Cerpen Dody Widianto (Haluan, 07 Januari 2024)
DUA belas hari berlalu dan keberadaan Pon belum jelas rimbanya. Segala upaya pencarian telah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil. Sudah kubuat laporan orang hilang ke kantor polisi terdekat walau seolah lamban penanganannya. Tak ada konfirmasi apa-apa. Barangkali amplop yang kuberikan kurang tebal, begitu celetuk istriku yang sedang menyiapkan sarapan untuk dua jagoan kami yang hanya selisih dua tahun kurang. Mereka baru saja masuk ke TK dan kelas satu SD.
“Pon itu orangnya pendiam. Kalau tidak ditoel enggak pernah nyahut. Kulihat karyawanmu yang itu polos sekali. Apa kamu sudah meneliti keluarga dan sanak saudaranya. Barangkali ditemukan jejak-jejak.”
“Keluarganya juga melaporkan hal yang sama.”
“Zaman sekarang hati-hati Mas. Terkadang bahaya mengintai dari anggota keluarga terdekat.”
“Itu ‘kan cuma prasangkamu.”
“Dan kadang benar.”
Aku melengos pergi, malas berdebat. Kuakui, di antara belasan kurir pengantar paket yang kukepalai, Pon memang orang paling pendiam. Penurut. Tak pernah membantah. Hal itu kadang dimanfaatkan teman-temannya dengan sengaja menambah (dengan dalih menitip) jumlah paket yang harus ia kirim hari itu. Teman-temannya membuat alasan, dari yang mau kondangan, nganter anak ke rumah sakit, ibunya ulang tahun, dan sebagainya, jadi harus pulang lebih cepat. Pon tak pernah mengeluh. Kuketahui dari asisten pribadi, bagian keuangan yang juga mata-mata. Ia sering bercerita bagaimana kondisi pengiriman harus bisa melayani dengan baik di tengah persaingan ketat puluhan perusahaan logistik senusantara.
“Kamu pernah dengar Pon bicara ke siapa, pacar, teman dekat misal.”
“Seringnya ia menelepon ibunya jika pulang agak malam. Ia anak satu-satunya.”
Kurapatkan bibir. Sesak menjalar di dada. Membayangkan perasaan ibunya. Anaknya hilang dan hampir dua minggu belum ditemukan.
“Jejak digital terakhir yang terekam, Pon mengirim pesan paket berhasil terkirim di rumah Bu Legi. Ibu muda kaya raya yang hanya tinggal bersama pembantunya. Kudengar suaminya kerja di pertambangan Kalimantan. Dari kantor ini jaraknya 13 kilometer arah utara. Namun, kita tidak bisa langsung menduga atau menuduh ada sesuatu di rumah itu. Atau katakanlah, Pon hilang di sana. Kudengar dari teman Pon di sini, memang halaman samping rumah Bu Legi sangat luas, tanpa pagar dan hampir mencapai empat hektare. Namun, isinya semua pohon kelapa. Jika Pon hilang di sana, bisa dipastikan akan mudah ditemukan. Pekaranganya bersih tanpa tumbuhan perdu dan ilalang. Anak buahnya yang sering menyewa untuk mendaras mayang kelapa untuk buat gula. Pekarangan itu sangat terawat.”
“Jadi asumsi awal ia hilang di sana?”
“Bisa iya, bisa tidak. Itu yang kudengar dari Wage, tetangga satu kampung dengan Bu Legi itu, teman Pon di sini. Tetapi kemarin ia bilang Bu Legi yang sekarang sakit-sakitan. Ia jadi jarang bertemu dengan tetangga. Itu saja.”
Tak banyak alasan untuk ini itu. Rasa penasaran membuatku datang langsung dan mengecek lokasi satu jam setelah mengumpulkan informasi dari Kliwon. Desa terpencil yang sungguh di luar dugaanku. Puluhan tahun aku tinggal di kota ini dan baru menemukan sebuah kampung dengan pekarangan maha luas yang isinya pohon kelapa semua. Di ujung atas, di sela daun-daun setiap pohon kelapa, ada ember yang diikat di atas sana.
Kulihat catatan di buku kecil, apa yang diceritakan Kliwon tentang pekarangan ini ada yang salah. Perdu dan belukar ada beberapa yang tumbuh. Seluas mata memandang, ilalang setinggi pinggang orang dewasa. Walau dari bekasnya, ada jalur jalan tanpa rerumputan yang bisa jadi, itu bekas para pendaras berjalan ke sana ke mari jika sedang mendaras mayang kelapa. Jika Pon barangkali sakit atau terjatuh dalam rerumputan ini, tubuhnya yang kurus bisa saja tidak terlihat. Namun, keranjang paket dan motornya tentu saja terlalu besar untuk ditemukan.
Lekas kulangkahkan kaki menuju rumah Bu Legi melewati jalan setapak. Berharap tabir hilangnya karyawanku bisa segera terjawab. Hingga sampai rumah bentuk joglo yang berdinding anyaman bambu dengan pintu kayu berukir, aku agak sangsi jika Bu Legi adalah istri pengusaha pertambangan di Kalimantan. Rumahnya terlihat sangat sederhana dan jauh dari kesan mewah. Namun, peduli apa aku dengan rumah. Toh setiap orang punya kriteria dan batasan masing-masing untuk menentukan apa itu makna bahagia. Barangkali dengan rumah sederhana ini mereka lebih merasa bahagia.
“Cari siapa?”
“Eh.” Tergagap mulut ini ketika suara berat perempuan memanggil. Aku yang tadinya mengelus-elus bunga adenium aneka warna di pot-pot kecil dari tanah liat, sontak menoleh kaget. “Maaf menganggu Mbah. Saya ada perlu dengan Bu Legi.”
“Bu Legi baru saja diantar ke rumah sakit pagi tadi. Saya pembantunya”
Perempuan dengan kerudung ungu dan daster selutut bermotif bunga tanjung kecil-kecil warna hijau tua itu seolah curiga melihatku datang tiba-tiba. Kukatakan saja maksud dan tujuanku. Perempuan yang kukira angkuh itu ternyata menyilakanku masuk dan malah menawariku beristirahat minum teh. Walaupun di luar tak terlihat terik karena halaman rumah ini juga seolah terpayungi puluhan pohon kelapa, tetapi perempuan renta ini sedikit memaksa menyilakanku istrahat sejenak. Sebentar lagi tabuh Zuhur berdentang. Tak elok rasanya keliaran siang-siang saat matahari tepat di atas kepala. Begitu nenek itu menuturkan sambil menawarkan makan siang. Aku tak kuasa menolak.
“Bu Legi baru saja jadi janda. Laki-laki kalau sudah dikelilingi harta memang sering lupa diri. Goda wanita memang maha dahsyat. Setidaknya itu yang dialami beliau. Duka lara itu membuatnya menahan sakit yang tak berupa. Kalau koreng atau luka sayatan di tangan sih bisa disembuhkan dengan obat. Lah ini, lukanya tidak kelihatan, tetapi nyerinya sampai dada dan kepala.”
“Mohon maaf ini daging apa ya, Nek? Agak lain rasanya.”
“Oh, kemarin ada bantuan sembako dan lauk sampai juga di tempat ini. Kukira orang-orang lupa padaku. Enak?”
“Iya, Nek. Ini rendang lain dari biasanya. Barangkali saya mainnya kurang jauh atau Nenek yang terlalu hebat meracik bumbunya.” Aku mengunyah daging yang empuk dan lembut itu sambil memandang di kejauhan jajaran pohon kelapa di depan teras. Setengah jam dudukku di atas kursi bambu makin nyaman. Kantuk mendera dan aku berusaha melawan. Teringat jika maksud kedatanganku untuk menelusuri keberadaan Pon. “Terima kasih, Nek. Saya mau pamit.” Aku pura-pura mengecek ponsel di saku dan membunyikan nada dering. Seolah ada yang memanggil. Lalu aku matikan lagi. Berkata jika aku harus pulang. Nenek itu tersenyum, mengangguk lembut.
Jejak yang kutemukan hanya rumah. Aku malah lupa menanyakan di rumah sakit mana Bu Legi dirawat. Jadi harus dua kali datang ke sana. Maka, ketika tabuh Ashar berkumandang dan aku telah sampai rumah lebih dulu, istriku sudah menungguku di depan teras dengan secangkir teh hitam campur bunga melati yang harum. Saat terduduk, kuceritakan semuanya sore itu. Lokasi yang masih rindang dan teduh. Pekarangan maha luas yang hanya ada rumput ilalang dan ratusan pohon kelapa. Rumah joglo sederhana. Nenek tua.
“Asli warga situ?”
“Ia masih menerima bantuan. Artinya pihak terkait atau warga sekitar masih menganggap ia ada dan bagian dari mereka.”
“Tanya Pak RT dulu, tak usah malu.”
“Eh, harus?”
“Kita tidak tahu dia pendatang ilegal atau bukan.”
Esoknya, aku membawa Kliwon menuju lokasi. Apa yang kutemukan sungguh di luar nalar. Tak ada rumah joglo. Tak ada nenek tua, tak ada jalan setapak di tengah pekarangan dengan ratusan tanaman kelapa di tengahnya. Segera kutepis rasa merinding di lengan dan tengkuk bahwa apa yang kulihat kemarin siang itu benar-benar nyata. Bahkan aku masih sangat ingat rasa empuk, lembut, manis, dan gurih daging sapi olahan nenek itu.
“Jejak digital ponsel Pon hilang di lokasi ini. Sudah kucocokkan dengan akun aplikasi pengiriman paket atas namanya. Setahu yang aku lihat kemarin, di tengah dua pohon kelapa yang gompal bawahnya karena dimakan kumbang kayu ini, dalam jarak lima langkah di depan, ada rumah joglo. Di sanalah saya dijamu nenek tua.”
“Kata Wage, dulu memang ada rumah gubuk di sini. Tinggal janda tua di dalamnya. Ia mengurung diri sejak suaminya yang di Kalimantan menikah lagi dan melupakannya. Namun, gubuk itu sudah dirobohkan beberapa bulan lalu sebab sering dibuat tempat mesum untuk anak-anak muda. Apa tak lebih baik tanya Pak RT dulu?”
“Jadi kau percaya cerita yang mana?”
Kliwon diam. Zaman sudah canggih dan hal-hal begini selalu membuatnya pusing. Ia bukan paranormal. Namun, ia begitu sayang dengan Pon yang pendiam dan ulet bekerja. Aku tetap memutuskan untuk mencari di tengah padang ilalang demi menemukan jawaban. Ketika tetiba kutemukan sepatu kets putih sebelah kiri yang tergeletak di tengah jalan setapak, rasa penasaranku bertambah-tambah.
“Pak Pahing, sebaiknya kita pulang. Lokasi ini tak ada sinyal. Bahaya.” Kliwon tetiba menghentikan langkah. Ia teringat gerbang dimensi lain yang sering ia tonton dalam acara horor di TV.
“Terus, hanya karena itu kau menyerah?”
“Mohon maaf, Pak. Kita minta bantuan polisi.”
“Ya sudah, pulang sana. Jaga kantor saja kamu.”
Kliwon benar-benar berbalik arah, walau dengan langkah ragu. Aku terus menyusur langkah untuk maju. Aku ingat kapan terakhir membelikannya sepatu untuknya. Ia benar-benar orang tak punya setelah kepergian ayahnya. Dengan hati yang gemas dan gegas, kuteruskan langkah menyusur rimbun ilalang sepinggang menyusur barisan pohon kelapa.
“Dasar lelaki anjing!”
Di depan, dalam jarak sepuluh langkah, aku bertemu lagi dengan nenek tua yang kemarin. Namun, kali ini matanya menyala ganas, memegang parang, melangkah ke arahku dengan cepat. Aku berusaha melawan dengan mencari ranting atau pelepah daun kelapa. Sayang, sepanjang belantara pekarangan ini hanya ada rerumputan ilalang. Maka, jika kau berhasil membaca paragraf ini sampai akhir dan banyak orang yang mencariku, sampaikan pada istriku dan Kliwon jika aku butuh pertolongan. ***
.
.
Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersebar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dll.
.
Malu Bertanya, Sesat di Rumah Janda. Malu Bertanya, Sesat di Rumah Janda. Malu Bertanya, Sesat di Rumah Janda.
Leave a Reply