Cerpen Tanti Kuben Koko (Pikiran Rakyat, 13 Januari 2024)
Puisi pertama yang berhasil aku buat dengan bantuanmu: semangat dan hangat. Bukan. Bukan karena ingin terkenal atau mendapatkan upah.
MASIH sejak tahun itu, 2004, aku tetap ingin menjadi penulis karena kau. Ya, kau. Penulis puisi seperti kau. Pernahkah kau sadar bahwa aku tergila-gila dengan tulisan magismu itu?
2004.
Ups! Sudah sekian tahun, namun aku masih menyimpan tulisan-tulisanmu yang pernah kuedit dan menjadi sebuah kumpulan puisi lumayan laris di kalangan remaja saat itu. Ya, setidaknya menjadi perbincangan hangat di antara para penggemarmu. Tulisanmu sempat membuatku merasa berada di ruangan kosong, namun sarat makna. Ya, kosong karena aku mengagumi (tulisan)mu dari jauh saja. O, tidak terlalu jauh, karena aku sering bertemu denganmu karena keadaan. Aku yang sengaja menjauhkan diri dari pandanganmu. Aku sering kembali bersemangat setelah membaca tulisanmu yang selalu berulang-ulang aku baca. Aku tak mungkin bosan dengan tulisanmu. Ya, kau yang begitu piawai membuat jalinan puisi dan aku yang begitu terlena dengan segala kisah yang membuat alam ruang sadarku lumpuh.
Beginikah menjadi seorang editor buku—tepatnya editor bukumu—yang membawa-bawa hati ketika sedang mengedit bukumu? Ah, memang sesuatu yang aneh setelah bertahun-tahun aku menjadi seorang editor, aku baru merasakan hal seperti itu denganmu, hanya dengan bukumu.
Semuanya berawal ketika penerbit tempat aku bekerja berencana menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi dan aku ditugaskan untuk mencari penulisnya. Bukan pekerjaan yang mudah karena sebelumnya aku terbiasa berkutat dengan buku genre pelajaran untuk jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Buku umum pun hanya buku-buku sosial dan novel tertentu lainnya. Namun aku juga cukup antusias karena tentu ada alasan khusus aku yang terpilih. Selain aku menyenangi dunia sastra, aku juga cukup punya relasi dan kawan yang memiliki komunitas pecinta dan penulis puisi.
Kemudian aku dikenalkan dengan penulis tersebut melalui seorang kawan yang menurutnya sesuai dengan kriteria yang diinginkan penerbit. Aku menyusun jadwal pertemuan untuk melakukan sedikit perkenalan dengan penulis dan karyanya tersebut. Laki-laki itu menarik, cerdas, dan enak diajak berdiskusi. Semuanya berjalan lancar dan aku cukup puas dengan presentasinya. Lumayan membuatku tersenyum sendiri jika mengingat cara dia menjelaskan judul per judul dari tiap puisinya.
Singkatnya, aku dan penulis tersebut menjadi intens berhubungan—sesuatu yang sangat biasa terjadi antara editor dan penulis yang aku alami bertahun-tahun—dan kami menjadi akrab satu sama lain. Namun, tentu saja aku tetap profesional sebagai editor yang kerap mengembalikan naskahnya jika ada yang perlu dia tambahkan dalam kumpulan puisinya.
Satu hal yang amat kusadari adalah aku menjadi tergila-gila dengan puisi, tepatnya puisinya. Ya, ampun! Deretan kata yang seringkali aku anggap membosankan dan penuh dengan kata-kata tidak logis saking puitisnya. Namun, kali itu berbeda. Tentu saja aku berpendapat demikian karena saat itu aku sedang menjadi editor buku seorang penyair dan sangat bersemangat ingin banyak mengenal puisi. Ya, lama kelamaan aku merasa menjadi seseorang yang puitis. Sedikit demi sedikit aku banyak belajar tentang puisi darimu, disadari atau tidak olehmu.
Buku kumpulan puisimu yang kuedit terbit dan di luar dugaan menjadi best seller saat itu. Hmm, aku bangga dan terharu. Sebagai orang yang berada di belakang layar, tentu saja aku berbangga hati dengan hasilnya yang tak disangka-sangka.
Diam-diam aku jadi sering menulis puisi. Ya, masih puisi dari seorang editor yang ingin menjadi penulis amatiran. Seorang editor yang diam-diam mengagumi penulis dengan buku yang pernah dieditnya. Sampai suatu hari aku bertemu kembali denganmu di sebuah tempat yang cukup sepi, di sebuah bookcafe, secara kebetulan. Kau bersama dua orang kawanmu dan aku sendiri. Begitulah, aku kurang suka datang ramai-ramai ke sebuah tempat yang aku anggap sesuai jika aku datang sendiri saja.
Dengan ramah, kau mengajakku bergabung dengan kawan-kawanmu dan aku dengan ragu mengangguk. Ragu karena aku masih menganggapmu seorang penulis yang sudah melupakanku sebagai editornya dulu. Kami berbincang hangat dan keraguanku malah berubah menjadi rasa aneh yang melebar ke kedalaman hatiku. Ya, kau selalu begitu, berhasil membuatku nyaman berdiskusi tentang segala hal, termasuk puisi-puisimu. Sampai akhirnya kau menawarkan sesuatu yang membuatku sedikit berteriak pelan. Kau mengajakku menulis buku kumpulan puisi kembali. Menulis. Bukan mengedit. Aku diam saja karena tidak percaya dengan ajakannya. Kawannya tertawa melihatku tak bersuara.
“Kamu punya bakat menulis. Cuma kamu tak sadar dengan bakatmu.” Kawanmu meyakinkanku.
Aku hanya tersenyum ragu. Keraguan itulah yang selalu aku pendam jika aku menulis sesuatu selama ini. Ya, akhirnya tulisan-tulisanku hanya terpendam dalam hati dan sebagian aku tumpahkan dalam banyak file di laptopku.
“Editor itu lebih jago menulis di banding penulis sebenarnya. Sumpah, deh!” Kawanmu yang satunya ikut bersuara.
Duh, aku malah belum mendengar kau meyakinkanku seperti kedua kawanmu itu. Bukankah mereka belum pernah kerja sama denganku seperti kau yang pernah membiarkan bukumu aku edit?
“Tan, kamu mau bantu aku sekali lagi?” Akhirnya kau buka suara juga.
Aku diam sejenak.
“Boleh, aku akan bantu mengedit bukumu lagi,” jawabku berusaha tenang.
Mereka malah tertawa spontan setelah mendengar jawabanku.
“Bukan sebagai editor. Aku ingin kamu menulis puisi juga. Hei, bukankah dulu kamu pernah bilang suka dengan puisi juga?”
Lagi-lagi aku tak bisa menjawab. Sial! Kawan-kawan dekatku pasti tak akan percaya jika aku jadi gagap seperti itu.
“Nulis? Nulis puisi? Wah, jangan, deh. Bisa-bisa bukunya jadi jelek!” Setelah agak lama akhirnya aku menjawab juga.
Tampak kekecewaan di wajahmu. Benarkah kau kecewa? Sekali lagi, bahkan aku tak yakin dengan instingku. Insting seorang editor yang sering “curiga” dengan naskah-naskah penulis yang selama ini aku banggakan. Ke mana insting itu saat aku begitu membutuhkannya? Eh, tapi kau, kan bukan sebuah naskah yang akan kuedit? Kau yang malah membuatku jadi kehilangan kata-kata. Jangan-jangan para penyair memang seperti itu, selalu membuat kekacauan dalam hati orang yang diajak bicara?
“Gimana, Tan? Aku tunggu jawabanmu besok, ya? Masih menyimpan nomorku, kan?” Kau mempertanyakan sesuatu yang menurutku sangat bodoh jika aku jawab tidak.
Sore itu memang hatiku menjadi tak karuan. Tujuanku membaca sambil santai menikmati secangkir kopi dan camilan di bookcafe itu gagal. Yang ada malah perasaan campur aduk, antara senang dengan tawaranmu dan ragu dengan kemampuanku.
Aku pulang cepat-cepat karena benar-benar ingin tiba di rumah dan istirahat sambil memikirkan baik buruknya jika aku terima tawaranmu sore itu. Ya, aku tak ingin gegabah dan menerima begitu saja. Aku memang menjadi penyuka puisi dan sejak mengedit buku puisimu itu, aku jadi suka menulis puisi juga. Tapi bukan untuk dijual. Bukan untuk diterbitkan. Aku menulisnya karena aku suka. Itu saja. Dan kupikir, aku menulis sesuatu yang sangat alami dan aku nikmati sendiri. Benar-benar egois.
Akhirnya aku tahu yang akan kujawab esoknya. Cukup membuatku nyaman ketika aku pada akhirnya mampu memutuskannya. Dan cukup membuatku tertidur pulas.
Aku berangkat kerja dengan semangat. Aku merasa sangat berenergi besar hari itu. Entah energi dari mana, mungkin karena aku memiliki momen penting hari itu dan berpengaruh pada kehidupanku selanjutnya. Ternyata, sudah lama aku berkecimpung di duniaku sendiri. Ternyata, selama ini aku asyik dengan duniaku sendiri. Ternyata …. Ternyata ….
Ah, kau yang membuatku begitu. Dan hari itu aku akan menerima tawaranmu untuk menulis puisi. Bersama puisi-puisi magismu, puisi-puisiku akan bersanding. Wow! Ternyata aku sangat bahagia hanya dengan mengkhayalkannya! Sebuah perubahan besar dalam hidupku ke depan. Sebuah semangat yang ternyata mampu membuat langkah kakiku begitu lebar berjalan dan sedikit berlari.
Ya, dan tak lama kemudian aku memang memiliki buku sendiri, tepatnya setelah buku kita selesai. Memang tidak best seller seperti buku-buku puisimu. Tapi, apa artinya best seller? Aku menulis bukan untuk mengejar itu. Aku menulis karena aku ternyata menikmatinya. Sama nikmatnya ketika aku berhasil membuat sebuah naskah mentah dari seorang penulis menjadi layak untuk dibaca banyak orang.
Ya, aku menikmati duniaku saat ini karena hangat tawaranmu di bookcafe itu. Dan ternyata pula aku menikmati semua tulisanku karena hangatnya semangat darimu! Karena kata “kamu punya bakat” yang pernah kau katakan padaku dan membuatku semangat! Ya, kau telah membuatku menikmati duniaku sampai saat ini—dunia penulis, dunia buku, dan dunia kita tanpa batas! ***
.
.
Tanti Kuben Koko, pegiat media sosial yang kecanduan menulis dan mengedit. Kegiatan sehari-harinya analis di perusahaan media social monitoring di Bandung. Juga seorang QC di Bili Bili Komik dan Web Novel.
.
Mengurai Malam Menjadi Catatan. Mengurai Malam Menjadi Catatan. Mengurai Malam Menjadi Catatan. Mengurai Malam Menjadi Catatan. Mengurai Malam Menjadi Catatan.
Leave a Reply