Cerpen Kurnia Effendi (Femina, Februari 2005)
BERLARI ke mana pun, Fransiska akhirnya kembali ke tanah air. Mencoba menghapus perasaan sakit hatinya di Beijing, bersunyi-sunyi di Pyongyang, dan mengubah hidup di Chicago. Ternyata Fransiska tak sanggup menghilangkan perasaan rindunya pada Jakarta. Sejauh ia terbang, ingin bersarang di rumah sendiri.
Begitu mencium udara Indonesia di Bandara Soekarno Hatta, tak dapat ditahan air matanya yang meleleh. Di sinilah rumahku sebenarnya, pikirnya, gemetar. Udara tropis yang kerap kali membuatnya berkeringat. Berita kriminal di koran kuning yang kadang-kadang menyebabkan mual. Tapi, secobek sambal terasi dan masakan Padang tak mungkin didapatkannya di negeri lain.
“Fransiska!”
“Hai, Monik! Kamu yang menjemputku?”
Monik memeluk sahabat lamanya di pintu keluar kedatangan internasional. Melalui pelukan itu, Monik tahu bahwa Fransiska tidak segemuk ketika berangkat meninggalkan Jakarta tiga tahun silam. Kini rambutnya lebih cepak hingga wajahnya lebih tampak bundar. Tapi, jika tertawa, pipinya masih bersemu merah dadu dan sepasang matanya pun nyaris menghilang.
“Kamu sehat, Sis?” Monik menatap dari ubun-ubun hingga ujung sepatu ketsnya. Dengan busana kasual, Fransiska terlihat lebih santai. Boleh jadi, pikir Monik, dia telah melupakan semua trauma masa lalunya.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Kamu tahu, aku tak akan hamil di mana pun berada,” kata Fransiska, tertawa. Terasa lebih lepas. “Ayo, bawakan bagasiku.”
“O, sorry, Sis.” Monik segera meraih troli yang mengangkut beberapa tas besar. “Apa saja yang kamu bawa?”
“Apa lagi kalau bukan buku? Aku tak rela meninggalkannya di sana. Kamu tahu, aku bukan kolektor pakaian. Tapi, ada beberapa CD musik yang kamu pasti sangat suka.” Fransiska melangkah mengikuti Monik, menyeberang jalan yang kering oleh panas matahari, menuju tempat parkir.
“Syukurlah kamu masih ingat kegemaranku,” Monik membuka bagasi mobilnya. “Ada salam dari Adam. Sudah kusiapkan kamar untukmu.”
“Oh, Monik! Bagaimanapun, aku ingin pulang ke rumah sendiri. Aku ….”
Fransiska mengatupkan bibirnya. Mana mungkin dia akan menyaksikan kemesraan Monik dengan suaminya, sementara dia baru sembuh dari luka yang dalam?
“Tapi, bukankah kamu pulang tanpa memberi kabar orangtuamu? Kupikir, sebaiknya kamu menginap di rumahku barang semalam. Nanti kutelepon ibumu dan kita bersama-sama ke Kebon Jeruk jika badanmu sudah lebih segar.” Monik memandang lurus Fransiska. “Aku tahu kamu letih. Jet-lag, kan?”
Fransiska menyerah dan duduk sambil merebahkan sandaran kursi. Monik menyalakan mesin mobil, lalu mereka meluncur melalui jalan tol ke Jakarta Timur.
Ketika mata Fransiska terpejam, ia teringat bagaimana ia dulu “lari”. Dengan mata sembap, ia datang ke rumah Monik. Menitipkan barang-barang berharga di rumah sahabatnya itu dan minta diantar ke bandara menjelang subuh.
“Bawalah rosario dan kitab suci. Seperih-perih hatimu, jangan lupakan Tuhan,” pesan Monik. Waktu itu wajah mereka sama-sama kusut. Semalaman tidak tidur dan paginya pergi, hanya sempat menggosok gigi. “Kamu makan sup yang hangat di KFC supaya perutmu tidak terlampau kosong. Sorry, aku di rumah tak pernah masak.”
Fransiska ingat, dia hanya menepuk-nepuk paha Monik sebelum turun dari mobil. Dan kini, pada siang yang cerah, Monik menjemputnya. Tiga tahun seperti sekejap mata. Sahabatnya tidak berubah, kecuali kini mulai memulas kuteks di kuku-kuku jari tangan dan kakinya.
Mereka bersahabat sejak kelas I SMA, sejak berebut novel Sydney Sheldon di perpustakaan. Monik yang cute suka mengalah, tapi justru lebih beruntung. Adam menyuntingnya ketika hubungan Fransiska dan Jimmy mulai kacau. Seingat Fransiska, Monik tidak pernah cerewet memilih pasangan. Adam jatuh cinta pada Monik sejak pandangan pertama. Ya, Monik yang cute! Ketika itu mereka menghadiri pesta ulang tahun Sanie B. Kuncoro, seorang pengarang yang cerpennya sering menghiasi majalah wanita.
Saat itu Fransiska hanya tersenyum untuk dua hal. Pertama, tentu Adam tak akan menaksirnya karena tubuhnya tidak selangsing Monik. Kedua, Adam bukan pria yang masuk dalam seleranya. Ia pegawai bank berkacamata minus. Ia selalu tampak terlalu rapi. Apalagi, Fransiska telah mendapat suami yang tepat menurutnya. Jimmy! Seorang redaktur pelaksana majalah hiburan khusus pria. Dari Jimmy, Fransiska memperoleh banyak pengalaman dan pergaulannya pun makin luas. Ia merasa sangat paham tentang dunia hiburan pria dan ia menikmati kehidupan itu.
“Tapi, aku tak bisa punya anak,” bisik Fransiska.
“Sis,” tegur Monik. Fransiska terperanjat dan membuka matanya. “Kamu mimpi?”
“Oh, maaf.” Ia mengusap matanya yang basah. “Kupikir, aku telah mampu melupakan semuanya. Aku letih, Nik.”
“Aku tahu. Justru karena itu, sebaiknya kamu tetap di Jakarta. Membangun karier kembali. Aku akan selalu menemanimu.”
Fransiska tersenyum, lalu mencium pipi Monik. “Aku tak dapat membalas kebaikanmu.”
***
FRANSISKA memandang kamar yang disiapkan oleh Monik. Sebuah kamar tamu yang tidak terlalu besar. Ada tempat tidur dan lemari pakaian bergaya minimalis. Di meja rias terletak sebuah laptop. Sejenak mata Fransiska bersinar.
“Aku sudah minta izin Adam agar komputernya bisa kamu pakai. Siapa tahu kamu ingin menulis lagi. Atau berhubungan dengan kawan-kawanmu di Chicago melalu internet,” bisik Monik, di telinganya.
“Kamu sungguh baik, Nik,” ujar Fransiska tanpa menoleh. Matanya tertarik pada sebuah kontainer plastik yang terletak di sudut. “Apa itu?”
“Oh, itu semua milikmu yang dititipkan padaku. Buku harian, manuskrip novelmu, surat, dan foto-foto. Ada juga boneka kesayanganmu. Kusimpan di situ agar tidak rusak. Anak-anakku suka jail.”
“Ya, Tuhan, kamu masih menjaganya…,” Fransiska surprised. “Aku bahkan tak tega menanyakannya, takut membuatmu merasa bersalah.”
Monik tertawa perlahan. “Oke, aku siapkan makan siang. Aku pesan ke restoran saja. Pukul tujuh nanti baru bertemu Adam.”
“Anak-anak?”
“Belum pulang sekolah. Sebentar lagi.”
Fransiska tersenyum dan membiarkan Monik berlalu ke dapur. Ia kini berjongkok di sudut, membuka kontainer seperti membongkar harta karun berlumut yang telah tersimpan entah berapa abad. Ia ragu-ragu sejenak. Akankah kontainer itu membuat hatinya gembira atau justru lebih tersungkur dalam kesedihan?
Sampai kini ia belum mengerti benar, apakah perceraian telah membuatnya lebih berbahagia. Ia tahu bahwa Jimmy punya banyak kawan wanita. Sebelum menikah dengannya, Jimmy sudah memiliki banyak kekasih. Bahkan, satu di antaranya harus bertengkar dengan Fransiska. Entah kenapa Jimmy yang hidup dengan sedikit gaya bohemian itu begitu mempesona. Ia merasa tak perlu cemburu karena setiap ada kegiatan liputan hiburan malam, Fransiska selalu diajaknya.
Namun, pernikahan tidak mengubah cara hidup itu. Fransiska ingin memiliki rumah mungil dan suami yang bekerja normal. Boleh saja sedikit nakal. Asal, hari Sabtu dan Minggu seutuhnya milik Fransiska. Tapi, hari-hari yang mereka lalui tetap sunyi karena anak yang dinantikan tak kunjung lahir.
“Kalian terlalu sibuk,” komentar Monik, ketika Fransiska curhat. “Cobalah berbulan madu di tempat yang jauh dari keramaian. Lupakan pekerjaan barang seminggu. Bercintalah dengan kesungguhan di tepi pantai atau di lereng gunung.”
Fransiska pun mengumpulkan banyak brosur tempat liburan yang eksotis. Tapi, Jimmy selalu dikejar deadline, atau entah apa yang membuatnya selalu tak sempat makan malam di rumah. Ujung-ujungnya, Fransiska tahu, ada sekretaris redaksi yang kerap diantar Jimmy pulang ke rumahnya. Lalu, pecahlah pertengkaran yang kadang-kadang membuat Fransiska mengungsi ke rumah orangtuanya di Kebon Jeruk.
Fransiska menggelengkan kepala. Mengusir setiap bayangan kelam yang berduyun-duyun datang. Ia bertekad kembali ke Jakarta bukan untuk menggali kesedihan yang pernah dikuburkan. Benar kata Monik, aku harus membangun karier, atau seratus persen menjadi penulis novel, pikirnya. Itu pasti lebih baik. Di beberapa negara yang sempat ditinggali, dia menulis banyak kisah yang tersimpan rapi dalam disket. Hanya tinggal memeriksa kembali, menyunting di sana-sini, lalu menerbitkannya.
Ia pandangi foto-foto saat ia masih menjadi sekretaris perusahaan asing. Tiba-tiba ia mendapatkan seberkas kliping yang menyimpan puisi-puisi favoritnya. Ia melonjak gembira ketika pada lembar pertama ia dapatkan tulisan Jodik Givara, sebuah puisi berjudul Burung Kolibri Merah Dadu.
Puisi itu ditujukan khusus untuk Fransiska, dimuat di sebuah majalah remaja sekitar empat belas tahun silam untuk edisi Valentine. Fransiska berdebar dan merasa tubuhnya gemetar. “Mengapa kutemukan ini di bulan Februari?”
Ia berdiri seperti bangkit dari mimpi dan bergegas mencari Monik. “Kamu masih ingat Jodik Givara, Nik?”
“Siapa?” Monik mengerutkan kening. “Penyair Bandung itu? Kukira pria itu telah ditelan bumi. Sungguh, aku tak mendengar kabarnya.”
Fransiska duduk di sofa, menghela napas panjang. “Entah mengapa, tiba-tiba aku rindu padanya.”
Monik duduk di sebelahnya. Diambilnya kliping dari tangan Fransiska. Dibacanya puisi yang membuat perasaan sahabatnya berkecamuk.
.
Pernahkah terlintas dalam pikiranmu,
tentang seseorang yang hadir di beranda
dan berkata, “Kartu Valentine itu dariku.”
Dialah yang menangkap setiap
perasaan bimbang dan cemasmu
.
Pernahkah engkau benar-benar merasa takjub,
ketika sekali lagi ia mengatakan, “’Burung kolibri
merah dadu itu kuterbangkan dari hatiku,
hanya untukmu. Sungguh.”
Lalu kaucuri sepasang bintang dari tatapannya
yang amat cemerlang
Pernahkah?
.
“Kurasa dia dulu sempat mencintaimu. Memang, kamu mirip burung kolibri yang terbang begitu jauh. Tapi akhirnya kembali juga ke bumi.” Monik tertawa perlahan. “Ayo, kita makan. Gurami goreng kita sudah tiba.”
***
HARI Minggu masih redup oleh gerimis Februari yang turun sejak semalam. Fransiska masih bergulung di tempat tidur ketika ditelepon Monik.
“Ada kejutan buatmu, Sis! Lihat koran hari ini. Ada tulisan Jodik Givara.”
“Benarkah?” Fransiska melompat.
“Saran Adam, besok kamu telepon ke redaksinya untuk mendapatkan alamat atau nomor telepon Jodik.”
Fransiska menutup telepon dan lari ke serambi. Ia lupa menanyakan surat kabar apa yang memuat tulisan Jodik. Dicegatnya tukang koran yang lewat dan memborong semua yang memiliki halaman sastra. Lantas dibukanya satu per satu dengan perasaan tak sabar. Nah, ini dia!
“Oh, Jodik! Ingatkah ketika kamu kemalaman di rumahku dulu? Aku melarangmu pulang dan kusiapkan ayam bakar untukmu. Ingatkah ketika aku dengan sabar menyayat-nyayat daging ayam itu di piringmu?” Fransiska bagai terbakar oleh api kenangan itu.
Keesokan harinya Fransiska melacak nomor telepon Jodik. Ternyata tidak sesukar yang dibayangkannya. Begitu mudahnya. Tapi, sungguh tak gampang untuk mulai menghubunginya. Fransiska sangsi sekaligus cemas. Apakah Jodik masih mengingatnya? Seandainya ingat, akankah sikapnya akan sesuai harapannya?
“Monik, sebaiknya aku melupakannya. Kami tak bertemu lebih dari selusin tahun. Dia tak akan mengenaliku lagi.”
“Bagaimana kamu tahu jika tidak pernah meneleponnya?” bantah Monik. “Ayolah, apa salahnya? Setidaknya kamu akan punya dua teman yang bakal memberimu semangat untuk bangkit kembali.”
Akhirnya, Fransiska menekan sepuluh digit nomor telepon seluler Jodik Givara. Lama tak diangkat, sebelum akhirnya terdengar suara di seberang. “Halo.”
“Jodik Givara?”
“Benar. Siapa ini? Sepertinya, aku pernah mengenal suaramu.”
“Fransiska!”
“Fransiska?! Ya, ampun! Di mana kamu, Sis? Berapa abad kita tak jumpa? Di Amerika atau di Jakarta? Gila! Aku tak percaya. Apa kabarmu?”
“Aku sehat. Anakmu berapa, Dik? Aku sudah di Jakarta hampir sebulan. Aku baca puisimu kemarin di koran Minggu. Kapan menulis puisi untukku lagi?” Kegembiraan Fransiska meluap-luap.
“Gila! Kita harus ketemu dan ngobrol! Aku justru kehilangan arsip puisi-puisiku yang dulu, termasuk yang kukirim untukmu. Aku pernah menghubungimu berkali-kali, ke rumah dan ke kantormu, beberapa tahun lalu, tak pernah disambungkan. Aku selalu ingat ucapanmu setiap memandang mataku.”
Fransiska tertawa. “Oke, Dik. Besok kita makan siang bersama di Sarinah.”
“Apakah tak bisa hari ini? Serius, aku kangen!”
“Hmmm, aku ….”
***
FRANSISKA sempat serba salah saat memilih baju. Tapi, ia percaya, Jodik tak akan berkomentar apa pun. Begitu tiba di lobi, Fransiska menuju lift karena ia tahu nomor dan lantai kamar Jodik di hotel itu. Sebuah diskusi sastra sedang digelar dan Jodik menjadi salah seorang pembicara pada hari kedua. Entah mengapa Fransiska tidak lagi berpikir panjang untuk menunda pertemuan.
Tiba di lantai 6, Fransiska mencari nomor kamar yang dimaksud. Pintu yang diketuknya terbuka. Di hadapannya berdiri Jodik Givara, mengenakan baju kotak-kotak yang membuatnya tampak lebih seksi. Beberapa uban tampak menghiasi kepalanya.
“Siska!” Jodi mengembangkan kedua tangannya.
Fransiska menyerbu ke dalam pelukannya. Tanpa sadar, air matanya menetes di antara senyum kegembiraan.
“Aku hanya mendengar kabar, akhirnya kamu bercerai. Kemudian berpindah-pindah kerja. Sampai akhirnya kamu terbang entah ke mana, seperti kolibri yang liar. Ada yang bilang kamu ke Korea terus ke Amerika.”
Fransiska merenggangkan pelukan. Menatap wajah Jodik dengan seksama. “Matamu masih cokelat, Dik.”
Jodik tertawa. Tanpa sadar ia mencium bibir Fransiska. Membuat Fransiska terpejam, hampir lupa ingatan. “Aku kangen! Aku ingin melihat burung kolibri yang ceria sebagaimana kukenal sejak awal.”
Fransiska mengusap air matanya. “Jodik, keinginanmu membuatku merasa tambah bersalah. Kamu tahu aku sudah tidak perawan lagi. Kamu tahu hidupku remuk-redam.”
“Jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu tinggal mencari titik untuk bangkit kembali. Aku akan membantumu.” Jodik menatap Fransiska dengan sepasang mata yang selalu dibilang cokelat oleh Fransiska. Warna favoritnya. “Mana calon novelmu?” tanya Jodik.
Sejak pertama kali berkenalan, Jodik memang bercita-cita menulis novel bersama. Tapi, tentu bukan sekarang saatnya. Fransiska menggeleng bimbang. Bibirnya gemetar. Ia harus tahu diri. Ia datang ke kamar ini bukan untuk menghancurkan kehidupan orang lain.
“Siska? Kamu mengira aku sudah menikah?” Jodik menghampiri Fransiska, memeluknya dan menciumnya dengan lembut. Fransiska hanya perlu memejamkan mata. Ia membayangkan tak ada lagi bentangan benua dan hamparan laut untuk melarikan diri. Ketika degup jantung mereka beradu, Jodik teringat sesuatu, “Hei, pintu kamar belum ditutup!” ***
.
.
Jakarta, 2005
Untuk Tina K, sahabat yang lama tak menulis.
.
Burung Kolibri Merah Dadu. Burung Kolibri Merah Dadu. Burung Kolibri Merah Dadu. Burung Kolibri Merah Dadu. Burung Kolibri Merah Dadu.
Leave a Reply