Cerpen Tegsa Teguh Satriyo (Suara Merdeka, 14 Januari 2024)
RAMSI bersungut-sungut saat mendengar anak laki kesayangannya menjalin kasih dengan seorang gadis. Lebih tepatnya gadis yang bukan sesuai pilihan Ramsi. Tidak selevel katanya. Namun, Ramsi tak lantas menegur atau sekadar tanya pada anak laki kesayangannya itu. Ia agaknya takut si kesayangannya tersinggung, terlebih jika sampai marah.
Tak kurang akal. Ramsi lantas menyerahkan segala keresahannya itu agar diselesaikan oleh bapaknya. Sebenarnya, Ramsi masih punya suami. Tapi ia tahu diri.
Suaminya bukan tipe orang yang doyan bicara. Apalagi menyelesaikan perkara yang bagi Ramsi cukup krusial.
“Pak, putumu itu kok malah pacaran dengan orang Sangkal Kuning. Aku tidak setuju. Tolong piye carane Bapak kandani bocahe.”
Mbah Karjan paham betul watak Ramsi. Anak semata wayangnya itu keras kepala.
Apa yang sudah menjadi kehendaknya harus dituruti. Sehingga tak ada alasan untuk bertanya apalagi menyangkal apa yang baru disampaikan anaknya itu.
Mbah Karjan bukan dukun. Tapi ilmu kejawennya sangat kental. Orang-orang kampung sering meminta tolong beliau tentang segala hal berkait itung-itungan hari baik dan semacamnya. Misal, hendak membangun rumah, mau berangkat merantau, mau tanam hingga urusan panen, mau menggelar hajatan, mau mengkhitankan, hingga urusan perjodohan semua diperhitungkan menggunakan primbon. Mbah Karjanlah yang menguasai kedalaman ilmu primbon itu.
“Yangmu orang mana?”
“Halah, Mbah Kung itu lho… Kok bahas yang-yangan,” jawab Lana malu-malu.
“Heh, Le. Mencari jodoh itu harus diperhitungkan matang-matang. Karena itu semua akan berpengaruh pada urusan sandang, pangan, lan papan ke depannya,” terang Mbah Karjan dengan air muka yang teramat serius.
Lana terdiam. Ia menunduk, mendengar segala ceramah mbah kakung-nya yang teramat panjang. Hingga sampailah Mbah Kakung-nya melontarkan pertanyaan berikutnya.
“Wetone apa?”
Lana tak langsung menjawab. Ia berat untuk menjawab pertanyaan itu.
“We-to-ne apa? Wong-wong do sukses, do mbregat, do sugih mblegendu kae kabeh merga jalaran itung-itungane mbahmu. Sing do nentang itungane mbahmu lak do kocar-kacir to?”
Lana menunduk diam. Bola matanya berat bergulir mencuri pandang ke sorot mata mbah kakung-nya yang tajam.
“Wetone apa? He?” Mbah Karjan terus mendesak.
“Anu, Selasa Wage, Mbah.”
“Walah, wetone cilik. Playune lor kulon,” Mbah Karjan menarik napas dalam-dalam.
“Abot,Le. Abot. Aja diteruske!”
“Lho, Mbah. Kenapa kok tidak boleh?”
“Itu tidak cocok, Le. Akan fatal akibatnya. Hitungan weton kalian tidak cocok. Arahnya pun tidak cocok. Jangan sampai orang Poh Kulon seperti kita dapat suami atau istri orang Sangkal Kuning. Pasti hanya mendatangkan petaka. Tibo pati itungane.”
“Petaka bagaimana, Mbah?” Lana berupaya mengejar jawaban.
“Kalau dipaksakan sampai pernikahan. Entah bapakmu, ibumu, atau keluargamu, pasti akan ada yang kalah, ada yang mati. Pasti itu, Le.”
Mendengar jawaban Mbah Kakung-nya yang begitu meyakinkan, Lana pucat. Siang itu matahari sangat terik. Namun, hati Lana seolah baru saja dihantam guruh dan petir yang cetar.
Lana tak ingin dipisahkan dengan gadis pujaan hatinya. Pada sisi lain, ia juga tak ingin kehilangan, ibu, bapak, atau keluarganya. Lana diombang-ambing rasa gamang. Hatinya remuk redam. Ia memang lelaki. Tapi kadang, perasaan lelaki bisa lebih tipis dari kelembutan perempuan.
***
Setelah menimbang-nimbang, Lana mengikuti apa yang telah disarankan oleh Mbah Kakung-nya. Menangkap keadaan itu, Ramsi mengambil langkah cepat. Ia berupaya keras untuk menjodohkan Lana dengan gadis yang tinggal tak jauh dari Sangkal Kuning. Ramsi menilai gadis itu yang lebih pantas menjadi istri anak laki kesayangannya. Ya, gadis anak juragan beras. Sawah ladangnya terhampar di mana-mana. Ramsi menganggap, gadis itu yang lebih imbang untuk berjodoh dengan anaknya. Lebih selevel baginya.
Tanpa pikir panjang, Lana langsung menurut pada ibunya. Ternyata kegundahan atas kepatahhatiannya itu hanya berkecamuk dua tiga hari saja. Barangkali, seperti itulah tabiat lelaki yang sesungguhnya. Mereka tak pernah benar-benar patah hati. Kalau toh ada yang benar-benar patah hati, barangkali hanya satu dua saja. Ya, barangkali begitulah adanya.
***
Pernikahan digelar besar-besaran. Ya, pernikahan putra juragan katul dengan putri juragan beras. Sebuah pernikahan yang menurut Ramsi sangat sepadan dan pasti akan disegani orang-orang.
Kabar pernikahan Lana dengan anak juragan beras itu terendus juga oleh keluarga gadis yang ditinggalkan Lana. Rasa sakit hati, direndahkan, jelas pasti ada. Seluruh keluarga gadis itu mengumpat, menebar doa beraneka rupa atas kesakithatiannya.
Usai melangsungkan pernikahan, Ramsi merasa lega. Ia merasa puas telah berhasil mengawinkan harta kekayaannya. Seperti kebiasaan warga Poh Kulon lainnya, seusai terkabulnya hajat besar itu, Ramsi hendak menunaikan nazar yang telah ditanam dalam hatinya; mempersembahkan kepala kerbau ke Bukit Kencana. Nazar adalah janji, yang wajib ditepati.
***
Di atas Bukit Kencana, randu alas yang dipercaya berusia ratusan tahun itu berdiri gagah. Ramsi beserta suami, anak laki dan menantunya, bersimpuh di atas akar randu alas yang menyembul di permukaan tanah. Mereka khusyuk bermunajat. Tepat di hadapan mereka, kepala kerbau menjadi persembahan beserta ubo rampi lainnya.
Ramsi meminta anak laki beserta istrinya memegang sepasang ayam cemani yang berusia dua puluh tujuh hari.
“Kalian bawa ayam cemani ini ke arah sana.”
Ramsi mengarahkan anak dan menantunya agar melepas sepasang ayam cemani di atas batu besar yang berada sekitar dua puluh meter dari pohon besar itu. Sedangkan ia dan suaminya masih bersimpuh, matanya memejam, khusyuk berkelumat membaca doa-doa.
Angin berembus kencang. Hujan membadai datang secara tiba-tiba. Sepasang ayam cemani terlebih dahulu lepas dari genggaman tangan anak dan menantunya. Sepasang pengantin itu bersusah payah untuk menangkapnya lagi.
Petir masih bernafsu untuk menjilat-jilat Bukit Kencana. Sore pun terlampau cepat dimakan gelap. Angin menyertai begitu ngeri. Daun-daun gugur dan berhambur, terbang ke arah entah. Udara kacau, keadaan semakin meracau.
Duar…
Petir menyambar tubuh randu raksasa.
Brrraaakkk… Dummm…
Dentuman menggelegar memekik telinga. Pohon raksasa itu pun roboh seketika, menimpa tubuh Ramsi dan suaminya. Derasnya hujan memandikan dua tubuh yang tertimpa pohon raksasa. Akar-akar randu raksasa seolah haus dan bernyawa. Ia serap air hujan yang memerah. Air anyir bau darah. Darah segar dan serakah.
Sementara, Lana dan istrinya tertelan kuyup dalam pengejaran ayam cemaninya.
Entah ayam cemani itu, begitu juga dengan Lana dan istrinya turut tertimpa pohon raksasa, atau berhasil selamat dari mara bahaya.
Pada waktu yang sama, di tempat yang jauh berbeda, Mbah Karjan keluar rumah dengan penuh gelisah. Matanya memburu suara burung lidusi yang berputar-putar hanya di langit atas rumahnya. Ya, ia tahu betul, lidusi adalah burung penanda datangnya kematian bagi siapa saja di sekitarnya. ***
.
.
Semarang, Januari 2024
— Tegsa Teguh Satriyo, tinggal di Kota Semarang. Sering terlibat dalam pementasan teater. Mahasiswa PBSI Pascasarjana Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
.
Lidusi di Langit Sore. Lidusi di Langit Sore. Lidusi di Langit Sore. Lidusi di Langit Sore.
Leave a Reply