Cerpen Mardi Luhung (Jawa Pos, 13 Januari 2024)
I
MINGGU pagi yang biasa. Orang-orang kampung banyak yang libur. Menghabiskan waktu dengan membersihkan halaman rumah, got, atau menggarap kebun kampung, seperti Pak Y dan Pak B. Sebab, jika Minggu tiba, mereka berdua pun ada di kebun.
Mulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB (hanya rehat saat duhur dan asar), mereka berdua tak lelah-lelah macul, nyetek, atau sekadar memindah tanaman dari satu galian ke galian lain. Jika tidak begitu, mereka berdua pun mencari kotoran kambing ke kampung sebelah. Terus dibawa ke kebun. Kotoran kambing yang akan dijadikan pupuk.
“Kita mesti merawat kebun ini dengan cinta,” kata Pak B.
“Dengan cinta?” tanya Pak Y.
“Iya, dengan cinta,” tegas Pak B.
Memang, di kampung, mereka berdua mencintai tanaman. Mulai tanaman yang berbunga sampai berbuah. Mulai yang berumur panjang sampai yang berumur pendek, seperti lombok dan terong. Dan untuk urusan cinta seperti ini, Pak Y dan Pak B adalah jagonya. Kenapa? Karena Pak Y dan Pak B tak mau ada satu tanaman pun yang disia-siakan.
Semua tanaman mesti diberi tempat. Dan ditanam dengan semestinya. Sehingga, jika kita melihat kebun kampung yang mereka berdua garap, akan melihat sekian tanaman tumbuh dengan subur. Sekian tanaman yang mengingatkan pada sebuah hutan yang pernah ada di dalam dongeng. Dongeng yang kita dengar sewaktu kecil.
Nah, di Minggu ini, ketika asyik-asyiknya menggarap kebun, terlihatlah Pak RT membawa gergaji bergegas mendekati mereka berdua. Wajah Pak RT terlihat tegang.
“Pak RT ada apa?” tanya Pak Y.
“Tumben membawa gergaji segala?” sela Pak B.
Pak RT tak menjawab. Hanya gergajinya ditudingkan ke pohon ketapang yang ada di pojok kebun. Pohon ketapang yang tinggi. Pohon ketapang yang dedaunnya rimbun. Dedaun yang kini gampang rontok.
“Kenapa dengan pohon ketapang itu?” tanya Pak Y lagi.
“Kalian tahu, pohon ketapang itu mesti aku gergaji.”
“Kenapa?” tambah Pak Y.
“Di pohon itulah, si peri mungil bersembunyi. Si peri mungil yang sudah hampir sebulan tak pernah lagi hinggap di pinggiran jendela rumahku.”
“Loh,” sahut Pak Y dan Pak B serempak.
II
Malam itu, Pak RT bersiaga. Sebab, seperti biasa, tak lama lagi si peri mungil akan datang dan hinggap di pinggiran jendela rumahnya. Jendela di sebelah samping kiri rumahnya. Jendela yang bercat hijau. Jendela yang sebagian bahannya dari kaca. Jendela yang dibiarkan terbuka.
Selanjutnya, seperti yang diduga, si peri mungil pun hinggap di pinggiran jendela. Hinggap dengan anggun. Warnanya yang biru kemerahan seperti api kecil yang kebat-kebit. Dan sepasang sayapnya pun bergetar halus. Pak RT mendekat. Ingin menyentuh.
“Jangan menyentuh,” kata si peri mungil.
“Tapi aku ingin menyentuh,” balas Pak RT.
“Kau nanti akan tergoda.”
“Tergoda apa?”
“Tergoda pada setiap keanehan. Keanehan dunia. Juga keanehan cara untuk memilikinya.”
Pak RT ragu. Keanehan cara untuk memilikinya? Apa itu?
“Percayalah, itu akan membuatmu celaka.”
Dan entah bisikan nekat dari mana, Pak RT pun menyentuh si peri mungil. Tap. Dan ya sret, tiba-tiba lantai yang dipijak Pak RT bergoyang. Suasana jadi selang-seling. Dan tahu-tahu, Pak RT sudah berada di sebuah ruangan di dalam rumah megah. Pak RT duduk di tengahnya. Dirubung sekian orang. Sekian orang yang menunggu perintah. Perintah siapa? Tentu saja perintah Pak RT.
“Pak Bos.”
“Pak Bos.”
“…”
Pak Bos?
Astaga, siapa itu Pak Bos?
Pak RT celingukan. Ternyata, yang disebut sebagai Pak Bos adalah dirinya. Pak RT gugup. Tapi sebentar. Dan seperti dalam waktu yang dipercepat, Pak RT pun sontak lihai berperan sebagai Pak Bos. Sekian perintah pun dikeluarkan. Sekian hukum dan larangan pun didenguskan.
Anehnya, semua perintah, hukum, dan larangan itu kerap berakibat fatal. Sampai-sampai kerusuhan pun terjadi. Tapi anehnya, Pak RT yang berperan sebagai Pak Bos malah asyik bermain domino di rumah megahnya bersama kawan-kawannya. Sebuah permainan yang tergantung pada berapa jumlah bulatan dalam kartu. Jika sama boleh jalan. Jika tidak silakan mati. Dan apabila permainan sudah selesai, jumlah bulatan yang mati pun dihitung. Seperti menghitung dunia untung-rugi. Dunia yang kerap menjadi mimpi buruk.
Sayangnya, tepat pukul 04.00 WIB, Pak RT terbangun dari perannya sebagai Pak Bos. Si peri mungil yang hinggap di pinggiran jendela pun telah pergi.
III
Seperti yang dikatakan si peri mungil, jika Pak RT menyentuhnya, akan tergoda pada keanehan dunia beserta cara memilikinya. Dan itu kini terjadi. Betapa tidak, sejak Pak RT menjalani peran sebagai Pak Bos, sejak itu pula pikiran Pak RT selalu ingin menyentuh si peri mungil. Dan anehnya, setiap menyentuh, setiap itu pula Pak RT menjalani sekian peran yang tak terduga. Peran orang berpangkat, olahragawan terkenal, bintang iklan tersohor, sampai pada peran pendekar tanpa tanding.
Bahkan, yang tak terduga, Pak RT pernah memerankan orang yang selamat dari bencana alam. Seluruh negeri hampir hancur. Termasuk orang-orangnya. Lalu, Pak RT mengembara. Sampai kemudian bertemu dengan seorang wanita cantik yang juga selamat. Keduanya kawin dan menurunkan keturunan. Keturunan yang diajari oleh Pak RT dengan kata-kata yang maknanya diciptakannya sendiri.
“Ini batu,” kata Pak RT sambil menunjuk kaki.
“Itu rumah,” kata Pak RT sambil menunjuk pohon kelapa.
“Ini rumput,” kata Pak RT sambil menunjuk kerikil.
“Itu buku,” kata Pak RT sambil menunjuk sepeda.
“Ini beras,” kata Pak RT sambil menunjuk tiang listrik.
“Itu pintu,” kata Pak RT sambil menunjuk jendela.
“Ini piring,” kata Pak RT sambil menunjuk botol.
“Itu dasi,” kata Pak RT sambil menunjuk tampar.
“Ini kipas,” kata Pak RT sambil menunjuk kawat.
“Itu bibir,” kata Pak RT sambil menunjuk kuping.
Ya, ya, makna kata-kata pun jadi terbolak-balik. Tapi Pak RT puas. Sebab, ketika membolak-balik makna kata-kata itu, pikiran Pak RT seakan menjadi penguasa dunia. Penguasa yang mampu untuk memiliki pikiran siapa pun. Pikiran yang lama-lama percaya bahwa makna kata-kata yang mereka dapatkan (dari Pak RT) adalah makna yang benar. Makna yang layak dipercaya.
IV
“Biawak!” maki Pak RT. Entah pada siapa. Yang jelas, hati Pak RT gusar. Bayangkan, sudah hampir sebulan si peri mungil tak lagi hinggap di pinggiran jendela rumahnya. Dan hampir sebulan pula, Pak RT tak bisa berperan jadi siapa pun. Jadinya, apa-apa yang dirasakan selama hampir sebulan ini begitu hambar. Tawar. Dan menjengkelkan.
“Ke mana si peri mungil? Kenapa tak muncul? Apa kesasar?” kata Pak RT seperti pada diri sendiri. Lain itu, yang perlu ditambahkan, meski peran-peran yang dijalani Pak RT hanya beberapa jam, tapi itu begitu menggoda untuk diulang-ulang. Dan lewat peran-peran itulah Pak RT dapat memuaskan hasratnya untuk memiliki siapa dan apa pun. Sehingga, diam-diam, lewat peran-peran itu, Pak RT punya pameo: “Hidup hanya mampir memainkan peran.” Pameo yang kini begitu kuat merasuki dada Pak RT. Dada yang berdetak kencang. Dada milik lelaki berumur 52 tahun. Tanpa istri, anak, dan keluarga. Lelaki yang sehari-hari bekerja serabutan.
Selanjutnya, entah ide dari mana, atau ada demit yang berbisik, Pak RT merasa bahwa si peri mungil pasti bersembunyi di suatu tempat. Dan tempat itu pastilah sebuah pohon yang punya daun rimbun, berwarna hijau, kuning, terus rontok. Pohon, yang setelah Pak RT memutari kampung, cocok benar dengan pohon ketapang yang ada di kebun kampung. Kebun kampung yang digarap Pak Y dan Pak B.
Dan memang, malam itu juga, Pak RT mengeluarkan gergajinya. Terus mengasahnya. Dan ide atau bisikan untuk mendatangi pohon ketapang esok harinya semakin santer dan kuat. Pak RT pun terus mengasah. Mengasah. Dan mengasah. Bunyi kikir beradu dengan ketajaman gergaji terdengar sampai jauh. Bahkan, di sela-sela pengasahan itu, sesekali terdengar maki Pak RT: “Biawak. Benar-benar biawak!”
V
Seperti terceritakan, esok harinya, Pak RT pun memang mendatangi pohon ketapang di kebun kampung yang digarap Pak Y dan Pak B. Lalu keributan pun terjadi. Orang-orang kampung berdatangan. Pak RT diamankan. Tapi, di luar itu semua, Pak RT tetap saja tak tahu, kenapa kini si peri mungil tak lagi hinggap di pinggiran jendela rumahnya. Dan kenapa pula, selama mengasah gergajinya semalam, si peri mungil hanya mengintip dari tempat yang tersembunyi. Yup, itu tak lain, peran yang akan dijalani Pak RT (jika sekali lagi menyentuh si peri mungil) adalah peran yang mesti berhadapan dengan sesuatu yang tak pernah terduga. Sesuatu yang juga ada di dunia aneh yang dimasukinya. Sesuatu yang sudah lama ingin bertemu dan bertarung dengan Pak RT. Dan setelah Pak RT kalah, pun dimasukkan ke dalam karung. Terus digandulkan di pohon tinggi yang tak ada satu pun orang tahu letaknya. ***
.
.
Mardi Luhung. Lahir dan tinggal di Gresik. Buku kumpulan cerpen terbarunya adalah Jembatan Tak Kembali (2022).
.
Pak RT Membawa Gergaji. Pak RT Membawa Gergaji. Pak RT Membawa Gergaji.
Leave a Reply