Cerpen Jimat Kalimasadha (Suara Merdeka, 07 Januari 2024)
JIKA hubungan ini memungkinkan untuk berlanjut, aku hanya memiliki separohnya saja untuk mendapatkan kebahagiaan dan separohnya adalah penderitaan yang harus aku bayarkan pada harga kesalahan masa laluku. Itu kata Paman Nengah, yang masih jelas aku ingat, dari sekian banyak nasihatnya yang disampaikan dengan serius malam itu.
Dari selepas isya sampai pukul tiga dini hari, kami berbicara di ruang tamu, tapi apa yang aku dapat? Hampir semua jawaban Paman Nengah tak jauh berbeda dengan jawaban “orang-orang pintar” yang aku mintai konsultasi tentang hubunganku dengan Silayah. Tak ada satu pun solusi yang sesuai dengan harapanku.
“Sebenarnya, solusi apa yang kamu inginkan?” tanya Paman Nengah berbalik.
“Penginku sih, Paman menemui orang tua Silayah, lalu memintakan maaf kepada orang tua Silayah atas kesalahanku dan menyatakan niatku menikahi Silayah secara resmi.”
“Sekarang?” tanya Paman sambil menatapku lewat sudut matanya.
“Besok pagi.”
“Kamu ingin jawaban secepatnya atau ingin solusi yang solutip?”
“Jawaban orang tua Silayah bagiku adalah solusi.”
Udara malam itu sangat panas, tapi terasa lebih panas di ruang tamu Paman Nengah. Kipas angin berputar, baling-balingnya menimbulkan suara gelisah, semakin mendesakkan rasa panas. Di usianya menjelang 55, aku menilai pamanku ini bisa mewakili ibuku sebagai wakil keluargaku untuk datang ke orang tua Silayah. Memintakan maaf, sekaligus memintakan restu agar kami bisa menikah ulang. Paman Nengah, satu-satunya lelaki dari adik ibuku, yang hari ini aku andalkan untuk memecahkan masalahku.
“Jika jawaban yang kamu anggap solusi, kenapa tidak kau tanyakan ke paranormalmu?”
Aku menggeleng. Mempercayai paranormal, entah kenapa, rasanya malu. Terasa rendah karena dianggap generasi tahayul atau mistis. Rasanya lebih bergengsi bertanya pada Google atau Chatgpt, daripada bertanya pada Mbah Sarmin, simbah tua yang setiap hari bermeditasi, melakukan olah rasa dalam ruang beraroma dupa; hanya karena dia disebut dengan paraban dukun atau paranormal.
“Paranormal berbicara hanya atas dasar percaya diri,” jawabku sekenanya.
“Apa bedanya dengan Pamanmu?”
“Paman berbicara atas dasar analisis, kejelasan, dan kejernihan.” Aku sedikit menjilat Paman, tapi sialnya, dia menangkap maksud nakalku.
“Pinter kamu, Mada. Kamu pintar berargumentasi dan menyusun narasi. Tapi dari caramu yang pintar itu pada akhirnya kamu tidak memperhatikan bahwa ada sebagian perjalanan hidup yang harus kamu lalui dengan urut. Dan sekarang kamu harus membayarnya dengan mahal akibat kamu telah menghilangkan satu anak tangga paling penting. Kamu terburu-buru. Laki-laki yang tidak sabaran. Itu bodohmu.”
“Paman tidak bersedia membantu aku?”
“Jika aku yang datang ke rumah orang tua Silayah, berarti aku mewakili Mbakyu, sebagai orang tuamu. Bukan mewakili kamu. Coba renungkan, sebenarnya ini masalahmu dengan orang tua Silayah, ataukah masalahnya ibumu dengan orang tua Silayah?”
Aku diam. Tentu saja itu masalahku dengan orang tua Silayah.
Tapi aku tidak ingin menyerah untuk memaksa Paman Nengah agar bersedia menemui orang tua Silayah yang telah mengusirku seperti seekor anjing dan mengatakan anak bayiku sebagai anak hasil dari menyampah belaka.
Aku benar-benar tersinggung. Tanganku sudah terangkat separoh siap melesat ke muka ayah Silayah dan memukulnya sekeras mungkin. Untunglah ibu mertuaku, maksudku ibunya Silayah, memegang tubuhku dengan lembut dan aku mendengar Silayah menjerit sambil menangis, sambil menggendong si Nendra, anak bayiku. “Sabar Mada. Jangan lukai bapakmu.”
Suara tua itu seperti suara ibuku sendiri. Suara yang selalu membuatku kalah.
Dua lelaki sedang berada di puncak emosi dan di dekatnya ada dua perempuan sedang menangis, dan seorang bayi sedang ketakutan karena merasakan betapa panas suasana di ruang tamu kecil itu; lalu tiba-tiba muncul jeda beberapa detik tanpa suara. Oh, inikah yang sering digambarkan sebagai puncak dari keriuhan adalah keheningan.
“Pulang kamu, Mada! Pulang kamu anj**g. Jangan pernah kamu menginjak rumah ini lagi. Tinggalkan Silayah. Anggap saja selama ini kalian melacur dan hasilnya adalah bayi ini.”
Teriakan kasar itu pecah berhamburan. Kepalaku bergetar. Seluruh peralatan emosiku sudah tak bisa aku kendalikan. Meja di depanku langsung aku tendang ke arah lelaki tua itu, dan beruntungnya, dia sempat menghindar. Tidak ada yang terluka. Terpaksa aku pulang dengan marah, meninggalkan Silayah dan Nendra, dan sejak saat itu, semua akses komunikasi dengan Silayah tertutup rapat.
Aku tidak bisa menghubungi Silayah lagi, tidak bisa mengetahui keadaan Nendra yang baru belajar merangkak dan belakangan hari sempat mengalami diare dalam perjalanan pulang dari ibu kota setelah hampir dua tahun kami tidak pulang.
Dua bulan aku tidak bisa bertemu Silayah dan tentu saja, Nendra. Lewat seorang teman, aku mendapatkan entah kabar atau gosip dan sungguh mencengangkan. Keluarga Silayah membukakan pintu lebar-lebar kepada mantan suaminya untuk rujuk kembali. (Oh, Gusti, dengan cara apa aku harus berucap syukur atas harga mahal yang harus aku bayarkan untuk menebus kawin lariku dengan Silayah?)
“Hanya Paman Nengah yang sekarang aku andalkan untuk memecahkan masalah ini. Ibu sudah terlalu tua untuk masuk ke dalam kasus serumit ini.” Aku menghiba pada Paman.
“Yakinkah, Silayah masih mencintaimu?” tanya Paman tiba-tiba.
Aku kaget. Mengapa paman bertanya begitu? Jika gosip itu benar, yakinkah Silayah masih memilihku? Gila. Kenapa rasa ini sudah tidak sekuat ketika aku membawanya lari dan berjuang mencari bantuan penghulu nikah siri. Sebenarnya, bukan aku membawa lari Silayah, tepatnya kami sama-sama lari dengan membawa cinta besar kami, dan kemudian lahirlah Nendra. Pelarian itu, Silayah memang sedang dalam menjalani waktu tunggu perceraian dengan suaminya karena sebelas tahun berumah tangga tanpa kelahiran anak. Sementara itu, aku lama sendirian setelah istriku meninggal dunia oleh serangan Covid-19.
Perceraian itu diajukan olehnya karena mantan suaminya selalu menolak ke dokter untuk menyakinkan siapa sebenarnya yang tidak bisa memiliki anak. Bukankah laki-laki juga harus bersikap fair dalam hal ini? Dia membela diri. Mantan suaminya selalu tidak bersedia periksa ke dokter, dan bersikukuh bahwa rahim Silayah yang mandul, diam-diam Silayah memastikan secara medis bahwa ternyata dia normal. Silayah merasa dikhianati lalu menggugat cerai, dan aku masuk ke dalam hidupnya.
Bersamaku, ia benar bahwa rahimnya memang tidak kosong. Di dalamnya ada telur sehat yang siap dibuahi. Sayangnya, kami melakukan kesalahan fatal karena melewatkan satu anak tangga penting dalam hidup kami, yakni kami tidak meminta izin orang tua melakukan pernikahan secara resmi. Kami justru memilih lari ke ibu kota. Kami mulai menyadari bahwa status kelahiran Nendra penting untuk masa depannya, pulanglah kami, meminta izin untuk menikah secara resmi. Tetapi, di bawah tekanan keluarganya, entah kenapa, Silayah malah membuka pintu kembali untuk mantan suaminya, jujur aku mulai ragu terhadap cintanya.
“Yakinkah kamu, Silayah masih mencintaimu?” tanya Paman mengulang.
Aku sulit menjawab pertanyaan itu. Sekarang aku membayangkan isi kepala Silayah. Aku yakin ia sedang membandingkan aku dengan mantannya. Ia sedang menimbang mantannya dengan alasan restu orang tuanya. Hidup damai kembali ke mantan sambil membesarkan Nendra, ataukah hidup penuh drama bersamaku dengan tekanan orang tua yang bisa membuat gila? (Aku kecut. Mengapa wanita selalu punya alasan untuk mempertanyakan cinta?)
“Jangan bodoh, Mada. Berpikirlah seperti seorang paranormal. Percaya diri. Sejak dulu, wanita mendengarkan dengan menggunakan matanya.” Paman tersenyum tanpa menjelaskan ucapannya. “Lepaskan saja dia. Kalau dia tidak kembali, berarti dia bukan jodohmu. Jika dia kembali, berarti dia milikmu selamanya.” (*)
“Berarti….” Belum selesai aku bicara, paman meraih tangan kananku. Dia menunjukkan dua garis kecil mendatar di bawah jari kelingkingku.
“Oh, kamu sudah menjalani takdir pernikahanmu. Jadilah laki-laki yang tidak gampang dikhianati. Melihat karakter istrimu yang seperti itu, dia kembali atau pergi, bagimu sama-sama beratnya, karena ia hanya ingin membuktikan rahimnya tidak kosong.” ***
.
.
Kudus, 25 Desember 2023
.
Catatan:
(*) Dari kalimat Kahlil Gibran: “If you love somebody, let them go, for if they return, they were always yours. If they don’t, they never were.”
.
.
— Jimat Kalimasadha, lahir dan tinggal di Kudus. Cerpen-cerpennya pernah dimuat Suara Merdeka dan terbit dalam antologi Bom di Ruang Keluarga dan Senja Lewat Begitu Saja. Puisi-puisinya pernah dimuat, antara lain dalam antologi Bayang-Bayang Menara, Bermula dari al Quds, Antologi Puisi dari Negeri Poci, Semesta Jiwa, Berbisik pada Dunia, dan antologi puisi tunggalnya berjudul Marilah Bicara Sejenak.
.
Karena Rahim Istriku Dibilang Kosong. Karena Rahim Istriku Dibilang Kosong. Karena Rahim Istriku Dibilang Kosong.
Leave a Reply