Cerpen, Jujur Prananto, Kompas

Kado Istimewa

Kado Istimewa - Cerpen Jujur Prananto

Kado Istimewa ilustrasi Ipong Purnama Shidi/Kompas

4.5
(11)

Cerpen Jujur Prananto (Kompas, 20 Oktober 1991)

BU Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apa pun hambatannya. Berapa pun biayanya. Ini sudah jadi niatannya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, Bu Kustiyah akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukkan bahwa Bu Kus tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.

***

“PAK Hargi adalah atasan saya yang saya hormati,” begitu Bu Kus sering bercerita pada para tetangganya. “Beliau adalah seorang pejuang sejati. Termasuk di antara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun saya cuma bekerja di dapur umum, tapi saya merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.”

Namun begitulah—menurut Bu Kus—setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu tumbangnya rezim Orla dan bangkitnya Orde Baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya kemungkinan komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Tetapi bukan berarti Bu Kus merasa jauh dengan Pak Gi. Sebab—dalam istilah Bu Kus—“kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.

“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil tercapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan.”

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa selalu dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tigapuluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah maka ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.

***

LEWAT tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Merasa beres dengan segala tetek-bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga Bu Kus sudah duduk di peron stasiun, padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang-bincang tentang masa lalu. Tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Ngatimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takkan terlupakan biar pun terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.

“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!”

Tapi Bu Kus sudah telanjur berdiri di bordes. “Pokoknya sampai Jakarta!”

“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!”

“Pokoknya punya karcis!”

Dan memang, setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian. “Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu?”

“Di telegram kan saya bilang mau datang?”

Baca juga  Suatu Ketika di Ruang Gawat Darurat

“Tapi tanggal pastinya ibu tidak menyebut.”

“Yang penting sudah sampai sini.”

“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis kan bisa jemput Ibu di stasiun.”

“Saya tidak mau merepotkan. Lagipula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut di surat.”

“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu???”

“Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”

“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“Apa-apa kok mesti laporan.”

“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sedikit ragu melanjutkan ucapannya. “Ibu kan… tidak diundang?”

“Lho kalau tidak pakai undangan apa ya lalu ditolak?”

“Ya, tidak. Tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP, mana yang biasa.”

“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai vi-vipan segala.”

“Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar dari Mas Totok saja, Bu. Mas Totok juga cuma dengar omongan kiri-kanan.”

“Suamimu itu kan sekantor sama Pak Gi. Masa’ tidak diundang?”

“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagipula Mas Totok itu karyawan biasa, jauuh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi ya nggak bakal tahu menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”

“Kan bisa tanya?”

Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“Ingat, Wuk,” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “Aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Lain tidak.”

***

MENCARI informasi tentang tempat dan waktu penyelenggaraan resepsi tersebut ternyata sama sekali bukan pekerjaan sulit bagi suami Wawuk. Pak Hargi adalah seorang pejabat eselon satu pada pos yang sangat penting. Sedemikian penting jabatan itu hingga ibarat kata beliau terkena gejala flu saja—baru gejalanya saja-rasa-rasanya seluruh departemen bakal tahu. Itulah maka dengan gampang suami Wawuk bisa memperoleh keterangan lengkap, termasuk copy undangan resepsi pernikahan tersebut.

“Acaranya besok jam tujuh malam, di Puri Agung Hotel Sahid Jaya.”

“Astaghfirullah. Di hotel?”

“Ya, Bu.”

“Bukan di gedung?”

“Di hotel itu ada fasilitas ruang resepsi, Bu.”

“Ooo….”

“Barangkali, lho. Soalnya saya sendiri belum pernah masuk.”

“Tapi Nak Totok tahu hotel itu di mana?”

“Tahu, Bu.”

Tengah malam giliran Wawuk yang tak bisa tidur. Dalam dirinya berkecamuk berbagai perasaan yang tidak keruan. Ingin sekali ia melarang ibunya datang, tapi sungguh tidak ada alasan untuk itu. Tak mungkin ia mengatakan: “Kenapa harus mendatangi pestanya orang yang bisa jadi telah melupakan kita,” atau “Mereka toh tidak mengharapkan kita datang,” atau alasan-alasan lain yang salah-salah justru akan berbalik melipatkan semangat ibunya untuk datang hanya demi membuktikan, “Pendapat kamu itu salah, Wuk!”

Di sisi lain, Wawuk sendiri juga merasa sangat berdosa, kenapa dalam dirinya bisa timbul rasa malu pada ibunya sendiri. Ya, darimana munculnya perasaan jahat itu? Padahal sesungguhnya ia sangat menghormati ibunya. Sangat menghormati kesederhanaannya. Idealismenya. Sikap moralnya. Kenapa rasa hormatnya pada nilai-nilai itu begitu gampang gentar hanya karena ibunya akan hadir di sebuah pesta di hotel berbintang lima?

Wawuk bangkit dari pembaringannya, pelan masuk ke kamar ibunya. Kosong. Pandangan Wawuk lalu bertumpu pada tas kulit ibunya di pembaringan. Tas itu dibukanya. Kain kebaya di dalamnya ia kenal betul sebagai pakaian ibunya lima atau enam tahun yang lalu. Wawuk ingat ketika ia pernah ingin membelikan pakaian yang sedikit lebih bagus, ibunya menolak dengan alasan yang tak jelas. Juga selop hitam itu, yang bahkan solnya sudah ditambal entah untuk keberapa kalinya.

Mendadak terdengar panci jatuh. Wawuk bergegas ke dapur. Perasaan Wawuk makin bergolak melihat ibunya sibuk memasak. Di meja terletak nampan anyaman bambu yang sudah dilapisi kain putih berhias bordiran. Bakul-bakul kecil ditempatkan di atasnya secara rapi. Di atas kompor yang menyala terletak dandang yang mengepulkan uap tebal.

Baca juga  Cerita Ki Azzam

“Masak apa, Bu?”

“Tiwul.”

“Tiwul gaplek? Buat apa?”

“Berhari-hari saya mencari kado yang tepat untuk putranya Pak Gi. Sesuatu yang khusus, yang istimewa, dan terpenting yang bermakna. Baru kemarin saya menemukan pilihan yang tepat. Kenapa bukan makanan zaman perjuangan? Melihat kado yang isinya lain dari yang lain ini nanti tentulah putra Pak Gi akan bertanya pada bapaknya. Pak Gi pasti akan terkesan sekali dan menerangkan panjang-lebar makna makanan ini dalam masa perjuangan. Paling tidak dengan begitu putra Pak Gi secara nyata bisa melihat gambaran kenyataan masa lalu yang dijalani oleh ayahnya. Ah! Kado ini nantinya tentu akan menjadi yang paling penting di antara kado-kado lain. Istimewa sekaligus bermakna….”

“Tapi… bisa basi kan, Bu?”

“Kalau aku yang bikin, sampai tiga hari juga tahan.”

Wawuk berdiri mematung. Ada sederetan ucapan yang tersekat di mulutnya.

***

PENJAGAAN ketat mewarnai ruang resepsi hotel Sahid Jaya. Di halaman bertebaran petugas security, lengkap mengenakan setelan jas hitam dan handy-talky di tangan. Pintu masuk hanya separuh terbuka kurang lebih cuma semeter, dilengkapi dengan bingkai detektor beralarm.

Bu Kus melihat semua itu dengan pandangan kagum. Tangannya memegang erat kotak kado berbungkus kertas cokelat yang telah dipersiapkannya begitu lama.

Pasangan-pasangan tamu bergiliran masuk ke ruang resepsi. Masing-masing membawa amplop undangan berukuran duapuluh kali duapuluhlima senti, dengan permukaannya berelief ukiran warna keemasan. Dengan langkah yang digagah-gagahkan Totok dan Wawuk mengikuti arus para tamu ini, mengawal Bus Kus masuk lebih dulu lewat pintu detektor.

“Selamat malam, Bu.”

“Selamat malam, selamat malam.”

Bu Kus menyerahkan kadonya pada petugas yang cantik-cantik itu.

“Tolong simpan baik-baik kado saya ini, Nak. Menaruhnya jangan sampai terbalik, nanti tumpah semua. Isinya makanan istimewa.”

“Terima kasih, Bu. Silakan terus ke dalam. Tapi mohon jangan mendahului ke pelaminan sebelum rombongan presiden datang.”

“Waduh yung! Pak persiden hadir juga?”

Bu Kus makin lincah saja memasuki ruang resepsi. Decaknya berkali-kali terdengar menyertai kekagumannya melihat ruangan yang teramat indah, besar dan megah ini. Di sana-sini bertebaran meja panjang berisi hidangan makanan dan minuman, berhiaskan susunan lilin warna-warni dan ukiran-ukiran dari balok es raksasa. Dan nun jauh di dalam sana, di tempat yang agak ketinggian, di pelaminan berwarna keemasan, duduklah sepasang pengantin dan para orangtua masing-masing. Sepanjang jalan menuju ke sana tergelar permadani merah bertabur kembang melati, yang di kiri-kanannya berdiri belasan pemuda-pemudi cantik pager bagus dan pager ayu, berseragam sutera kuning berhiaskan juntai-juntai renda merah tua.

Namun Bu Kus belum merasa lega sebelum bertemu langsung dengan Pak Gi. Dan untuk ini masih diperlukan sejumlah kesabaran lagi. Semua tamu harus menunggu setengah jam lebih sampai hadirnya rombongan presiden. Begitu rombongan presiden datang, bersalaman-salaman, berfoto bersama dan meninggalkan gedung, kurang-lebih dua ribu tamu berebutan antre menuju pelaminan. Di urutan yang ke seribu sekian Bu Kus tetap bertahan untuk berdiri tegar, dengan perasaan yang kian berdebar.

Setelah kurang lebih sejam berdesakan-desakan, sampai jugalah Bu Kus di tempat pelaminan. Perasaannya berbinar dan ia pun berbisik dalam hati mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa.

Dengan tangan gemetar Bu Kus menghaturkan salam pada Pak Gi.

“Awet muda, Pak Gi. Benar-benar awet muda. Selamat, Pak Gi.”

“Terima kasih… terima kasih….”

Rupanya Bu Kus tidak bisa menahan diri, menubruk tangan Pak Gi, mencium tangan itu dan menangis terisak-isak. “Kustiyah, Pak Gi. Saya Kustiyah. Dapur umum.”

Baca juga  Burung Ayah

Pak Gi sempat mengerutkan keningnya, tapi kemudian cepat menguasai keadaan, mengesankan ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. “Ooo… ya, ya. Terima kasih, lho.”

“Pas Kalasan, Pak. Mas Aris, Mas Dal, Ngatimin cebol. Sekarang pada ngumpul di Semarang.”

“Ooo… ya, ya….”

“Semua di sana tetap kompak, Pak. Tapi jangan tanya soal Nyai Kemuning, lho,” isak tangis Bu Kus berbaur dengan tawa.

“Ya ya ya… terima kasih banyak, lho. Terima kasih.”

“Kapan kita bisa berbincang lebih banyak, Pak Gi?”

Sesaat Pak Gi kehilangan kata-kata. Bu Gi sedikit tegang. Para tamu mulai bergumam karena macetnya antrean.

“Emm… kapan-kapan saja. Terima kasih atas kedatangannya.”

“Terima kasih kembali, Pak. Sekali lagi saya ucapkan selamat.”

“Ya, ya. Terima kasih.”

“Wah ini putranya Pak Gi, ya? Persis Bapak waktu muda dulu….”

Selesai menyalami semuanya Bu Kus akhirnya meninggalkan pelaminan. Antrean berjalan lagi setelah beberapa saat mengalami kemacetan. Semua lega. Tapi tak ada yang bisa menandingi kelegaan Bu Kus. Ruang resepsi yang maha indah dan luas itu dirasakannya hangat menyambut kedatangannya. Ia mengajak Totok dan Wawuk menjelajahi seluruh ruangan, mencicipi semua jenis makanan.

“Pak Gi ini benar-benar seorang pejuang yang tak pernah melupakan cita-citanya.”

“Cita-cita yang mana, Bu?”

“Bahwa yang tak kalah penting dengan perang melawan penjajahan adalah perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan. Lha ini semua kan bukti keberhasilan beliau melawan kemiskinan?”

“Ibu sendiri kenapa tidak mengikuti jejak Pak Gi?”

“Sebagai mantan bagian dapur umum saya tetap berjuang terus, lho! Melawan kelaparan….”

***

SEMINGGU kemudian, di rumah pengantin baru, di kamar penyimpanan kado. Pengantin pria duduk kelelahan berselonjor di kursi panjang sementara istrinya yang masih gres itu sibuk menginventarisasi kado, termasuk yang masih tersimpan dalam karung-karung plastik, yang bahkan belum pernah dibuka sejak resepsi tempo hari.

“Halo pengantin baru!”

Rombongan saudara-saudara kandung dan sepupu pada datang. Pengantin pria bangkit dari duduknya. Pengantin wanita nampak lega.

“Naaa… dari kemarin-kemarin, kek, kemari. Pusing, nih, ngatur kado sebegini banyak. Udah, pilih sendiri-sendiri mana yang suka! Yang paling banyak jam dinding, seterikaan ada enam belas biji, seprei dua puluh lima, lemari es lima biji tapi sudah ada yang pesan semua, dua kita pakai sendiri, tea-set banyak yang bagus tuh, lampu meja, lampu dinding, termos, handuk, kondom. Ambil! Ambil!”

“Kunci mobil ada nggak?”

“Bi-em double-u, lho!”

“Ai, gilaaa…!!! Kunci rumah?”

“Ada deh….”

“Amplop? Amplop?”

“Langsung masuk rekening….”

“Yang masih pada di karung apaan, nih?”

“Bongkar aja, bongkar!”

“Busyet! Bau busuk!”

Semua perhatian berpusat di sebuah kado berbungkus kertas coklat. Di berbagai sudutnya nampak basah. Kado itu pun dibuka. Mereka tak tahu apa nama makanan dalam nampan anyaman bambu yang ditutup kain putih berbordir itu, sebab rupanya sudah tak keruan dan berjamur di sana-sini. Ada selembar kertas bertulisan tangan yang sulit terbaca karena tintanya sudah menyebar kena lelehan gula merah.

“Ibu… Kus… Kustijak… Kustijah. Siapa sih dia?”

Pengantin pria mengamati kado ini. “Mana gua tahu. Imaaah!!!”

Pembantu perempuan muncul.

“Bawa keluar, nih!”

“Mau disimpan di mana, Mas?”

“Disimpan? Buang!!!” ***

.

.

Jakarta, Oktober 1991

.
Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa. Kado Istimewa.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 11

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!