Cerpen, Jawa Pos, M Rosyid HW

Panggung Terakhir

Panggung Terakhir - Cerpen M Rosyid HW

Panggung Terakhir ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.7
(3)

Cerpen M Rosyid HW (Jawa Pos, 27 Januari 2024)

PADA jalan tol kosong melompong, Tejo menginjak pedal Pajero-nya dalam-dalam selepas anaknya menelepon dengan seiris tangis.

“Mama, Pa! Mama, Pa!”

Tejo langsung mematikan telepon.

Ia sudah menebak apa yang telah terjadi. Bulir demi bulir air jatuh dari kelopak matanya. Tejo tak menyangka secepat ini malaikat maut mengambil istrinya. Kesedihan pun bergelayut.

Penyesalan pun bergulung-gulung. Mengapa sore tadi ia memutuskan berangkat meski istrinya sakit berkemul selimut tujuh hari tujuh malam.

“Istriku masih sakit. Tapi, demi pertemanan kita, kutemui dirimu,” kata Tejo lewat telepon sore tadi. Seseorang dari partai biru telah menunggunya.

***

Siang belum sepenuhnya beringsut saat dahi Lurah Tejo berkerut-kerut memandangi coret-coret kotak yang ia gambar sendiri. Coretan penuh warna merah, hijau, dan kuning. Sesekali ia menggaruk-garuk batok kepalanya meski tak terasa gatal. Sinar matahari mulai berangsur hangat, sehangat isi batok kepalanya. Ia mencari apakah ada lubang kotak tersisa pada gambarnya.

“Telepon sialan!” umpat Tejo.

Akhir-akhir ini, teleponnya memang makin sering berdering (seharian ini, sudah lima panggilan telepon yang tak ia angkat). Tamu makin banyak bertandang dan pertemuan datang jalin-menjalin. Tiada hari tanpa bertemu tamu atau orang baru. Bertemu orang ini dan orang itu dan sembarang orang.

Dalam hati, Lurah Tejo mengeluhkan kenapa baru sekarang ia banyak dicari orang, sering diminta bantuan. Kemarin-kemarin, saat ia nyalon lurah—saat butuh uang, bantuan, dan sumbangan—ke mana saja orang-orang itu. Dasar politikus busuk! batinnya.

Ia menyesap kopinya perlahan. Teleponnya kembali bersuara. “Sore ini kita jadi ketemu kan?” ucap Bahri, caleg partai biru, dari seberang telepon. Tejo menjawab “ya” seraya mengeluarkan mobil Pajero.

“Tak ada panggung lagi?” tanya Bahri setelah bertemu Tejo di lobi hotel tengah kota S.

“Kami harus masuk desamu! Kami akan bayar dua kali lipat!”

“Barang kita harus jadi!” tegas Bahri.

Tejo hanya menggeleng. Ia menjelaskan bahwa petak-petak desa sudah terpatok oleh pihak merah, hijau, dan kuning.

“Lima kali lipat pun akan kubayar!” tawar Bahri.

Tejo tetap bergeming. Ia tahu: tak ada panggung tersisa di desanya.

Baca juga  Berat Hidup di Barat

***

“Tak ada pintu masuk di Banjarsari, kecuali pintuku!” titah Lurah Tejo bergaung ke segala penjuru. Tejo tahu persis bahwa Banjarsari ibarat kembang desa—cantik, montok, dan seksi. Banyak politikus dan pemain politik mengincarnya. Suara Banjarsari diperebutkan. Panggung-panggungnya dicari. Kepala sebanyak 10.531 akan menjadi pertaruhan.

Banjarsari merupakan palagan perang terpanas di dapil II kota S. Bagaimana tidak? Dalam sejarah pemilu, tak ada orang atau partai yang dapat menang lebih dari 40 persen. Tiap pemilu, pemenangnya berubah-ubah. Pada pemilu tahun ini, Banjarsari dikelilingi tiga desa dengan jagoan-jagoan politik terkuat. Desa Utara memiliki anggota DPRD incumbent. Begitu juga Desa Selatan, bahkan ia seorang ketua partai tingkat kota. Wakil dari Desa Timur adalah penantang baru yang tak dapat dianggap remeh: lurah dua periode.

Ibarat kertas, Banjarsari bisa robek jadi tiga. Lurah-lurah terdahulu selalu bertitah: Banjarsari harus utuh dan bulat seperti bola. Tak boleh robek. Jangan sampai retak. Suara Banjarsari harus menggumpal. Kita harus mengutamakan pihak yang benar-benar memajukan dan membangun desa kita, kata mereka. Namun, warga tak dapat didikte. Tentu mereka lebih memilih uang daripada nasihat persatuan.

Menjelang pemilu, Lurah Tejo makin jarang berkantor di balai desa. Akibat banyak tamu atau pergi ke luar desa. Warga desa bergunjing. Kabar gerak-gerik Tejo terus bergasing.

“Pak Lurah banyak tamu ya sekarang!”

“Kemarin tiga mobil datang beriring-iringan ke rumahnya!”

“Biasa, sejawat-sejawat politik!”

“Dia juga makin jarang terlihat di balai desa!”

“Biasa, konsolidasi dan konsolidosa!”

***

“Jangan berlagak tak tahu! Semua kepala desa di republik ini melakukannya!” Tejo menyanggah seorang politikus dengan nada tinggi.

“Upeti di desa ini termasuk murah!” lanjutnya. Lurah Tejo tak berkerut takut. Ia tak mau takluk.

“Kalau tak mau bayar, tak usah masuk desaku.”

Mendekati pemilu, Tejo menarik upeti-upeti bagi siapa pun politikus yang masuk desanya. Di mana ada keramaian warga, di sana upeti ditarik. Tejo mengambil upeti demi tujuan utama, yaitu mengangkat harkat martabat desa. Agar Banjarsari mendapatkan posisi tawar dalam peta perpolitikan kabupaten. Agar desa tak dipandang sebelah mata dan diinjak-injak oleh para politikus tak bermoral. Sungguh tujuan bersama yang begitu mulia. “Ini demi Desa Banjarsari,” katanya selalu kepada pamong dan orang-orangnya.

Baca juga  Ternyata, Dia Pelakunya!

Tentu, di balik tujuan adiluhungnya, Lurah Tejo memendam kepentingannya sendiri. Demi menutup pengeluaran nyalon lurah kemarin dan menabung untuk maju DPRD pada pemilu selanjutnya.

“Ini sudah bukan zaman kerajaan. Kita sudah merdeka. Kenapa masih ada upeti segala?” protes seorang caleg saat diminta ongkos bayaran.

“Siapa bilang sudah merdeka!? Bupati kita sekarang kan anak bupati kemarin! Apa itu bukan sistem kerajaan!?” sanggah Tejo.

Sang caleg memerah wajahnya. Ia separtai dengan sang bupati. Baru kali ini ia didebat seorang lurah.

Dengan penuh pertimbangan, Tejo memetakan panggung-panggung di desanya. Tejo berpikir panggung dan politikus layaknya dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Di mana ada panggung, di sana ada politikus berkerumun. Di mana ada panggung, di sana ada uang berputar. Politikus akan selalu membutuhkan panggung dan uang. Panggung, politikus, dan uang selayaknya trisula maut tak terpisahkan.

Panggung-panggung keagamaan macam pengajian, salawat, pembangunan masjid, dan lain-lainnya Tejo serahkan kepada partai hijau. Sementara, PKK dan karang taruna dimiliki partai merah. Kegiatan mengumpulkan warga bisa berupa pelatihan-pelatihan dari dinas-dinas seperti pelatihan UMKM, pelatihan bisnis digital, pencegahan stunting, pendampingan kesehatan ibu hamil, pelatihan cara memasak nasi goreng, pelatihan menanam pohon pisang, dan bahkan pelatihan berak secara syariat. Apa pun kegiatannya tak jadi soal. Asal ada kata pelatihan dan pendampingan.

Event-event olahraga macam sepak bola dan voli mutlak milik partai kuning. Mereka bisa mengadakan perlombaan olahraga antardusun dan antar-RW, antar-RT, atau bahkan antarkeluarga. Mereka biasanya membuatkan kaus untuk para pemainnya. Tentu dengan tulisan “sponsored by” dari politikus terkait.

Terkadang, Tejo juga membuka kemungkinan pintu baru di luar peta yang telah ia susun. Misalnya, seorang politikus partai putih ingin mendistribusikan tiga sapi untuk tiga masjid desa.

“Jangan khawatir! Akan kutuliskan namamu besar-besar pada tiap-tiap kepala sapi! Harga bisa nego!”

Tejo memasang harga-harga. Tejo menetapkan nilai-nilai. Konon, Tejo menyimpan rate card panggung desanya. Kartu yang hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu. Pada saat-saat tertentu.

Level terendah panggung berupa caleg hadir di atas panggung. Hanya hadir. Lalu, tim caleg memotretnya hingga seolah-olah si caleg diakui warga desa. Level berikutnya adalah saat sang caleg disebut-sebut nama baiknya dari pemberi sambutan. Ketika nama caleg disebut, tentu tingkat pengetahuan warga kepadanya semakin meningkat. Level ketiga—tentu paling mahal—adalah ketika sang caleg memberi sambutan. Inilah saat ia mempromosikan diri, mengobral janji, dan menyampaikan visi-misi.

Baca juga  Kera

“Jika kau menawar lebih rendah, panggung acara akan kuberikan ke caleg lain!” ancamnya kepada para politikus yang masih menego harga. Tentu, mereka tak punya jalan lain kecuali menurut. Desa Banjarsari terlalu berharga untuk dilewatkan. Apalagi tak didapatkan suaranya.

“Kukira mereka pintar-pintar, eh ternyata….” Tejo terbahak-bahak sambil membawa segepok uang dalam kardus.

“Oh, pelangi-pelangi alangkah indahnya! Oh, uang-uang alangkah banyaknya!” bersuara sumbang, Tejo berdendang tak henti-henti. Ia membayangkan, kelak tiga tahun lagi, sejarah akan mencatatnya sebagai anggota legislatif pertama dari Banjarsari.

***

Malam mengalir makin larut saat Tejo sampai di rumah duka. Bulan penuh pendar-pendar cahaya. Tejo langsung memeluk anaknya dan menatap nanar jenazah istrinya. Ia tak menduga selekas ini istrinya terenggut maut. Kesedihan makin bersambut. Masa lalu kebersamaan terbayang-bayang di pelupuk mata Tejo.

Di rumah Lurah Tejo, warga Banjarsari telah berkerumun. Penduduk datang berduyun-duyun. Menghormati istri lurah mereka untuk kali terakhir. Melepas kepergian ibu kepala desa mereka dengan salawat, doa, dan beras duka. Memendam sedak sedih dan isak tangis, Tejo membalas tiap-tiap uluran tangan warga Banjarsari.

Saat Tejo meninggalkan kuburan istrinya yang masih merah dan basah, ia teringat sesuatu.

“Kuralat perkataanku sore tadi. Ini panggung terakhir. Untukmu dan partai biru!” Tejo menelepon Bahri.

“Panggung tahlilan kematian istriku!”

“Tujuh hari tujuh malam!”

“Tarifnya berapa?” tanya Bahri di seberang suara. ***

.

.

M Rosyid HW. Lahir dan tinggal di Sidoarjo. Kumpulan cerpennya Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya (Pelangi Sastra, 2021).

.
Panggung Terakhir. Panggung Terakhir. Panggung Terakhir. Panggung Terakhir. Panggung Terakhir.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!