Cerpen Moh Tsabit Husain (Koran Tempo, 28 Januari 2024)
Seperti yang diceritakan Hilda kepadaku setelah dia pergi selama 20 tahun dari tanah kelahirannya.
MALAM itu adalah makan malam terakhir kami. Biasanya, Ayah selalu membacakan Injil di ruang tamu sembari duduk di sofa kuning yang cerah. Malam ketika keesokannya, kami sekeluarga akan pergi bersama-sama ke gereja untuk misa. Kami akan duduk berselonjor di atas karpet berbulu berwarna kelabu. Ibu bakal mendekat saat kitab suci itu dibacakan dan nenek mendengar dari kursi goyangnya yang nyaman.
Ayah adalah panutan bagi kami, empat orang bersaudara. Dia seorang pemimpin gereja di desa kami. Desa yang dikelilingi bebukitan dan pegunungan. Di atasnya, gandum liar menyelimuti. Sewaktu angin berembus dari gunung ke lembah di bawahnya, seolah Tuhan membisikkan wahyu kepada Putri Indian—julukan bagi bukit di sekeliling desa kami, di pedalaman Idaho—lalu menyampaikannya kepadanya.
“Sekarang giliran kita!” itulah kalimat yang melekat di telinga kami malam itu, saat dia tidak lagi membacakan Kitab Suci seperti biasa.
Malam itu, kami tidak duduk di ruang tamu mendengarkan khotbah atau berselonjor di atas karpet berbulu. Tidak! Kami ada di ruang makan dengan makanan terhidang yang tak secuil pun kami sentuh. Menghirup aromanya saja kami tidak bergairah. Kami tidak pula duduk di kursi dan meletakkan makanan kami di atas meja yang terbuat dari pohon ek yang telah ayah perbaiki berkali-kali laiknya jamuan makan malam keluarga. Tidak! Kami duduk bersila di lantai dapur, menunduk, dan menelan ludah. Keringat kami bercucuran. Dada kami berguncang dan cara kami mengentaskannya adalah dengan meneteskan air mata tanpa suara.
Di samping hidangan yang ibu buat—sereal dari tujuh jenis biji-bijian—senapan milik ayah mengkilap dalam kegelapan. Tak ada lampu atau lilin yang menyala, kecuali cahaya rembulan bersinar terang dan semakin menambah rasa takut kami. Cahayanya mencoba menembus jendela bergorden tebal, sayangnya tak tertembus, yang dia pasang beberapa hari lalu. Hari-hari di saat kami sekeluarga sibuk melakukan persiapan untuk peristiwa besar yang akan mengubah masa depan keluarga kami. Hari itu, jatuh malam ini.
Sebenarnya, ayah tidak memiliki senjata apa pun. Entah dari mana dia mendapatkannya, kami tak tahu. Nenek dan ibu tidak mengatakan sesuatu. Paling tidak, kami masih dapat merasakan desah napas orang di samping kami seperti dalam cengkeraman maut kala itu.
“Bagi mereka yang mengorbankan diri untuk-Nya, surga akan jadi balasan. Jangan takut, Bapa kita ada di sekeliling kita.”
Suara ayah memecah keheningan di antara kami. Kami ingat bahwa apa yang dia katakan itu bersumber dari ajarannya yang dia pelajari dari kitab-kitab perjanjian. Kami teringat kembali padanya saat dia berkhotbah, sedangkan kami melongo laiknya domba tersesat menemukan penggembala.
Namun, malam itu, ingatan seindah apa pun tentang hari-hari yang kami lalui dan ajaran yang telah melekat dalam diri kami sejak kecil sirna begitu saja. Suasana terlalu mencekam. Jangankan bicara. Mendengar napas kami sendiri sama seperti mendengar desau malaikat maut yang mengincar nyawa kami. Bahkan, kami takut mendengar detak jantung kami. Pikiran kami melayang pada beberapa hari sebelum makan malam yang tidak diinginkan ini terjadi.
“Tidak jauh dari sini, ada sebuah keluarga pejuang kebebasan,” ujar ayah suatu malam, saat dia pulang dari gereja. Kami yang waktu itu duduk di ruang tamu merapatkan barisan, memastikan maksud dari apa yang baru saja dia katakan. Dia selalu membawa informasi dan cerita-cerita baru setiap hari.
“Mereka adalah pejuang sejati yang tak mau otak anaknya dicuci pemerintah melalui doktrinisasi di sekolah-sekolah negeri.”
Kami menyimak. Ibu datang membawa minuman untuknya. Segelas jus jeruk dingin dicampur madu. Dia meneruskan ceritanya.
“Jadi, pemerintah mengirim agen FBI [1] untuk mengepung mereka karena mereka ketahuan menolak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri. Mereka dianggap pemberontak yang menyebarkan propaganda untuk melawan pemerintah. Agen FBI mengunci rumah mereka dan melakukan penjagaan setiap hari, siang dan malam, sebab keluarga itu diketahui memegang senjata. Sekarang, mereka terjerat di rumah mereka sendiri.”
Ayah menjeda kalimatnya dengan napas berat. Jeda yang tidak kami suka sebab dia memotong cerita di saat kami sedang asyik-asyiknya menyimak. Matanya tak memancarkan cahaya sebagaimana biasa.
“Padahal, sekolah yang pemerintah dirikan mengajarkan kesesatan dan melenceng dari ajaran Kitab Suci,” tambahnya.
Kami tertegun. Kami mengira-ngira bahwa keluarga pejuang kebebasan yang dia maksudkan adalah keluarga Sanjoes, Adam Sanjoes, sekalipun dia tidak menyebutkannya. Mereka adalah salah satu keluarga di pedalaman Idaho yang anti-pemerintah dan sama seperti kami. Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah kami. Sekitar sepuluh menit menggunakan kendaraan, menyusuri Putri Indian yang masih perawan.
Keluarga Sanjoes terdiri atas enam orang, yaitu Mr. Sanjoes dan istrinya, dua anak laki-laki umur delapan tahunan, seorang anak perempuan yang dadanya menonjol dan pernah datang bulan, serta bayi Tacky yang lucu dalam buaian Mrs. Sanjoes. Kabar pengepungan keluarga itu ternyata benar-benar terjadi. Kami mengira kabar itu hanya angin lalu yang disiarkan orang-orang tak bertanggung jawab.
Mereka mematikan lampu dan berjalan merangkak di lantai. Tak ada yang mendekat ke pintu atau jendela. Entah berapa banyak makanan yang tersedia, kami pun tak tahu. Kami menelan ludah. Sepat. Seakan kami berada di posisi mereka. Mereka pasti dilanda takut, cemas, dan kelaparan. Ricard, anak lelaki kedua di keluarga kami, menawarkan pertolongan untuk mereka, tapi ayah melarang. Kalau berhubungan dengan pemerintah, kami tidak dapat berbuat apa-apa selain bertahan sebab mereka lebih kuat, sekalipun nyawa saudara kami bakal jadi taruhan.
“Tidak! Mereka tak dapat ditolong. Tapi, kita bisa menolong diri kita sendiri. Paling tidak, kalau agen FBI datang ke desa kita, kita sudah siap,” balasnya. Suaranya bergetar.
“Apakah mereka akan datang ke sini?”
Menggeleng.
Ayah menghentikan ceritanya dan beranjak ke kamar. Membiarkan kami dan imajinasi kami merancak di kepala masing-masing. Kami membayangkan seperti apa suasana rumah Mr. Sanjoes. Bagaimana jika bayi mereka menangis? Bagaimana jika agen FBI mendengar tangisannya, lalu meluncurkan tembakan? Perasaan kami jadi rawan [2]. Kapan mereka akan meninggalkan keluarga itu? Namun, ada kemungkinan mereka bakal kekurangan bahan makanan sebelum agen FBI menyerah.
Siang harinya, ayah pulang tergopoh-gopoh dengan mobil usang miliknya. Mobil yang tidak pernah dicuci dan mengepulkan asap hitam ketika mesinnya menyala. Napasnya megap-megap. Raut wajahnya sulit ditebak dan kusam. Peluh bercucuran dari keningnya. Kami, terutama ibu, bertanya-tanya. Mengapa dia pulang dari ladang sebelum waktunya.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya.
Ayah mengatur napas.
“Sekarang, kalian rebus buah persik dan kupas kulitnya, lalu letakkan dalam stoples sebagai persiapan. Sediakan bahan makanan yang cukup agar kita tidak kekurangan.”
“Persiapan?” kening ibu mengkerut. “Untuk apa?”
“Keluarga Sanjoes telah meninggal. Kabar terakhir yang kudengar, Adam Sanjoes tertangkap dan anak gadisnya tertembak saat keluar rumah untuk mengambil jasad saudaranya yang menyelinap keluar rumah mencari makanan tanpa sepengetahuan mereka.”
Kami tersentak. Nenek melepas rajutannya sambil menggeleng, membuang napas. Berat. Kursi goyang yang dia duduki berderit. Ibu menekan dada dengan tangan kiri dan menutup mulut dengan tangan lainnya. Dia mendekat. Matanya membola.
“Dan Mrs. Sanjoes mati. Sedangkan agen FBI mengambil bayi yang wajahnya berlumur darah ibunya itu.”
Kemudian, Ayah memerintahkan kami melaksanakan perintahnya saat kami masih tercengang. Kami belum percaya pada apa yang terjadi. Tadi malam kami mendengar kisah keluarga pejuang itu dan di siang harinya kami mendengar kabar kematian mereka. Terlalu cepat, pikir kami.
Kami pun bersegera melakukan perintahnya. Bahkan kami memasukkan persik yang baru diangkat dari wajan ke dalam stoples. Asap mengepul dan membubung di udara lalu pecah, seolah membawa harapan hidup kami. Ibu tidak mengatakan sesuatu. Tangannya bekerja, tapi kami melihat ada sesak yang dia tahan di dadanya. Dada seorang perempuan ringkih kepala empat.
Selama dua hari, kami melakukan persiapan. Pagi hari sebelum makan malam terakhir itu terjadi, ayah pulang dengan sebuah truk. Truk itu terlihat buruk dan tak terawat. Entah truk milik siapa itu. Dia meminta kami mengangkut barang-barang dari truk tersebut.
“Apa ini, Ayah?” tanya Hilda, anak perempuan tertua di keluarga kami.
Ayah diam seribu bahasa. Dia terburu-buru. Setelah semua barang berhasil diturunkan, dia keluar lagi menggunakan truk itu dan kembali beberapa menit kemudian tanpa mengendarai apa-apa. Kami lega melihatnya muncul dari balik pintu meski napasnya tersengal-sengal. Kami saling tatap. Dia membuka 10 kardus hitam yang baru saja dibawanya. Kardus itu berisi gandum. Di dalamnya terdapat beberapa senapan mengkilap. Dia mengambilnya dan meletakkan benda itu di hadapan kami. Kami terperanjat.
“Untuk apa ini?” tanya ibu. Nenek mendekat. Dia menatap mata kami satu per satu. Matanya berkabut.
“Kita akan mendapat giliran!”
“Apa maksudmu?” kejar ibu.
“Agen FBI tahu bahwa kita juga termasuk bagian dari keluarga pejuang kebebasan!”
Hilda menyela. “Apakah mereka akan menembak mati keluarga ini?”
Tak ada jawaban.
“Jawab, Ayah!!”
Pundaknya berguncang. Air matanya jatuh, berbulir-bulir. Ibu memeluknya. Menenangkannya dalam dekapan hangatnya.
“Jawab, Ayah!! Apakah kami akan tertembak dan mengakhiri usia kami di masa muda?”
Hening.
“Apakah itu yang diajarkan Tuhan?”
Tangan ayah mendarat di pipi Hilda. Dadanya kembang-kempis. Ada api yang tersulut di dadanya.
“Jaga mulutmu. Ayah tidak pernah mengajarimu berkata seperti itu!”
“Lalu, untuk apa persiapan ini? Apakah kita akan terperangkap di rumah kita sendiri, sedangkan agen FBI datang mengepung dan kita menunggu waktu untuk mati?” ayah terdiam.
“Ayah jahat. Ayah melarang kami untuk sekolah di sekolah milik pemerintah dan meminta kami mendengarkan ajaran Kitab Suci? Putri Indian akan kehilangan kebanggaannya karena anak-anaknya akan mati akibat keegoisan Ayah! Seperti inikah ajaran yang kita anut?”
Gerimis menderas turun di mata Hilda. Dia berlari ke kamar. Tangannya menutupi wajahnya. Ibu menyusulnya. Kami melihat suatu adegan yang tak pernah terjadi di keluarga kami sebelumnya.
***
Kami tahu, kisah keluarga pejuang kebebasan itu akan menimpa keluarga kami. Keluarga yang hidup dalam belaian Putri Indian. Kami dibesarkan di tanah ini. Anginnya berembus dari atas bebukitan dan menyelisik punggung kami. Sejuk. Melalui pohon-pohonnya yang menjulang, kami berteduh. Dari tanahnya, kami makan. Kami diajarkan bahwa barang siapa yang berbuat baik akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan.
Namun, malam itu, apa yang kami yakini dan kami pelajari seolah-olah tidak dapat membantu hidup kami. Ayah terus berkhotbah. Suaranya lirih, nyaris tidak terdengar.
Kami makan malam dengan jamuan kecil-kecilan. Ayah mengunci semua pintu dan jendela. Gorden tebal yang menutupinya tak mampu menghilangkan rasa takut kami dari cengkeraman maut yang terus mengincar dari segala sisi. Malam itu, kami memakan sereal, minum madu sembari mengingat-ingat kembali ajaran yang disampaikan ayah, bahwa mentega dan madu menjadi makanan di tanah yang dijanjikan Tuhan. Dan kami memilih setia kepadanya dengan tetap tinggal di rumah. Pasrah pada nasib sebab kami tahu, manusia bukanlah makhluk yang abadi. Semua akan mati pada waktunya.
Sewaktu kami mengunyah sereal dalam ketidakpastian, terdengar kaca jendela ruang tamu pecah akibat tembakan. Kami berteriak dan mendekat pada ayah, ibu, dan nenek. Dia meminta kami menutup mulut kami. Dada kami berguncang dan rasa takut menyergap.
Ayah mengacungkan pistol ke udara dan menembak ke luar setelah sebuah tembakan melayang ke tempat kami berada. Kami tiarap. Malam itu, dia menunjukkan jati dirinya sebagai kepala keluarga yang menuntun dan akan menggiring kami bertemu dengan Tuhan dalam keadaan suci, dosa terampuni, kecuali Hilda, yang memiliki pemikiran lebih maju daripada kami. Dia tak bersama kami malam itu. Dia pergi ke Arizona dan meninggalkan sepucuk surat yang tak sempat kami baca isinya. ***
.
CATATAN:
Kisah ini terinspirasi oleh buku Educated karya Tara Westover.
.
KETERANGAN:
[1] Federal Bureau of Investigation (Biro Penyelididkan Federal).
[2] Seperti dalam novel Para Pelacur dalam Perahu karya Seno Gumira Ajidarma.
.
.
Moh Tsabit Husain, cerpenis dan santri Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pegiat Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lubselia.
.
Menunggu Malam Giliran. Menunggu Malam Giliran. Menunggu Malam Giliran. Menunggu Malam Giliran. Menunggu Malam Giliran. Menunggu Malam Giliran.
Surahmat
Keren