Cerpen Elizabeth Gabriela (Kompas, 14 Januari 2024)
CAKRAWALA baru saja dibelah senja, mengubahnya dari oranye bata menjadi nuansa violet menuju biru gelap. Sisa-sisa cahaya di perbatasan kaki langit menghasilkan bayangan hitam dari pepohonan di tanah. Deretan bangsal di sepanjang lorong sudah kosong karena para penghuninya tengah kembali ke ruangan masing-masing. Tak terkecuali bangsal nomor tujuh yang dihuni oleh perempuan muda seorang diri. Gelang plastik bertuliskan Larissa Tidore membalut pergelangan tangan perempuan kurus yang sedang menatap refleksi dirinya di kaca. Ia mengelus gundukan di perutnya yang besar.
“Marissa, Marissa,” Larissa berdendang lembut. Ia sangat suka becermin karena bisa melihat perutnya yang membuncit besar. “Ibu tak sabar bertemu denganmu Marissa.”
Pintu diketuk dan seorang wanita paruh baya dengan pakaian santai masuk, ada label bertuliskan Novita Siregar di dada kirinya. “Selamat pagi Larissa. Bagaimana kabarmu?”
“Baik! Kau tidak menanyakan kabar bayiku?” balasnya.
“Kau melakukannya lagi,” ucap Novita. “Biarkan aku membantumu, ya?”
“Apa—Hei jangan ambil Marissa!” Larissa menjerit takut, tangannya melingkar di perut memberi perlindungan protektif.
“Aku hanya mau menyapa Marissa,” Novita tersenyum menenangkan.
“Sungguh?” Larissa curiga.
“Boleh tidak?” tanya Novita riang.
Perlahan Larissa mengangguk, ia mendekat, tapi bantal yang menjadi sumpalan di perutnya melorot sehingga jatuh menghantam lantai. “Marissa!”
Dunia sekeliling Larissa berputar. Mata Larissa membelalak tak fokus dan tubuhnya gemetar. Gerangan apa yang dihadapinya lagi?
“Ayo tarik napas dan ulangi perkataanku,” suara Novita menarik ke alam sadar. “Namaku Larissa Tidore.”
Dada Larissa berdegup kencang. “Namaku Larissa Tidore.”
“Aku berusia tiga puluh tahun,” bimbing Novita.
“Aku berusia tiga puluh tahun,” Larissa mengulangi.
“Nama suamiku Matias Tidore,” suara Novita memadu.
“Suamiku Matias Tidore,” ucapnya.
“Anakku bernama Marissa,” kata Novita.
“Anakku bernama Marissa,” ulang Larissa.
“Marissa sudah meninggal,” Novita menambahkan.
“Marissa sudah meninggal—Tidakkkk!”
Pusaran gambar pecah-belah merasuki kepala Larissa. Bunyi tiiit, tiiit memekakkan telinga. Menyeramkan dan menyakitkan. Pada sekon selanjutnya, kesadaran Larissa tak lagi berpijak, tetapi melayang pada zona waktu usang yang telah lalu.
Satu tahun lalu usia kehamilan anak pertama Larissa tujuh bulan. Sejauh ini kondisi ibu dan bayi sehat, tak ada masalah. Sungguh tak sabar ia menantikan kelahiran bayi perempuannya. Larissa akan segera menjadi ibu!
“Apa kabar anakku, Marissa sayang?” Matias Tidore berlutut untuk mengelus perut istrinya. Ada tendangan kecil di sana.
“Kabar baik Ayah,” Larissa menjawab dengan suara anak kecil.
Sukacita meliputi, dia begitu bahagia. Semuanya begitu sempurna sampai mendadak perutnya terasa tegang dan kencang tak wajar. Bagian pinggul ke bawah nyeri luar biasa.
“Kamu kenapa?” Matias terkejut.
Larissa dapat merasakan sesuatu terjadi pada bayinya. Bayinya yang tadinya aktif kini diam tanpa pergerakan. “M-Marissa!”
Gelombang rasa sakit kedua datang lagi, kali ini menghantam lebih keras dan nyeri. Larissa menjerit kesakitan, Matias segera membawanya menuju rumah sakit.
“Bayi harus segera dilahirkan,” ucap dokter obgyn.
“Tapi kandungannya baru tujuh bulan, Dok!” seru Matias.
“Ada masalah dengan plasenta, kita tak bisa menunggu,” balasnya.
Selanjutnya Larissa mendengar banyak bunyi tiiit. Detik demi detik berlangsung sangat lama, waktu seolah melambat. Banyak titik putih di penglihatan Larissa, kadang ada juga warna hitam.
“Kamu kuat, Sayangku,” Matias memberi semangat.
Larissa menjerit kencang. Bagian tubuh bawahnya yang menjadi jalan keluar janin robek. Prosesnya lama dan menyakitkan. Dorongan demi dorongan, embusan demi embusan. Namun, pada saat Larissa merasakan manusia dalam perutnya berhasil ia lahirkan, seisi ruangan hening. Tak ada tangisan bayi.
“Matias, di mana Marissa?” tanya Larissa.
Wajah suaminya syok. Ia mendekat lalu memeluk istrinya.
Sang dokter kembali hadir, membawa sebuah selimut merah muda, “Maafkan kami. Anak Bapak dan Ibu tak bisa diselamatkan. Tali plasenta melilit lehernya begitu erat sehingga oksigen tak dapat dihirup.”
Ada jeda beberapa menit dan itu adalah menit paling mengerikan dalam hidup Larissa. Tangan Larissa terulur, menerima bayinya yang kaku tak bernyawa. Didekapnya erat di dada, dibelainya wajah Marissa lembut, dingin.
Matias memeluk istrinya, badannya bergetar tak kuasa menahan tangis.
Akan tetapi, tak ada setetes pun air mata di pupil Larissa. Ia terus menatap Marissa dengan tatapan kosong. Aneh, Larissa tak bisa merasakan apa pun. Hari itu Larissa hancur. Begitu hancurnya sampai memberikan respons emosional apa pun tak sanggup. Ia gagal menjadi seorang ibu.
Dua hari kemudian Larissa kembali ke rumah bersama Matias. Rumah yang kini terasa asing dan suram. Fisiknya sudah membaik, tapi tidak dengan psikologisnya.
“Sayang, istirahatlah terlebih dahulu,” ucap Matias.
Larissa tak menghiraukan. Ia beralih ke kamar dengan pintu merah jambu. Gelombang menyesakkan langsung menyergap Larissa saat melangkah masuk. Entah mana yang lebih hampa, kamar ini atau jiwanya. Di sini berisi jutaan ekspektasi dan harapan indah yang telah ia bayangkan selama beberapa bulan terakhir. Semuanya tak akan menjadi kenyataan, maka biarlah Larissa hidup dalam dunia matriksnya sendiri.
“Apakah istrimu waras?” tanya Sukma, ibu Matias.
“Bu, jangan bicara begitu! Larissa masih sedih,” Matias membela.
“Dia tak sadar dengan apa yang dilakukannya,” Sukma mengomentari Larissa yang memilah-milah pakaian bayi.
“Sayang, ayo makan,” Matias mengintip di balik pintu.
Larissa tak menghiraukan. Ia tetap memainkan boneka beruang. “Halo Marissa, apa kabar?” Tangannya yang lain meraih boneka gadis kecil, “Kabarku baik!”
“Aku menunggumu di bawah ya,” Matias memutuskan untuk keluar.
Sukma melihatnya. “Ibu sudah bilang, istrimu jadi gila!”
“Bu, ayolah! Apakah sebagai sesama wanita Ibu tak bisa mengerti perasaannya?”
“Dia sakit mental Matias, tidak normal!”
“Lantas kenapa? Bukankah wajar?! Mental manusia pasti akan terguncang saat mengalami kejadian yang menyakitkan!” seru Matias.
Perubahan Larissa begitu mendadak dan drastis, sama seperti kepergian Marissa. Larissa kehilangan sepuluh kilogram dari berat badan awalnya. Dia menolak makan. Kemampuan dasar dalam fungsi sehari-hari lenyap. Puncaknya ada di pekan kedua bulan November, setelah sekian lama mendekam di rumah, Matias mengajak Larissa ke taman.
“Pulihkan dirimu, aku akan selalu menemanimu,” Matias menggandeng istrinya.
Kemilau mentari hampir lenyap dimakan sore yang menuju malam. Larissa masih diam tak merespons apa pun sampai matanya menatap seorang perempuan yang menggendong bayi. Hadir binar di bola mata Larissa yang semula kosong. Selepas itu, ia berlari kencang menuju titik perhatiannya.
“Larissa, mau ke mana?!” Matias mengejar.
Potongan adegan terjadi secepat kilat. Larissa bertindak berdasarkan persepsi distorsi. Menentang keberadaan realitas yang aktual.
“Marissa, bayiku!” Larissa menjerit. Pendengarannya menolak peringatan Matias, Larissa mendekap erat-erat bayi yang menangis keras.
“Kau gila! Kembalikan anakku!” ibu asli si bayi berusaha merebutnya.
“Maafkan istriku, tapi dia tidak gila!” seru Matias. “Sayang, ayo kembalikan bayi itu pada ibunya. Dia bukan Marissa.”
“Tidak! Ini Marissa, anakku tersayang!” Larissa mengelus-elus wajah si bayi.
“Kembalikan, dasar sinting!” si ibu berhasil menarik anaknya. Ia melemparkan pandangan murka sebelum bergegas pergi dari sana.
Orang-orang di taman mulai memandangi mereka. Matias berusaha memberi pengertian kepada istrinya, tapi percuma. Penglihatan Larissa menjadi gelap. Gaya gravitasi di sekitarnya seolah lenyap. Ia tak tahu apakah ini adalah kenyataan absolut atau hanya rasio dalam panggung kepalanya saja.
Segala fakta di sekitarnya dicabut paksa dari batas kemampuannya menghadapi dunia. Larissa terapung-apung di udara bebas, partikel-partikel dirinya kehilangan pijakan. Deformasi dunia riil, hubungannya dengan realitas terputus. Namun, sepertinya ini bagus karena berarti kini ia dapat bersama Marissa.
Pada episode selanjutnya Matias duduk di ruang konsul bersama psikiater. Ruangan ini sangat nyaman, nyaris tak terasa seperti ruangan dokter di sebuah rumah sakit jiwa. Sementara itu Larissa yang tak sadarkan diri berada di ruang perawatan. “Istri Bapak menderita depresi psikotik, maka dari itu Larissa memiliki mood yang rendah dan mengalami delusi,” jelas Novita. “Dilihat dari rekap hal yang menimpa Larissa, problematiknya cukup serius dan kompleks.”
“Jadi…, dia menderita sebuah penyakit kronis?” tanya Matias.
Novita mengangguk, “Benar. Meskipun demikian, Larissa pasti bisa sembuh.”
“A-apakah aku telat membawanya ke tenaga medis?” Matias gusar.
“Lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Tindakan Bapak sudah sangat bijak.”
“Bagaimana pengobatannya?”
“Dukungan dari orang terdekat adalah obat paling baik,” jawabnya.
Tatkala si penentu waktu telah kembali bertumpu pada masa kini, Larissa terbangun di tempat tidurnya pada bangsal nomor tujuh. Di luar sudah tak lagi gelap, sepertinya sudah mendekati pagi. Cuitan burung-burung mulai terdengar.
“Sayang, aku langsung datang saat psikiatermu memberi kabar,” kata Matias.
“Aku mimpi bertemu Marissa,” ucap Larissa.
Matias tersenyum, mendekat dan memeluk istrinya. “Ayo bangkit bersamaku. Aku masih membutuhkanmu untuk melanjutkan hidup kita.”
Larissa diam, tapi kali ini ada sesuatu dalam dirinya yang luruh.
“Marissa juga akan sedih jika melihat ibunya seperti ini,” imbuh Matias.
“Aku mendukungmu di sisimu. Marissa mendukung kesembuhan ibunya dari surga,” pelukan Matias mengerat. Butiran air meluncur dari bola matanya dengan deras.
Sungai di mata Larissa ikut menyusul. Ia bingung, perasaan apa ini? Begitu menyakitkan, tapi juga melegakan? Untuk pertama kalinya sejak kepergian Marissa, ia menangis. Akhirnya ia terkoneksi lagi dengan saraf emosinya. Di bangsal nomor tujuh mereka menangis bersama dalam lengan satu sama lain. Namun kali ini adalah tangisan saling menguatkan yang menjadi sinyal kelahiran dari evolusi proses kesembuhan jiwa Larissa.
Seiringan dengan itu, angkasa hitam mulai memudar layaknya tinta di atas secarik kertas. Kegelapan malam meninggalkan langit menjadi warna lembut di hari baru. Matahari mengintip dari balik cakrawala, melambung lambat ke atas kaki langit. Kepingan sinar prisma dari kemilau fajar memeluk bumi. Seperti hari baru yang selalu lahir lepas kegelapan malam, selalu ada harapan untuk membuka lembaran hidup yang baru. ***
.
.
Elizabeth Gabriela, lulusan Universitas Multimedia Nusantara (2022). Saat ini ia bekerja di United Nations Development Programme (UNDP). Ia memiliki hobi menulis sejak kecil. Elizabeth bermimpi, suatu saat tulisannya bisa diangkat ke layar lebar dan menginspirasi banyak orang.
Victoria Sashivanya Erstyawan, seniman muda yang mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Aktif mengikuti berbagai kompetisi melukis di tingkat nasional dan internasional. Tergabung dalam beberapa komunitas seni rupa di Bali dan organisasi seni. Pameran terkininya: Merekam Jejak Art Exhibition, Batu 8 Studio (2023), Kami Bicara Art Exhibition, Baturan Art Space, Desa Batuan (2023).
.
Melahirkan Marissa. Melahirkan Marissa. Melahirkan Marissa. Melahirkan Marissa. Melahirkan Marissa. Melahirkan Marissa.
Leave a Reply