjak usiaku melewati 35 tahun, tepatnya hari ini, dengan status belum menikah dan tanpa anak, yang semua itu tercatat secara presisi dalam Gelang Identitas Penduduk, dengung lebah dan kedip merah menjadi kudapan seharian ini, baik di gerbang rumah sakit tempatku bekerja, mesin pemindai tiket monorel, hingga pintu toilet umum pusat perbelanjaan. Tadi malam, aku berdoa agar usiaku selamanya 34 tahun 364 hari, tetapi tampaknya itu tak terkabulkan.
Di ruangan itu sudah berjajar kursi yang tersekat-sekat dengan peralatan nirkabel. Begitu aku duduk, secara otomatis di hadapanku mulai terbentang citra tiga dimensi hologram: perempuan tua yang terduduk lesu di atas kursi roda listrik. Adegan seolah bergerak mundur ke masa ketika si perempuan berwajah tanpa kerut, berbadan lencir, berambut hitam legam yang dikucir kuda, tengah berjalan tergesa di jalanan lengang. Seorang lelaki jangkung mendekatinya, lalu mengangsurkan setangkai gladiol imitasi, tetapi perempuan itu tersenyum, lantas lanjut berjalan tanpa menengok ke belakang. Kemudian, kamera seakan-akan menembus perut bawah si perempuan dan menampakkan sel telur di indung telur yang awalnya putih cemerlang laksana mutiara, tetapi kemudian semakin lama semakin menghitam dan mengisut. Sedikit demi sedikit, wajah si perempuan berangsur dihinggapi kerut hingga akhirnya ia duduk di kursi roda, menatap ke arah udara hampa. Terdengar suara narator: anak adalah harapan bangsa. Setelah gambar hologram padam, palang ke arah bagian dalam supermarket terbuka. Aku bangkit dan menepuk perutku: lapar luar biasa.
Sambil mencari-cari flakon Indosaji rasa pisang yang berwarna biru, aku memikirkan ritual menyebalkan yang harus kulalui itu. Memang hanya 113 detik, tetapi tetap saja merampas waktuku yang berharga. Kebijakan sialan itu mulai ditetapkan di negeri ini semenjak jumlah anak menurun drastis. Asal muasalnya adalah bencana yang terjadi tiga puluh tahun silam, tepatnya 2045. Konon, yang katanya tahun keemasan Indonesia malah menjadi mimpi buruk. Penduduk yang banyak, alih-alih jadi bonus demografi, malah menjadi beban Ibu Pertiwi. Pengangguran gentayangan di jalanan. Terjadi inflasi ternista sepanjang sejarah. Pada masa itu, biaya memelihara anak lebih mahal daripada tiket wisata ke Mars. Sejak itu, pasangan muda yang menggunakan akal sehat mereka memilih tak bereproduksi meski ritual koitus tetap dilakoni.
Alhasil, beberapa tahun belakangan ini, di jalanan, lapangan, dan tempat-tempat keramaian, jarang kulihat anak-anak berlarian. Bahkan banyak sekolah dasar terpaksa tutup karena ketiadaan siswa. Tampaknya itu yang bikin sekumpulan orang di menara ibu kota kebakaran jenggot dan merumuskan kebijakan baru prokreasi, semacam sampah yang terpaksa kukunyah tadi.
“Menyebalkan, bukan?” ucap seseorang dari sebelah kanan ketika tanganku hendak meraih flakon Indosaji. Aku menoleh. Yang pertama kulihat adalah tato sekumpulan bulatan hitam di atas kulit pucat. Awalnya kupikir itu semacam planet kerdil tata surya yang bergerumbul dan saling tumpang tindih.
“Alatku juga berbunyi ketika masuk supermarket,” lanjutnya setengah menggerutu.
“Jadi, kau juga diharuskan membilas isi kepalamu dengan sabun busuk itu?” tanyaku.
Ia mengangguk lesu. “Dua menit 13 detik. Lebih lama kalua dibandingkan dengan versi wanita. Kau lebih beruntung.”
Aku memandanginya penuh simpati. “Alih-alih sabun, tampaknya itu lebih tepat disebut muntahan. Membuatmu muak, mual, dan semakin tak tahan dengan baunya. Pada akhirnya, mau tak mau, kau harus patuh dengan sistem.”
“Nah, tepat!” Ia menjentikkan jarinya. “Mereka ingin kita semua menjadi manusia.”
Aku menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya.
“Kau lihat?” ujarnya sambil menunjuk tato di lengan kirinya. “Ini spora ragi. Aku … ragi.”
Dan aku dinosaurus! Kalimat sarkas yang hendak kusemburkan itu batal kuucapkan begitu melihat sorot matanya yang penuh kesungguhan. Rupanya ia tak bercanda.
“Maksudmu?”
“Karena kebanyakan ragi bereproduksi aseksual. Kau … paham, kan?”
Aku tersenyum. Tentu saja aku mengerti. Setelah pertemuan itu, kami sering berjumpa. Enam bulan kemudian kami sepakat menikah.
***
Kupikir, setelah kami menikah, hidup kami akan lebih tenang. Memang, tak lagi terdengar bunyi bising lebah dan kedap-kedip lampu merah ketika aku melewati mesin pendeteksi gelang logam. Akan tetapi, setahun setelah tanggal pernikahan, setiap seminggu sekali, seseorang menghubungi ponsel yang terintegrasi dengan gelang elektronikku. Ia memperkenalkan diri sebagai petugas Pedo atau Peningkat Angka Demografi Anak.
“Apakah ada kendala yang bisa kami bantu?” Nadanya terlalu ramah, mirip agen yang menawarkan polis asuransi. Ini teleponnya yang ke-52.
“Tidak,” jawabku.
“Dari hasil pemeriksaan pranikah, ovarium Anda normal. Folikel sehat yang layak dibuahi cukup banyak. Analisis sperma suami Anda juga normal. Namun, dari data sentral, Anda belum hamil. Dua hari ke depan, kami agendakan membantu Anda langsung untuk mengatasi masalah ini. Tim kami akan berkunjung pukul dua belas siang,” lanjutnya. Suaranya kemudian menghilang, berganti suara iklan layanan masyarakat tentang tata cara senggama yang efektif. Aku mematikan tombol penyuara di telinga.
“Lagi?” tanya suamiku dari kursi kerjanya. Ia melepas kacamata monitornya lantas menoleh ke arahku. Bisa kulihat kedip-kedip naskah skenario film garapannya untuk musim mendatang di monitor itu.
Aku mengangguk lesu. “Seperti petani gila saja, yang mengecek apelnya berbuah atau tidak setiap malam,” gerutuku.
“Mengapa mereka memaksa kita, sih,” gerutu suamiku, “aku saja tak pernah memaksa orang lain menjadi ragi.”
Suamiku mengetahui dirinya ragi semenjak sekolah dasar. Tak ada keinginan dirinya untuk menyentuh, entah lelaki entah perempuan. Kawan-kawannya pernah bertindak keterlaluan dengan memaksanya bersebadan dengan pelacur yang mereka sewa. “Agar kau sembuh,” kata mereka. Hasilnya, suamiku muntah di perut si perempuan, bahkan sebelum menyentuh-disentuh. “Rasanya seperti dipaksa bersenggama dengan ibumu sendiri,” cerita suamiku dengan muak di awal kami menikah. Aku paham perasaannya. Karena aku pun tak ingin menyentuh dan disentuh. Bersebab itu kami sepakat menikah. Sebuah simbiosis mutualisme yang sempurna.
Aku mengangkat bahu. “Yang jelas, dua hari lagi mereka akan datang. Aku sudah muak dengan paksaan mereka,” ucapku. Suamiku memutar bola matanya.
“Kau mau menyerah? Inseminasi? Bayi tabung?”
Aku bergidik. Lebih baik aku diekstradisi ke planet kerdil paling bungsu di tata surya daripada melakukan itu. Lima belas tahun lalu, aku pernah hamil, tetapi tak tercatat dalam sistem. Mantan kekasihku memaksaku menggugurkannya.
“Mimpiku bisa hangus. Bayangkan bagaimana kita membiayai ‘dia’? Makannya, pendidikannya. Mahal sekali. Aku takkan sanggup,” ucap mantan kekasihku kala itu.
“Tapi cara terbaik mengeluarkan ‘dia’ tanpa merusak rahim adalah dengan melahirkannya,” ucapku.
“Kau jangan egoistis. Bagaimana dengan mimpiku? Sebentar lagi aku lulus sarjana dan bekerja di perusahaan IT terbaik di dunia. Aku tak punya pilihan.”
Ketika aku tetap menolak, ia mencekokiku dengan pil-pil segi enam. Gagal. Ia memijat-mijat bagian bawah tubuhku hingga aku menjerit kesakitan. Gagal. Pada akhirnya, suatu malam aku terbangun dengan rasa nyeri yang tajam di bagian bawah. Rupanya ia memasukkan semacam kawat ke dalam peranakanku. Darah segar mengalir beserta gumpalan-gumpalan merah gelap. Esoknya aku demam. Aku tak berani pergi ke rumah sakit. Bisa-bisa aku ditangkap dan dipenjara. Aku hanya bisa melewatinya dengan minum antibiotik yang kubeli secara ilegal, sementara mantan kekasihku menghilang entah ke mana.
“Nesia?”
Aku gelagapan. Rupanya suamiku sudah berdiri di hadapanku. “Jadi, apa yang sesungguhnya kau inginkan?”
Aku bimbang. “Aku tak mau hamil. Itu … membangkitkan mimpi buruk.”
Suamiku mengangguk. “Aku paham. Mungkin ini saatnya perang.”
“Perang?”
“Dulu, ketika kecil, isi kepalaku tak ubahnya ragi yang dorman. Aku takut mengatakan perasaan dan pemikiranku kepada orang-orang. Kawan-kawan pasti mencemoohku. Orangtuaku mungkin akan mencambuki bokongku dan mengusirku ke neraka. Sekarang, kita serbuk ragi yang merdeka. Biarkan beterbangan dan memfermentasi segala tanya.”
Aku mengangguk. Dua bulan kemudian, anak-anak kami lahir.
***
Anak-anak kami lahir dan menyusup dalam konten-konten digital. Aku mulai membuat esai-esai tentang hak atas rahimku sendiri. Suamiku membuat film dokumenter tentang kebebasan menjadi ragi, undur-undur, atau apa pun yang seseorang inginkan.
Tulisanku diturunkan dari media oleh sistem secara misterius. Namun, aku teringat tulisan seseorang di masa yang jauh, entah siapa, bahwa jika jurnalisme dibungkam, sastra bicara. Aku mulai menulis novel kontemporer. Anak-anakku menyusup secara samar serupa gerilyawan berbaju loreng yang menyaru dengan tetumbuhan hutan, sedangkan suamiku menyelundupkan anak-anaknya dalam skenario film roman picisan yang ditaburi puisi-puisi romantis.
Suatu siang yang berdenyut pelan, kulihat suamiku telungkup di atas karpet sewarna zamrud. “Bagaimana filmmu?” tanyaku.
Suamiku menyeringai. “Laris. Serbuk ragi kita telah bertebaran dibuai angin.”
Aku tergelak. Sementara itu penyuara di telingaku berdering. Citra hologram di gelang elektronikku menunjukkan bahwa itu telepon dari tim Pedo yang kini tanpa letih menghubungi setiap hari. Kumatikan penyuara, mencopotnya dari telinga, dan kulemparkan ke bak sampah. ***
.
.
Sasti Gotama. Pemenang Harapan Lomba Sayembara Cerpen Media Indonesia 2023.
.
Serbuk Ragi. Serbuk Ragi. Serbuk Ragi. Serbuk Ragi.
Achmad Al Hafidz
Sangat keren, bagaimana si penulis menggambarkan sebuah negeri di masa depan. Dan masalah-masalah sosial di masa sekarang akan menjadi bom di waktu mendatang. Bung, saya bisa membayangkan. Apalagi diselipkan tentang keinginan mempunyai anak. sayang tokoh perempuan kurang mendalam alasan ia tak ingin disentuh atau menyentuh.